Mohon tunggu...
Androecia Darwis
Androecia Darwis Mohon Tunggu... Penulis - Social Worker

Androecia Darwis adalah seorang pensiunan bankir yang memiliki hobi menulis. Ia sangat tertarik pada topik-topik yang berkaitan dengan hubungan sosial dalam masyarakat dan sering menulis tentang hal tersebut. Selain menulis, Androecia juga memiliki hobi travelling dan mendengarkan musik meskipun tidak pandai bernyanyi. Ia sering mengunjungi berbagai tempat sebagai sumber inspirasi untuk tulisannya. Meskipun telah pensiun dari dunia perbankan, Androecia tetap produktif dalam berkarya dan mengasah kemampuan menulisnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Midoen, Romelah, dan Priscillia Ada Chintya

1 Oktober 2023   18:10 Diperbarui: 1 Oktober 2023   22:44 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tak mungkin kita impor terus, soal pangan adalah sektor yang super strategis, menyangkut hajat hidup masyarakat banyak. Kita harus meningkatkan produksi, menyejahterakan petani, memberikan subsidi pupuk memudahkan saluran distribusi, serta mengefektifkan badan penyangga beras. Beras harus tersedia di setiap level masyarakat, bahkan sampai level terbawah sekalipun, dengan harga yang terjangkau". Demikian penjelasan dari pak pejabat di depan televisi.

Romelah, entah kenapa serius memperhatikan setiap ucapan demi ucapan yang keluar dari bibir Pak Bos. Tetiba Chintya putri semata wayang yang masih duduk di bangku SD bertanya: "Mak, lapaaar. Kita kok belum makan?". "Makan, makan, laper palelu" Romelah yang dari tadi sudah menahan-nahan emosi mendengar pidato Pak Bos di tipi, seketika meledakkan kemarahannya.

"Emangnya harga beras murah? Emangnya mak mu ini punya laki? Emangnya mak mu ini kerja di tempat cetak uang? Sale lu ndiri, kenapa lahir? Nape lu jadi anak gue, nape lu nggak jadi anaknye si Mak Bos Priscillia?" Demikian Romelah nyerocos terus, nggak henti-henti. Kesel kayaknya. Chintya bengong aja, kagak ngarti kenapa maknya marah.

Dibilang salah minum obat, maknya lagi nggak minum obat. Trus, apa kaitannya dia dengan Priscillia, beras murah dan cetak uang? Emangnya gue udah gede? Udah ngarti? Pan gue anak SD, parah nih si Mak. Chintya membatin. Dia hanya tau perutnya laper, kalau setiap minta makan setiap diomelin, kapan jadi pintarnya? Di sekolah diajarin empat sehat lima sempurna. Bagi Chintya kaga ade empat sehat, apalagi lima sempurna kaga ape-ape dah. Nyang penting perutnya keisi, gitu aja kok repot?

Sekarang giliran Romelah yang bengong, kenapa ya dia begitu sewot? Kasihan Chintya, bukankah Chintya anak kecil, anak tak berdosa, belum ngerti pahitnya dunia? Romelah merasa menyesal, bagi dia Chintya tak menanyakan siapa bapaknya saja, sudah syukur. Kalau nanya, gimana gue njelasinnya? Romelah termenung. Emangnya Chintya anak ajaib, yang bisa hadir ke dunia tanpa bapak. Padahal dia tau siapa bapaknya Chintya, bukankah dia dulu bersenang-senang dengan bapaknya?

Wah ruwet, hidup emang ruwet. Bahkan untuk bertanya kepada rumput yang bergoyangpun dia tak bisa, yang ada cuma perkampungan kumuh di tengah kota, penuh sesak, rumputpun tak sempat tumbuh, apalagi bergoyang. Waktu berlalu, mentaripun tlah lama tenggelam, hiruk pikuk lalu lalang manusia di gang sempit itu mulai berkurang. Nyaris tengah malam, dan Chintya juga sudah terlelap membawa rasa laparnya sedari siang.

Anak sekecil itu .... dipandangi terus oleh Romelah, kasihan kau nak. Andai kau tau siapa bapakmu, kau pasti takkan menyangka. Bapakmu orang berpendidikan nak, keluarga bapakmupun orang terpandang. Nak, makmu ini hanyalah orang bodoh. Orang yang mau saja diajak "olahraga malam" dengan janji dinikahi oleh Bapakmu. Makmu ini hanya pembantu di keluarga bapakmu itu. Nak, mak memang bodoh, tak menyadari antara mak dengan bapakmu ibarat bumi dan langit.

Janji itu tak pernah ditepati, dan kaupun lahir. Satu-satunya kata menyakitkan yang masih teringat dari mertua (tak jadi) adalah: "orang kampung dengan nama kampung sepertimu tak layak menjadi bagian dari keluarga kami". Kata-kata itulah yang menyebabkan mak memberi nama untukmu dengan sedikit mentereng Chintya, dengan harapan kau jadi orang terpandang. Tapi sudahlah nak, merindukan bapakmu ibarat punguk merindukan bulan.

Du du du duh, sedih. Melow banget kisah si Romelah. Tapi ada yang bikin kaget, ternyata Chintya tak tidur, dia mendengar dengan jelas "gigauan" maknya. Dan ketika gigauan itu berhenti, Chintya memberanikan diri 'tuk bertanya: "Bapak orang kota ya mak, masih hidupkah? Trus siapa nama bapak?". Bak disambar geledek Romelah terkaget: "A aa apa? Nama bapakmukah?" "I ii iya mak" jawab Chintya, gemetar melihat wajah emak yang emosi.

"Benar, bapakmu orang kota, orang berada. Suka tampil di tipi, pidato sana pidato sini. Tadi siang dia juga pidato, makanya mak terbawa emosi mendengar pidatonya. Cerita pangan murah, tapi cuma di tipi, mak nggak punya beras. Nama bininya sih keren, Priscillia, menginspirasi mak untuk memberi nama yang juga keren buatmu. Tapi nama dia sebenarnya kampungan juga kayak mak.

Romelah melanjutkan: "Namanya Midoen.....!" Romelah berteriak dalam kesal yang panjang, semua emosinya terbawa dalam lengking pilu yang menyayat hati. Sungguh lengkingan itu telah mengagetkan para tetangga. Sebentar saja kediaman Romelah dinihari itu sudah ramai didatangi tetangga. Romelah pingsan, sementara Chintya, menangis menyesal telah menanyakan siapa nama bapaknya, menyesal telah bertanya, menyesal telah membuat maknya pingsan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun