Mohon tunggu...
ANDRO AGIL NUR RAKHMAD
ANDRO AGIL NUR RAKHMAD Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Master of Islamic Banking and Finance UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konsep Harta dan Kepemilikan dalam Islam

21 Desember 2018   13:11 Diperbarui: 21 Desember 2018   14:10 3936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

PENGERTIAN KEPEMILIKAN

Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT :

"Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi.  Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.  Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki...."(Qs. Al-Baqarah : 284).

Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai " kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah".

Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai "sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. "  Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif.  Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.

"Kepemilikan" berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
"MILIK" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.

Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya.
Yaitu, yang memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i.

Hambatan Syar'i Kepemilikan:
1.  Gila / sakit ingatan/ hilang akal.
2.  Masih terlalu kecil (belum baligh) sehingga belum paham memanfaatkan barang.

JENIS-JENIS KEPEMILIKAN

Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua, yaitu:

1. Kepemilikan sempurna (tamm): Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus.
2.  Kepemilikan kurang (naaqis): Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja.

Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu:

1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan;
2. Akad
3. Penggantian
4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki.

Kepemilikan yang sah menurut Islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses yang disahkan Islam dan menurut pandangan Fiqh Islam terjadi karena:

1. Menjaga hak Umum
2. Transaksi Pemindahan Hak
3. Penggantian Posisi Pemilikan

Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan seseorang atas suatu barang dapat diperoleh melalui suatu lima sebab, yaitu:

1. Bekerja.
2. Warisan.
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
4. Harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyat.
5. Harta yang diperoleh seseorang tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.

Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.

Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :

a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad.

Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu:

1. Belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya."

2. Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.

Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu:

a) Kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b) Kepemilikan karena berburu atau memancing.
c) Rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
d) Kepenguasaan atas barang tambang.

Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fuqoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.

Wallahu A'lam Bissowab

Referensi : 

Rivai, Veitzhal dan Andi Buchari. 2009. Islamic Economics "Ekonomi Syariah bukan Opsi. Tapi SOLUSI!". Jakarta: Bumi Aksara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun