Mohon tunggu...
Andriyan Firmansyah
Andriyan Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Amor Omnia Vincit

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika dan Prosesi Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afika Serta Relevansi dengan POLUGRI Indonesia Saat Ini

29 April 2021   20:39 Diperbarui: 29 April 2021   21:59 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

April merupakan salah satu bulan bersejarah bagi Indonesia, pada bulan ini Tahun 1955 Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika sebagai bentuk perlawanan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Bagaimana kronologi dan dinamika dari penyelenggaraan KAA? Apakah nilai-nilai KAA masih relevan bagi POLUGRI Indonesia saat ini? Penulis akan menuliskannya dengan singkat dan opini penulis terkait dengan relevansi nilai-nilai KAA saat ini.

Sepanjang 1954-1957 merupakan era dimana banyak terjadi pergolakan di kawasan Asia dan Afrika, dimulai dari gerakan Anti-Kolonialisme dan Imperalisme di kawasan Afrika hingga terjadinya polarisasi sebagai dampak dari Cold War yang juga menyeret negara-negara di kawasan Asia untuk terlibat di dalamnya. Hal ini ditandai dengan dibuatnya SEATO (South East Asia Treaty Organizations) yang diprakarsai oleh Amerika Serikat di bawah Menteri Luar Negeri mereka pada waktu itu Foster Dulles, yang bertujuan untuk menanggulangi penyebaran paham komunis ke wilayah Asia Tenggara, hal ini jelas berpengaruh terhadap kedaulatan dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Amerika Serikat juga melakukan intervensi lain yaitu dengan menanggung 78% biaya Perang Perancis di Indochina. Melihat hal ini, beberapa pemimpin dari negara-negara yang berpengaruh di Asia pada waktu itu memiliki keinginan untuk menyatukan negara-negara di kawasan ini sehingga mereka tidak lagi tertekan sebagai dampak dari polarisasi perang dingin dan juga untuk mencapai perdamaian dunia yang abadi, sehingga tibalah penyelenggaraan Konferensi Kolombo, Sri Lanka pada Tahun 1954 .

Pada Konferensi Kolombo ini muncul gagasan dari PM Indonesia waktu itu, yakni Ali Sastroamidjojo untuk meyatukan negara-negara di kawasan Asia-Afrika melalui sebuah konferensi yang mana usulan ini ditanggapi  dengan dingin oleh beberapa pemimpin dari delegasi yang datang ke Konferensi tersebut, yaitu PM Jawaharlal Nehru dari India, Sir John Kotelawala dari Sri Lanka, PM Mohammed Ali dari Pakistan dan PM U Nu dari Birma. Hal ini mengingat Indonesia pada waktu itu relatif baru merdeka dan usulan tersebut terkesan sedikit terlalu ambisius, sehingga wajar saja apabila para Perdana Menteri tersebut menanggapi usulan tersebut dengan dingin dan cenderung meragukan keberhasilan dari usulan tersebut.

Terbentuknya SEATO dan meluasnya konflik di kawasan Asia membuat PM Jawaharlal Nehru merubah pikirannya dan justru meminta agar pelaksanaan KAA untuk segera dimulai. Akhirnya, pada 28-30 Desember 1954 diadakan sebuah pertemuan di Bogor untuk membahas hal-hal esensial mengenai pelaksaan KAA itu sendiri, seperti negara sponsor, tujuan konferensi, estimasi waktu pelaksanaan, negara yang diundang, agenda apa saja yang akan dilaksanakan dan tingkat delegasi dari Konferensi Asia Afrika. Dalam persetujuan mengenai hal-hal tersebut ada sedikit perdebatan perihal negara mana saja yang akan diundang, dimana kelima negara sponsor yakni Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka dan Birma sedikit mengalami perselisihan mengenai undangan terhadap undangan untuk beberapa negara, seperti Israel dan Tiongkok yang mana berakhir pada putusan untuk tidak mengundang Israel dan Tiongkok tetap diundang hal ini sebagai pertimbangan akan keberhasilan dari tujuan KAA itu sendiri. 

Setelah semua hal tersebut disepakati dengan baik, akhirnya diputuskan untuk melaksanakan KAA dengan pelaksanaan jatuh pada tanggal 18-24 April 1955, dengan tujuan untuk kerjasama antar negara-negara di kawasan Asia dan Afrika, pembicaraan seputar sosial, ekonomi, dan budaya, diskusi mengenai kepentingan-kepentingan khusus negara di Asia dan Afrika, serta peninjauan terhadap kedudukan negara di Asia dan Afrika dalam pelaksanaan perdamaian dan kerjasama dunia, dengan tingkat konferensi yaitu tingkat kementerian, serta jumlah negara yang diundang, yakni 29 negara dengan rincian, 5 negara sponsor, 12 Negara Asia, 8 Negara Arab dan 4 Negara Afrika.

Konferensi pun dimulai pada 18 April 1955 dimana dibuka dengan Pidato dari Presiden Pertama kita, yakni IR. Soekarno yang mengajak bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk bekerja dalam melawan kolonialisme atas dasar solidaritas antar negara-negara di Asia dan Afrika. Kemudian pada 20 April 1955 rapat lanjutan diselenggarakan dengan membahas topik mengenai Hak Asasi Manusia dan perjuangan terhadap hak-hak rakyat Aljazair, Maroko, Tunisia dan Palestina, dalam pembahasan ini juga terjadi sedikit terjadi kesalahpahaman antara Sri Lanka dengan Tiongkok mengenai neo-kolonialisme di Eropa Barat dan Tengah yang melibatkan Soviet yang menurut Sri Lanka merupakan Kolonalisme bentuk baru. 

Sementara, seperti yang diketahui Tiongkok dan Soviet berhubungan dengan baik dan hal ini tentunya membuat Tiongkok sedikit tersindir, tentunya hal ini membuat sidang berpotensi melahirkan konfrontasi baru, mengingat pada waktu itu ada beberapa delegasi yang merupakan sekutu dari masing-masing blok, yakni Blok Barat dan Blok Timur, namun kesalahpahaman ini bisa terselasaikan dengan baik.

Perdebatan juga kembali terjadi pada pembahasan tujuan mengenai perdamaian dan kerjasama dunia, pada sidang ini, delegasi yang hadir terbagi menjadi dua, yakni kelompok pro-militer yang dipimpin oleh Pakistan dan kelompok anti-militer yang dipimipin oleh India. Pihak Pro-militer berpendapat pada waktu itu bahwa mustahil untuk menciptakan perdamaian dunia tanpa melibatkan sistem pertahanan yang kompleks, sementara pihak Anti-Militer berpendapat bahwa untuk mencapai perdamaian dan kerjasama dunia, diperlukan adanya prinsip non-intervensi dan non-agresi dalam dunia internasional. 

Perdebatan ini membuat sidang mengalami pemunduran jadwal hingga berakhir pada 24 April 1955 dan selama masa pengunduran waktu itu dibentuk sebuah panitia perumus untuk merumuskan hasil dari Konferensi Asia- Afrika yang beranggotakan Tiongkok, India, Mesir, Birma, Kamboja, Lebanon, Jepang, Liberia, Sri Lanka, Turki, Pakistan dan Filipina. Setelah dibentuk panitia perumusan tersebut lahirlah sebuah rumusan yang disebut sebagai “Dasasila Bandung” yang berisi 10 poin hasil dari penyelenggaran Konferensi Asia-Afrika, lahirnya Dasasila Bandung ini sekaligus menjadi penanda berakhirnya Konferensi Asia-Afrika.

Adanya Konferensi Afrika merupakan salah satu rujukan dalam aktivitas POLUGRI Indonesia dan keberadaan KAA ini juga masih sangat relevan di era kontemporer. Misalnya, di bidang ekonomi Indonesia pada 10 April 2018 sepakat untuk membuat kerjasama ekonomi dengan negara di kawasan Afrika melalui Indonesia Africa Forum (IAF), selain itu di tahun 2016 Indonesia juga melakukan kerjasama dengan Senegal di sektor industri kimia melalui kerjasama degan tajuk New Asian-African Strategic Partnership (NAASP), sementara di sektor politik dan keamanan Indonesia juga bekerja sama dengan India sebagai salah satu negara sponsor KAA, melalui beberapa kerjasama seperti Biennal Defense Minister Forum pada 2012 dan Navy to Navy Talk pada 2015. Selain itu, di sektor Politik, Indonesia pada tahun 2011 sudah meratifikasi perjanjian bertajuk Agreement on Economic and Technical Cooperation dengan Ethiopia sebagai bentuk peremajaan hubungan diplomatik keduanya. Beberapa kerjasama tadi merupakan bukti bahwa KAA sendiri masih relevan sebagai salah satu rujukan Indonesia dalam melakukan Politik Luar Negeri.

Referensi

Haryanto, A., & Pasha, I. (2016). Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek. Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu Group.

Iwf, H. L. (2020). Hubungan Perdagangan Indonesia-Ethiopia dan Implikasinya terhadap Hubungan Diplomatik Kedua Negara: Suatu Tinjauan Ekonomi Politik Internasional. Review of International Relations, 12.

Maida, N. (2018). Motivasi Indonesia Melakukan Kerjasama di Bidang Industri Kimia dengan Senegal Tahun 2013-2016. Jurnal Online Mahasiswa FISIP Universitas Riau, 7.

Saniah. (2020). Pengaruh Indonesia Africa Forum (IAF) terhadap Perluasan Pasar Non-Tradisional Indonesia di Kawasan Afrika. Jurnal Online Mahasiswa FISIP Universitas Riau, 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun