Pada tahun 1784 M, raja Myanmar Bodawpaya menyerang kembali Arakan dan menggabungkan wilayahnya dengan negaranya. Hal ini menyebabkan banyak orang Muslim Arakan menjadi minoritas atau bahkan terasing di wilayah baru tersebut. Mereka juga menghadapi diskriminasi, penganiayaan, dan pengusiran dari pemerintah Myanmar maupun masyarakat lokal.
Asal Usul Munculnya Bangsa Rohingya
Orang-orang Rohingya adalah etnis Muslim yang berasal dari India dan masuk ke Arakan melalui jalur perdagangan dan migrasi. Mereka hidup damai dengan penduduk lain di Arakan selama berabad-abad, meskipun mereka tidak termasuk dalam salah satu dari delapan suku bangsa yang diakui oleh pemerintah Myanmar.
Menurut beberapa sumber, orang-orang Rohingya mulai masuk ke Arakan sejak abad ke-7 M, ketika pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India membawa Islam ke wilayah tersebut. Mereka kemudian bercampur dengan penduduk lokal yang beragama Buddha, Hindu, dan Animisme, dan membentuk komunitas Muslim yang berbeda dari komunitas Muslim lainnya di Asia Tenggara.
Menurut sumber lain, orang-orang Rohingya mulai masuk ke Arakan sejak abad ke-15 M, ketika raja Arakan Narameikhla meminta bantuan dari Sultan Benggala untuk mengusir penjajah Burma. Sultan Benggala mengirimkan pasukan dan penduduknya untuk membantu raja Arakan, dan sebagian dari mereka menetap di Arakan. Mereka kemudian bercampur dengan penduduk lokal yang beragama Islam, dan membentuk komunitas Muslim yang berbeda dari komunitas Muslim lainnya di Asia Tenggara.
Nama Rohingya sendiri berasal dari kata Rakhine, yang merupakan nama lain dari Arakan. Orang-orang Rohingya menganggap diri mereka sebagai orang-orang Rakhine yang beragama Islam, dan bukan sebagai orang-orang asing atau pendatang. Mereka juga memiliki bahasa, budaya, dan tradisi yang khas, yang berbeda dari bahasa, budaya, dan tradisi orang-orang Rakhine yang beragama Buddha.
Permasalahan Etnis Rohingya dan Pemerintah Myanmar
Etnis Rohingya adalah salah satu kelompok minoritas Muslim yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar. Mereka mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myanmar karena tidak diakui sebagai warga negara. Mereka sering disiks, Â dianiaya, dikucilkan, dan diusir keluar dari wilayahnya ke tempat pengungsian.
Konflik antara etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar sudah berlangsung sejak lama, tetapi memuncak pada tahun 2017, ketika kelompok bersenjata Rohingya yang bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang puluhan pos polisi di Myanmar yang menewaskan belasan petugas. Serangan ini memicu reaksi keras dari militer Myanmar, yang melakukan operasi keamanan yang melibatkan pembakaran desa-desa, pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan terhadap warga Rohingya. Akibatnya, lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di mana mereka hidup dalam kondisi kumuh di kamp-kamp pengungsian.
Konflik ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti diskriminasi, penyangkalan kewarganegaraan, dan masalah entitas etnis. Pemerintah Myanmar tidak mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negara, melainkan sebagai orang-orang asing atau pendatang yang tidak berhak atas hak-hak sipil dan politik. Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui nama Rohingya, melainkan sebagai orang-orang Bengali, yang mengimplikasikan bahwa mereka berasal dari Bangladesh. Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui adanya etnis Rohingya, melainkan sebagai orang-orang Muslim, yang mengimplikasikan bahwa mereka tidak memiliki identitas kultural yang khas.
Konflik ini juga menimbulkan reaksi dari pemerintah internasional, yang mengutuk tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar dan menuntut penyelesaian damai konflik tersebut. Pemerintah internasional juga berusaha memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi etnis Rohingya yang menjadi pengungsi atau korban pelanggaran hak asasi manusia.