Hitobashira adalah sebuah istilah Jepang yang berarti "tiang manusia" atau "pilar manusia". Istilah ini merujuk pada sebuah praktik pengorbanan manusia yang dilakukan di Jepang pada masa lalu, terutama saat membangun bangunan-bangunan besar seperti bendungan, jembatan, dan istana. Praktik ini melibatkan penguburan hidup-hidup korban di bawah atau dekat dengan bangunan tersebut, dengan tujuan untuk menenangkan dewa-dewa atau roh-roh alam yang mungkin marah atau tidak senang dengan pembangunan tersebut. Praktik ini diyakini dapat melindungi bangunan dari bencana alam atau serangan musuh. Hitobashira juga dapat merujuk pada pekerja yang dikubur hidup-hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Praktik hitobashira adalah salah satu contoh dari budaya pengorbanan manusia di Asia Timur dan Tenggara, yang sering dilakukan untuk menenangkan roh-roh tanah yang terganggu oleh pembangunan besar-besaran. Namun, praktik ini juga menimbulkan kontroversi dan penentangan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar Jepang. Praktik ini juga menjadi bahan cerita rakyat atau legenda urban yang menarik dan menyeramkan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang sejarah, contoh, dan pandangan masyarakat modern tentang hitobashira. Kita juga akan melihat beberapa fakta menarik dan mitos tentang praktik ini.
Sejarah Hitobashira
Praktik hitobashira pertama kali bermula di Jepang pada zaman kuno, sekitar abad ke-3 Masehi. Menurut catatan tertulis tertua yang ditemukan dalam Nihon Shoki (Kronik Jepang), praktik ini dilakukan oleh Kaisar Nintoku, yang memerintahkan untuk membangun sebuah bendungan di Sungai Tone. Namun, bendungan itu selalu rusak oleh banjir. Kaisar Nintoku kemudian bermimpi bahwa ada dua orang yang bisa membantu memperbaiki bendungan itu, yaitu Kohakubi dan Koromonoko. Mereka harus dikorbankan sebagai hitobashira untuk menenangkan dewa sungai. Kohakubi menuruti perintah kaisar dan melompat ke sungai, sementara Koromonoko menantang dewa sungai untuk membuktikan kekuatannya. Dewa sungai tidak bisa menenggelamkan dua labu yang dilemparkan Koromonoko ke sungai, sehingga Koromonoko lolos dari pengorbanan. Setelah itu, bendungan itu berhasil dibangun tanpa hambatan lagi .
Praktik hitobashira kemudian dilanjutkan oleh orang-orang Jepang pada masa-masa berikutnya, terutama saat membangun bangunan-bangunan besar seperti jembatan, istana, dan kuil. Mereka percaya bahwa dengan mengubur orang hidup-hidup di bawah atau dekat dengan bangunan tersebut, mereka bisa mendapatkan perlindungan dari dewa-dewa atau roh-roh alam. Beberapa contoh bangunan yang diduga menggunakan hitobashira adalah Jembatan Nagara, Jembatan Matsue, dan Istana Maruoka. Namun, tidak ada bukti arkeologis yang pasti tentang adanya hitobashira di bawah bangunan-bangunan tersebut.
Praktik hitobashira diyakini telah berakhir pada zaman Edo (1603-1868), ketika Jepang mulai mengadopsi teknologi dan ilmu pengetahuan Barat. Namun, ada beberapa klaim bahwa praktik ini masih terjadi pada abad ke-20, misalnya saat pembangunan Terowongan Daishimizu di Prefektur Gunma pada tahun 1917-1921. Ada rumor bahwa beberapa pekerja tewas akibat kecelakaan kerja dan mayat mereka dibiarkan di dalam terowongan sebagai hitobashira. Namun, klaim ini tidak memiliki bukti yang kuat dan mungkin hanya merupakan cerita rakyat atau legenda urban.
Contoh Hitobashira
Berikut adalah beberapa contoh dari hitobashira yang terkenal atau menarik: