- Hitobashira juga memiliki hubungan dengan konsep mottainai, yang berarti sayang atau rugi untuk membuang sesuatu yang masih berguna. Dengan mengorbankan manusia sebagai hitobashira, orang-orang Jepang percaya bahwa mereka bisa memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga, yaitu nyawa manusia, untuk tujuan yang lebih besar dan mulia.
- Hitobashira juga dipengaruhi oleh budaya samurai, yang menghargai keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan diri. Beberapa korban hitobashira adalah samurai yang gagal dalam misi atau pertempuran mereka, dan memilih untuk menjadi hitobashira sebagai bentuk penebusan dosa atau pengabdian kepada tuan mereka.
- Hitobashira juga terkait dengan legenda Momotaro, seorang pahlawan rakyat Jepang yang lahir dari sebuah buah persik. Menurut cerita, Momotaro pergi ke pulau Onigashima untuk melawan para oni (raksasa) yang merampok desanya. Dia dibantu oleh tiga hewan, yaitu seekor anjing, seekor monyet, dan seekor burung puyuh. Ketika mereka sampai di pulau Onigashima, mereka menemukan sebuah gerbang besar yang dibangun dengan hitobashira. Mereka berhasil mengalahkan para oni dan membebaskan para tawanan yang menjadi hitobashira.
Kesimpulan
Hitobashira adalah praktik pengorbanan manusia yang dilakukan di Jepang pada masa lalu. Praktik ini melibatkan penguburan hidup-hidup korban di bawah atau dekat dengan bangunan-bangunan besar seperti bendungan, jembatan, dan istana. Praktik ini bertujuan untuk menenangkan dewa-dewa atau roh-roh alam yang mungkin marah atau tidak senang dengan pembangunan tersebut. Praktik ini diyakini dapat melindungi bangunan dari bencana alam atau serangan musuh.
Praktik hitobashira adalah salah satu contoh dari budaya pengorbanan manusia di Asia Timur dan Tenggara, yang sering dilakukan untuk menenangkan roh-roh tanah yang terganggu oleh pembangunan besar-besaran. Namun, praktik ini juga menimbulkan kontroversi dan penentangan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar Jepang. Praktik ini juga menjadi bahan cerita rakyat atau legenda urban yang menarik dan menyeramkan.
Pandangan masyarakat modern tentang hitobashira bervariasi, tergantung pada sudut pandang sejarah, budaya, dan etika. Beberapa orang mungkin menganggap hitobashira sebagai bagian dari warisan budaya Jepang yang menarik dan unik, yang mencerminkan kepercayaan dan tradisi kuno mereka. Beberapa orang mungkin tertarik dengan aspek mistis dan horor dari hitobashira, yang sering menjadi bahan cerita rakyat atau legenda urban. Beberapa orang mungkin juga menghormati korban hitobashira sebagai pahlawan atau martir yang berkorban demi kepentingan umum.
Namun, ada juga orang yang mengecam hitobashira sebagai praktik yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak beradab, yang melanggar hak asasi manusia dan martabat hidup. Beberapa orang mungkin merasa ngeri dan marah dengan cara korban hitobashira dipilih secara acak, dipaksa, atau ditipu untuk dikubur hidup-hidup. Beberapa orang mungkin juga meragukan efektivitas atau rasionalitas dari hitobashira, yang didasarkan pada kepercayaan takhayul yang tidak ilmiah. Beberapa orang mungkin juga menuntut agar lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat hitobashira diinvestigasi atau dihormati sebagai situs sejarah.
Secara umum, pandangan masyarakat modern tentang hitobashira cenderung bersifat kritis dan skeptis, karena praktik ini bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma modern yang menghargai kehidupan manusia dan pengetahuan ilmiah. Namun, ada juga orang yang tetap memandang hitobashira sebagai fenomena budaya yang menarik dan layak dipelajari.
Demikianlah artikel ini tentang hitobashira: praktik pengorbanan manusia di Jepang pada masa lalu. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda tentang budaya dan sejarah Jepang. Terima kasih telah membaca. Sampai jumpa di artikel selanjutnya.