Mohon tunggu...
Andri Wanto
Andri Wanto Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kabupaten Sekadau; Kebunan Leluhur, Mati/Hancur

9 April 2016   00:21 Diperbarui: 9 April 2016   00:59 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai anak petani karet dari desa, terkadang terlintas rasa Galau, Gundah, Merana atas kondisi, keadaan, serta problem yang dihadapi keluarga, kerabat, dan seluruh masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil menyadap pohon karet. Salah satu sektor perkebunan yang sudah turun temurun menghidupi dan melahirkan ratusan bahkan ribuan orang terdidik dari zaman nenek moyang itu, seolah seperti ronsokan panci atau kuali pada zaman masak menggunakan kayu bakar, jikalau sudah rusak fisiknya segera dibuang dan ganti dengan yang baru. 

Terkadang tersirat dalam lamunan apakah memang karet tidak lagi dibutuhkan oleh olahraga terkaya dan termasyur dijagad, sampai Indonesia rela menggelontorkan Ratusan Miliyar untuk mengikut sertakan salah satu pembalapnya untuk bisa bawa nama negara yang katanya kaya akan hasil alamnya ini ke ajang Formula Satu (F1), ataukah si the doctor Valentino Rossi sudah menggunakan kayu untuk memacu laju motor balapnya?

Apakah sektor-sektor perkebunan dari nenek moyang kita dulu sudah tidak laku dipasar? Kebun karet dihabisi dengan harga yang begitu membunuh para petaninya, Pohon-Pohon durian ditebang dan dijual secara liar. Apakah sektor perkebunan nenek moyang dulu tidak ramah lingkungan? Ataukah kebun-kebun nenek moyang dulu tidak bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah? Apakah generasi penerus memang disiapkan untuk menjadi kuli ditanah sendiri? Apakah generasi penerus dipersiapkan untuk mengkonsumsi dengan cara membeli durian, kelengkeng, kopi, langsat, pisang sampai pepaya yang di impor dari negara tetangga? Yang seharusnya bisa mereka nikmati dan petik sendiri dari tanah nenek moyang mereka.

Kemajuankah dari kebun nenek moyang yang tumbuh subur tanpa perawatan khusus dan tanpa pupuk-pupuk zat kimia yang merusak tanah ke perkebunan moderen yang serba canggih, perawatan, pemupukan yang terjadwal dan akan memberihasil buah dan pohon yang bagus serta tidak terserang hama. Adakah kekurangan air jikala kemarau panjang dan air yang berlebih dimusim penghujan datang dengan kebun-kebun tradisional ala nenek moyang dulu? Adakah perebutan sampai penjualan tanah Adat yang dilakukan oleh nenek moyang dulu?

Dengan "kemajuan" dari sektor perkebunan hari ini, sudahkah rakyat yang dulunya petani karet sejahtera, sudahkah masyarakat menjadi tuan ditanah sendiri, tanah dari nenek moyangnya sendiri? Dapatkah masyarakat menjalani rutinitas yang nyaman ketika musim hujan turun? Bisakah disebut perkembangan jika hujan turun banjir dimana-mana yang seakan menyaingi banjir seperti kota besar, Jakarta, Surabaya dan Bandung, sementara jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dari kota-kota tersebut? Kemajuankan dengan adanya maling-maling yang menjual tanah atau hutan adat kepada pemilik modal atau perusahan-perusahaan tertentu mengatasnamakan kepentingan bersama masyarakat?

Masihkah kita mau menjadi kuli ditanah nenek moyang kita yang mereka gunakan untuk menanam kebun sawit mereka? Belum bisakah kita memoderenkan kebun-kebun tradisonal karet, durian, coklat, kelengkeng, pisang ala nenek moyang kita dulu? Pilihanku dan pilihanmu; apakah kita masih menikmati menjadi kuli ditanah kita sendiri? atakah kita bangkit dan memulai kebangkitan itu dari diri kita sendiri dengan memoderenkan perkebunan yang bersahabat, yang ramah lingkungan dan tidak meninggalkan ajaran yang membudaya dari leluhur kita dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun