Para pelaku menggunakan keyakinan spiritual yang tinggi dari korban untuk memuaskan nafsu dan meraup keuntungan pribadi darinya.
Ditambah lagi dengan minimnya pengetahuan korban terhadap spiritualitas dan kurangnya kemampuan dalam berpikir kritis semakin mendukung terjadinya kasus-kasus seperti di atas.
Tak hanya itu, masih tingginya tingkat cara berpikir logika mistika seseorang juga bisa menjadi faktor yang mendukung fenomena-fenomena pembodohan spiritual ini.
Orang yang berpikir secara logika mistika, akan cenderung mencari penjelasan paling mudah dalam memahami suatu fenomena. Contohnya saja seperti kepercayaan tentang tanda-tanda kematian atau kelahiran yang dikaitkan dengan fenomena gerhana. Kemudian adanya kepercayaan suatu penyakit adalah kutukan, dan hanya bisa disembuhkan melalui ritual-ritual tertentu, alih-alih memeriksakan dan mengobatinya dengan cara medis.
Pembodohan spiritual seperti ini masih marak terjadi di Indonesia. Tidak cuma untuk melancarkan aksi-aksi bejat dan memuaskan nafsu hewani pelaku saja, namun juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk meraup keuntungan finansial darinya.
Misalnya seperti penjualan garam ruqyah, yang padahal jika dilihat garam tersebut hanya garam biasa, yang kemudian diberi label berbau agama. Bedanya, jika garam biasa dijual di toko, mungkin harganya berkisar antara Rp5.000 sampai Rp15.000 per bungkus. Namun, jika label garam tersebut diganti dengan embel-embel agama, maka harganya bisa mencapai Rp40.000 sampai Rp200.000 per bungkus dengan ukuran kemasan yang sama.
Ada juga beberapa waktu lalu penulis menemukan di sebuah kedai es teler, yang ternyata juga menjual air mineral kemasan sedang hingga besar dengan label "Air Do'a". Ternyata setelah penulis iseng mencari di e-commerce, produk semacam ini juga banyak bertebaran.
Menariknya, jika air mineral pada umumnya dijual berkisar antara harga Rp3.000 an untuk kemasan 600ml, dan Rp5.000 an untuk kemasan 1500ml, untuk air do'a ini bisa dijual dengan harga mencapai Rp15.000 untuk kemasan 600ml. Bahkan ditemukan juga yang harganya mencapai Rp20.000 hingga lebih untuk ukuran kemasan lebih kecil.
Sungguh sangat menarik dan akan sangat menguntungkan untuk dijadikan inspirasi bisnis.
Akan tetapi, ada hal yang mengusik otak kecil penulis terkait dengan air do'a tersebut. Ambil saja contoh air do'a yang penulis temukan di kedai es teler tadi.
Setelah penulis amati, air do'a tersebut ternyata diproduksi oleh sebuah yayasan atau lembaga sejenis, yang berada di daerah setempat. Packaging dan pengemasannya juga cukup bagus. Nah, masalahnya kalau lembaga tersebut mampu memproduksi air mineral dengan kualitas dan pengemasan sebagus itu, lantas kenapa tidak memproduksinya secara masal, memberi label dan merek, lalu menjualnya di pasaran layaknya air mineral pada umumnya?