[caption id="attachment_261566" align="aligncenter" width="960" caption=" Mahasiswa JCU, Australia di Pusat Bahasa UNRAM"][/caption] Awalnya aku membayangkan akan datang 10 mahasiswa berkulit putih ke Pusat Bahasa UNRAM pertengahan Agustus lalu. Seperti yang telah di sampaikan oleh Pak Made, sekertaris Pusat Bahasa bahwa 10 mahasiswa ini berasal dari James Cook University (JCU), Australia. Mereka akan mengadakan penelitian sesuai dengan kajian bidang study masing-masing di NTB, Indonesia. Namun sebelumnya mereka diberikan bekal dengan belajar Bahasa Indonesia selama 2 minggu. Aku sebenarnya bukan termasuk teaching staff yang akan mengajar mereka. Namun atas dasar rasa penasaran akupun meluangkan waktu yang masih terhitung hari libur lebaran saat itu untuk sekedar mengikuti opening ceremony dalam rangka menyambut kedatangan mahasiswa JCU tersebut.
Tepat jam 8.30 aku tiba di Pusat Bahasa. Namun ternyata acara belum dimulai. Aku sempat berbincang-bincang dengan 3 rekan intstruktur BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) yang memang ditunjuk sebagai pengajar mahasiswa JCU tersebut. Aku menanyakan kesiapan mereka mengajar, dan rata-rata menjawab tidak siap. Tidak siap secara mental tentunya karena segala macam materi ajar dari mulai modul hingga media sudah disiapkan. Aku rasa mereka hanya sekedar nervous saja karena memang sebelum itu mereka telah memiliki pengalaman mengajar BIPA beberapa kali. Jadi pastinya telah ada gambaran strategy mengajar nantinya. Beda dengan aku yang belum pernah sama sekali. Jadi intinya adalah aku datang hari itu tidak hanya akan mengikuti opening ceremony saja, tapi akan ikut masuk kedalam kelas untuk melihat jalannya proses belajar-mengajar. Atau dengan kata lain yaitu sit in. Ya, aku diberitahu bahwa setelah itu dijadwalkan akan langsung proses belajar dikelas.
Selang beberapa menit kemudian, kami dipanggil untuk segera memasuki ruangan karena para mahasiswa JCU sudah menunggu. Bergegaslah kami menuju tempat acara. Begitu membuka pintu, aku perhatikan beberapa orang telah duduk dibangku deretan depan. Mata aku masih berusaha mencari-cari manusia berkulit putih alias bule sambil mengambil posisi duduk dibagian belakang. Namun aku hanya melihat hanya ada 1 orang bule saja yang duduk disebelah pinggir kanan. Yang lainnya mana ya? Katanya akan datang 10 orang, kenapa hanya 1? Kemana 9 bule lainnya? Belum hilang rasa penasaranku, kami berempat diminta untuk maju kedepan oleh panitia. Sebenarnya ada rasa risih juga karena memang aku bukanlah intstruktur yang akan mengajar mereka. Tapi karena sudah kepalang tanggung diminta maju, akupun akhinrya ngekor juga di belakang 3 rekanku.
Acarapun dimulai. Pembawa acara menyapa peserta dengan bertanya “Apa kabar? Sudah Sarapan?” Beberapa peserta menjawab “ka... kabar ba..ba..baik!” dengan terbata-bata. Disinilah aku mulai sadar bahwa 9 bule lainnya itu adalah mereka yang duduk dideretan depan bersebelahan dengan 1 bule tadi. Tapi kok seperti orang lokal ya alias Indonesia banget. Benarkah mereka orang Australia? Tentu tidak! Ternyata setelah acara pengenalan diri, barulah kuketahui bahwa mereka adalah orang luar yang kuliah di JCU. Ada yang berasal dari Taiwan, Kamboja, Bangladesh, Equador, dan yang 1 bule tadi itu ternyata dari Selandia Baru. Pantaslah mereka “berwujud” seperti orang Indonesia banget. Kecuali ya 1 bule Selandia Baru itu yang memang asli berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru. Hahahahaha....
Seperti yang aku bayangkan sebelumnya bahwa yang akan datang adalah orang-orang bule Australia, jadilah sekarang aku agak enggan setelah mengetahui mereka sebenarnya. Ah, tapi apa mau di kata, daripada tidak ada yang aku kerjakan ya terpaksa aku teruskan sesuai dengan jadwal belajar mereka. Tapi sebelum itu, mereka diberi kesempatan keliling kampus Pusat Bahasa untuk mengenal area sekitar yang didampingi oleh seorang rekanku sebagai tour guide dan aku sendiri. Kami mulai berkeliling memberitahukan nama-nama area sekitar, tempat parkir, lapangan olahraga, dsb. Suatu kegiatan yang sedikit membosankan bagiku waktu itu.
Hari demi hari berlalu. Sudah sekitar 1 minggu mahasiswa JCU itu belajar B. Indonesia. Dan selama itu pula aku menyempatkan diri untuk ikut masuk kelas mereka melihat proses belajar di sela-sela kesibukanku. Awalnya, aku belum menemukan hal menarik. Namun, beberapa waktu kemudian aku mulai menikmati berinteraksi dengan mereka. Mereka tidak hanya ramah, tapi juga asyik diajak ngobrol dan bertukar informasi. Suatu hal yang tidak aku bayangkan sebelumnya. Karena memang, dulu aku sempat berpikir akan sedikit sulit bagiku berinteraksi karena menyebutkan nama mereka saja lumayan susah. Ada yang namanya Soc danh, Leakhena Mao, Thol Sem, , Chay Sam. Itu yang dari Kamboja. Belum lagi yang dari Vietnam, ada yang namanya, Phuong Lan Pham, Ngoc Hoa Truong, Truong Tran Quong. Belum lagi yang dari Bangladesh bernama Rajmoni Singha dan dari Equador bernama Johanna Ochoa R. Dan terakhir satu bule Selandia Baru itu yang namanya bagiku lumayan gampang disebut, Emma Carson.
Ada satu keuntungan yang menurutku bisa didapat ketika kita mengajar B.Indonesia kepada orang yang berasal dari negara-negara berbahasa Inggris asli seperti Amerika, Australia, Inggris, dan Kanada. Menariknya, selain mengajar kita juga sekalian bisa belajar dari mereka. Kenapa? Ada istilah-istilah tertentu dalam B.Indonesia yang akan sulit diterjemahkan ke dalam B.Inggris meski sudah dicari di kamus. Nah, mereka inilah yang bisa membantu menerjemahkannya. Contohnya, beberapa waktu lalu aku sempat membuat-buat terjemahan sendiri arti istilah “polisi tidur” ke dalam B.Inggris menjadi “lie down police”. Namun karena belum yakin, kemudian aku tanya seorang mahasiswa The University of Sunshine Coast, Australia yang sedang belajar B.Indonesia di Pubah UNRAM bernama Tess Harwood. Aku coba bertanya dengan mendeskripsikan “polisi tidur” itu sebagai suatu gundukan dibuat di tengah jalan dengan maksud agar pengendara melaju dengan pelan-pelan. Dan akhirnya dia menjawab “speed bump”. Suatu jawaban yang jauh berbeda dari arti yang aku coba buat-buat sendiri.
Itulah pemikiran aku sebelumnya. Namun ternyata, para mahasiswa JCU ini cukup berbeda. Selain belajar B.Indonesia mereka juga kerap kali berbagi informasi tentang negara mereka sekalipun terbata-bata menggunakan B.Indonesia dengan tujuan untuk praktik berbicara. Ini membuat pengetahuan dan wawasan aku bertambah seputar dunia luar terutama tentang negara mereka masing-masing. Selain itu, merekapun juga sering bertanya mengenai Indonesia khususnya (Lombok) NTB. Tentunya tidak semua pertanyaan itu bisa aku jawab seperti saat orientasi dulu, salah seorang dari mereka yaitu Ngoc Hoa Truong yang akhirnya akrab aku panggil Ngoc bertanya, “Berapa jumlah populasi orang Lombok?” Aku hanya bisa terdiam tanpa bisa menjawab. Hal ini pula menjadikan aku berpikir bahwa aku tidak hanya harus bisa mengajar, tetapi juga mesti belajar tentang Indonesia khususnya Lombok entah itu soal budaya, sejarah, kehidupan sosial, dsb.
Satu kesan menarik yang bisa aku jadikan pembelajaran selama berinteraksi dengan para mahasiswa JCU tersebut bahwa mengajar itu tidak perlu melihat siapa murid kita, bagaimana rupanya, dan dari mana asalnya. Yang terpenting adalah seberapa besar manfaat atas apa yang kita ajarkan, bukan malah mengharap satu imbal balik.
Mataram, Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H