“ular sawah Damar..” wajah Teguh pucat pasi
“untung tidak ku injak” teguh bergidik. Kepala dan bahunya gemetar. Tak sanggup membayangkan.
Namun sebelum mimik kengerian dimukanya selesai. Bayu sudah menggiring mereka berdua.
“ayo kita pindah!! jangan disini lagi...!!” Ia tak mau berlama-lama ditempat itu.
Mereka akhirnya menuju ke sebuah sungai kecil diujung petak sawah. Air segar mengalir deras. Membawa nafas-nafas kehidupan. Mereka menceburkan diri. Menenggelamkan seluruh badan. Menggosok tangan-kaki-muka. Membersihkannya dari lumpur-lumpur sawah yang melekat-mengering-mengerak.
***
Dari kejauhan pak Mahmud berteriak. Ia berlari ke ladang tempatnya menanam kacang tanah. Tangannya memegang golok. Diacungkannya kearah Damar, Bayu dan Teguh. Mereka kocar-kacir berhamburan ketakutan. Rupanya setelah mentimun mbah Imin sudah tak ada. Kini giliran kacang tanah pak Mahmud yang jadi korban kejahilan tangan mereka.
Setelah kelelahan mengejar burung-burung puyuh yang biasa berkeliaran dibawah pohon-pohon singkong. Rasa lapar menyerang perut mereka. Kebun kacang tanah pak Mahmud memang cukup luas. Pak Mahmud tidak akan tahu jika dua-tiga pohon kacangnya, yang siap panen itu mereka curi, pikir mereka. Namun ternyata pak Mahmud memergoki mereka. Jika saja kaki pak mahmud tidak pincang. Barangkali mereka sudah habis digorok oleh kemarahannya.
Damar lari paling depan. Bayu dan Teguh dibelakangnya tertinggal. Teguh sempat terjatuh. Ia terpeleset rumput pematang ladang, karena begitu panik. Damar dan Bayu tak sempat membantu membangunkannya. Semua berlomba menyelamatkan diri masing-masing.
Pak Mahmud terlihat sudah berhenti mengejar. Ia berdiri dipinggir ladang kacangnya. Sesekali ia menggelengkan kepala. Mengamati kerusakan yang ditinggalkan oleh ketiga anak-anak nakal tersebut.
***