Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Anak-anak Pematang

31 Oktober 2015   05:02 Diperbarui: 2 November 2015   05:14 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tiga anak laki-laki berbaring di atas rumput yang mulai kering. Tangan mungil mereka bergantian menunjuk gumpalan-gumpalan awan yang menggantung tepat di atas mereka.

"Lihat..! itu kelincii..!! tunjuk Damar antusias

“iya..betul!! mirip anak kelinci” sahut Bayu menimpali.

“itu..itu..!! mirip kepala kuda!!” Teguh gantian menunjuk ke arah gumpalan awan di sebelah kanan pandangannya.

“ah tidak mirip..!”sela Bayu protes.

“coba kamu perhatikan lagi baik-baik..!!” Teguh bersikukuh. Pandangan Bayu sudah berpindah pada bentuk awan yang lain.

Teguh sedikit menggeser posisi kepalanya. Ia memastikan kembali kalau awan yang dilihatnya itu memang benar-benar mirip kepala kuda. Namun sebelum ia sempat balik protes. Bayu sudah mengarahkan perhatiannya pada gumpalan awan yang berada jauh di ufuk barat.    

“Yang itu mirip muka Gorila ya!! Senyumnya tengil

“iya mirip Damar” timpal Teguh usil. Suara cekikikan terdengar bersahutan dari mulut mereka berdua.  

Damar lekas bangkit terduduk. Ia memandangi kedua temannya yang masih terkekeh-kekeh itu. Diam-diam dijambaknya rumput-rumput kering disekitar telapak tangannya. Kemudian ditaburkan ke atas muka Bayu dan Teguh. Secepat kilat Damar berdiri melarikan diri. Setelah jauh. Ia menoleh berbalik. Balas menertawai kedua temannya yang masih sibuk melepeh rumput-rumput, yang sempat masuk ke dalam mulut-mulut mereka.

Bayu dan Teguh sontak mengejar Damar. Mengejar temannya yang tak kalah cerdik itu. Meninggalkan jejak-jejak kaki dan tubuh mereka di atas rerumputan. Kemudian dengan sedikit keceriaan yang tersisa, mereka bergegas kembali ke rumah.

Burung-burung kembali ke sarangnya di atas pohon pinang. Matahari di tepian langit telah tenggelam. Meninggalkan jejak berwarna jingga keemasan.

***

Setiap hari, sepulang sekolah. Damar, Bayu dan Teguh. Pergi menuju petak-petak sawah diujung desa. Mereka berjalan menyusuri pematang seharian. Menangkap hewan apa saja yang hidup diantara batang-batang padi yang masih hijau. Mencari setumpuk kesenangan. kemudian melalui gelak tawa, mereka akan membaginya kepada angin, awan, serta burung-burung emprit yang diam-diam menyemai padi.

Ikan cupang, katak, bahkan belalang. Selalu menjadi target utama perburuan bocah-bocah itu. Sesekali mereka me-nyelepet burung-burung emprit. Yang begitu asik menunggangi tangkai-tangkai padi.

Pencuri – pencuri berparuh itu terlalu licik. Mereka menipu, mempermainkan mbah Munir. Mereka berpura-pura terbang menjauh ketika bunyi-bunyian kaleng itu nyaring mengelontang. Namun mereka akan berbelok-memutar arah. Kembali menyusup diantara rerimbunan padi, Saat Mbah Munir sudah kembali lengah. Karena sudah terlalu lelah.

Rumput - rumput yang mencuri kesuburan ikut tumbuh diantara batang padi. Daun-daun genjer tak ketinggalan memanfaatkan melimpahnya genangan kehidupan. Daun dan batangnya kokoh menghijau. Menggoda untuk di tuai. Dimasak tumis sungguh aduhai.

***

Teguh melompat kaget. Ia berlari terbirit-birit menuju pematang. Barisan padi tak lagi dihiraukannya. Ia terabas habis. Berantakan terinjak-injak. Damar dan Bayu yang berdiri hanya beberapa meter darinya. Kontan ikut berlarian kocar-kacir. Terprovokasi.

Dengan nafas tersengal Damar menarik tangan Teguh.

“Ada apa sih?!”

“ular sawah Damar..” wajah Teguh pucat pasi

“untung tidak ku injak” teguh bergidik. Kepala dan bahunya gemetar. Tak sanggup membayangkan.

Namun sebelum mimik kengerian dimukanya selesai. Bayu sudah menggiring mereka berdua.

“ayo kita pindah!! jangan disini lagi...!!” Ia tak mau berlama-lama ditempat itu.

Mereka akhirnya menuju ke sebuah sungai kecil diujung petak sawah. Air segar mengalir deras. Membawa nafas-nafas kehidupan. Mereka menceburkan diri. Menenggelamkan seluruh badan. Menggosok tangan-kaki-muka. Membersihkannya dari lumpur-lumpur sawah yang melekat-mengering-mengerak.  

***

Dari kejauhan pak Mahmud berteriak. Ia berlari ke ladang tempatnya menanam kacang tanah. Tangannya memegang golok. Diacungkannya kearah Damar, Bayu dan Teguh. Mereka kocar-kacir berhamburan ketakutan. Rupanya setelah mentimun mbah Imin sudah tak ada. Kini giliran kacang tanah pak Mahmud yang jadi korban kejahilan tangan mereka.

Setelah kelelahan mengejar burung-burung puyuh yang biasa berkeliaran dibawah pohon-pohon singkong. Rasa lapar menyerang perut mereka. Kebun kacang tanah pak Mahmud memang cukup luas. Pak Mahmud tidak akan tahu jika dua-tiga pohon kacangnya, yang siap panen itu mereka curi, pikir mereka. Namun ternyata pak Mahmud memergoki mereka. Jika saja kaki pak mahmud tidak pincang. Barangkali mereka sudah habis digorok oleh kemarahannya.

Damar lari paling depan. Bayu dan Teguh dibelakangnya tertinggal. Teguh sempat terjatuh. Ia terpeleset rumput pematang ladang, karena begitu panik. Damar dan Bayu tak sempat membantu membangunkannya. Semua berlomba menyelamatkan diri masing-masing.

Pak Mahmud terlihat sudah berhenti mengejar. Ia berdiri dipinggir ladang kacangnya. Sesekali ia menggelengkan kepala. Mengamati kerusakan yang ditinggalkan oleh ketiga anak-anak nakal tersebut.

***

Bayu berdiri diujung ladang. Ladang kosong tempat mbah Imin beberapa bulan yang lalu menanam mentimun. Ia baru saja memanennya. Kini yang tertinggal diladang itu hanyalah barisan gunduk tanah yang sudah ditumbuhi rumput liar. Gunduk tempat lanjar-lanjar bambu sebelumnya didirikan. Menopang batang –batang pohon mentimun tumbuh menjulang. Sehingga tidak menjalar liar di atas tanah. ladang mbah Imin bersebelahan dengan petak-petak sawah tempat mereka biasa berpetualang. 

Tangan Bayu sigap memegangi layang-layang. Menempelkannya pada dadanya yang kerempeng. Sementara itu Damar berdiri berlawanan diujujng sisi lainnya. Memegangi benang kendali, saling berhadapan. Pada hitungan ketiga, Bayu melepaskan pegangannya. Damar menarik kuat benang yang sudah digenggamannya tersebut. Dan layang-layangpun terbang.

Dibawahnya, Bayu dan Teguh loncat-loncat kegirangan. Sesekali mereka bertepuk tangan. Kepala mereka mendongak. Bergerak kekanan – kekiri mengikuti arah pergerakan layang-layang, yang terbang liar kesana-kemari. Layang – layang pun terbang memutar sebelum akhirnya terjun menabrak gunduk. Mereka kemudian mengulangnya. Mencoba menerbangkannya kembali. Begitu seterusnya. Sampai layang-layang itu benar-benar terbang, atau berhenti karena layang-layang telah sobek terinjak Teguh yang kelewat antusias.  

***

Suatu sore mereka pulang dengan wajah penuh kegembiraan. Ditangan Bayu terdapat sebuah layang-layang berwarna merah. Layang – layang itu mereka dapatkan setelah susah payah mengejarnya. Mereka harus berlomba-bersaing-berebut dengan anak-anak yang tubuhnya jauh lebih besar. Layang-layang itu hasil jerih payah bersama. Esok mereka akan memainkannya di ladang mentimun milik mbah Imin.

Bayu berhenti diujung jalan. Ia diam mematung. Sebuah truk berwarna kuning terparkir tepat dimuka rumahnya. Truk itu sudah penuh berisi perabot-perabot rumah milik ibunya. Kasur, lemari, kursi terlihat berada ditumpukan bak truk yang menggunung. Tak ketinggalan sepeda roda tiga usang miliknyapun ikut terangkut.

Damar dan Teguh berdiri disamping Bayu. Mereka ikut memandangi truk angkut tersebut. Bayu segera menyerahkan layang-layang merah itu kepada Damar. Ia langsung berlari meninggalkan dua sahabatnya itu.

Tak berapa lama Bayu keluar dari rumah. Bersama ibunya, ia kemudian duduk disamping kursi pengemudi. Mesinnya mulai meraung-raung. Kemudian truk perlahan berjalan meninggalkan rumahnya. Meninggalkan tempat kelahirannya. Meninggalkan sebagian masa kecilnya. Meninggalkan Damar dan Teguh.

Lewat kaca jendela truk. Bayu menatap kedua temannya itu. Sorot matanya hening. Sehening hati Damar dan Teguh. Bayu pergi begitu saja. Tanpa ada kabar sebelumnya. tanpa ada kata-kata perpisahan yang diucapkan.

Kini Bayu menjalani petualangannya sendiri. Menyusuri pematang sawahnya sendiri. Tanpa Damar dan juga Teguh. Mungkin ia akan tetap bermain layang-layang. Mencari ikan cupang. Bersama teman yang lain setiba dirumah barunya nanti.

Tak bisa memilih dimana harus tumbuh. Dengan siapa ingin berteman. Anak-anak, mereka hidup mengalir. Mengikuti jalan hidup orang tua masing-masing.

---------o0o---------

Depok, 31 Oktober 2015

 

Ilustrasi: https://www.google.co.id/search?q=layangan&es_sm=93&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAcQ_AUoAWoVChMIw6v89ZfryAIVoximCh2QnArp&biw=1366&bih=667#imgrc=Bu0e07EpHAO0FM%3A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun