Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Cerpen: Piring-piring Krismon

24 Oktober 2015   09:50 Diperbarui: 3 November 2016   11:24 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang dari sekolah aku tidak melihat Bapak. Dengan berdebar aku mencari Emak. Aku menanyakan hal yang sebenarnya ragu untuk ditanyakan. Disebabkan antara takut jawabannya yang tidak sesuai harapan atau memang sebenarnya aku sudah mengetahui jawabannya. 

"Bapak ke mana, Mak?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku. "Bapak baru saja keluar," Emak menjawab, suaranya nyaris tidak kudengar, lunglai tertiup angin. Aku bersandar lemas pada kusen pintu. Pandanganku jauh melewati Emak yang sedang mengangkat jemuran di belakang rumah. Bapak jelas sudah tidak bekerja. Kata Bu Guru, kondisi saat ini memang sedang susah. Kemudian tiba-tiba saja rumah terasa sangat sepi. 

Keesokan pagi dan beberapa pagi hari ke depan, Bapak masih sama dengan tidurnya. Aku menengok tubuh Bapak yang masih berkerubung sarung di atas tikar. Bapak tidur meringkuk, seluruh badan dan kepalanya terbungkus sarung. Menyembunyikan mukanya, menyembunyikan kegelisahannya. Sesekali gerakan kakinya mengisyaratkan kalau Bapak sebenarnya sudah terbangun, ia hanya tidak mau bangun. Ya Bapak hanya sedang bersembunyi. Aku mengerti perasaan Bapak, begitu juga dengan perasaan Emak. 

Emak akan lebih banyak diam. Emak memang seperti itu, dari dulu.. Meski Emak harus mengutang beras di warung sambil menunggu Bapak gajian. Meski Bapak belum bekerja lagi. Bahkan saat Bapak tidak pulang karena tergoda pelayan warung kopi. Emak tidak pernah marah sama Bapak. Emak hanya diam. Ia juga tidak pernah bercerita apa-apa kepada anaknya. Bahkan tidak pernah mengeluh. Seperti biasa Emak akan menyapu lantai, menjemur dan melepit pakaian, melepit segala persoalan, menyimpannya dalam-dalam. 

Emak terlihat sangat gelisah, tidak biasanya. Beras sudah tidak ada. Hutang Emak sudah menumpuk belum terbayar. Sudah beberapa Sabtu Emak tidak menerima uang dari Bapak. Keberanian Emak juga sudah habis untuk meminta beras di warung. Bapak segera keluar rumah, lewat pintu belakang. Bapak kemudian pulang dengan membawa baskom dipenuhi beras hasil pinjaman dari saudara sebelah rumah. Emak segera memasaknya. 

Dalam kondisi sulit seperti ini, Kami hanya makan satu kali di siang hari. Kadang jika Bapak sedang sulit mendapat pinjaman, kami harus bersabar menunggu piring-piring kami terisi nasi sampai malam. Emak sering membangunkan kami yang sempat tertidur karena menunggu Bapak hingga terlalu larut. Begitu kami melewati hari demi hari, bertahan hidup. 

Tiap pagi Bapak tergopoh-gopoh, mondar-mandir mencari pinjaman ongkos kepada tetangga dan saudara buat Abang. Kadang Bapak tidak kembali ke rumah sampai hari menjelang siang. Abang akan duduk di kursi, tetap menunggu Bapak. Emak menyapu sudut-sudut lantai dengan sapu ijuk yang sudah mulia tipis karena rontok. Menyapu kegelisahan Abang, kegelisahan kami, dan kegelisahannya sendiri. Serta kegelisahan-kegelisahan hari berikutnya yang sudah menanti. 

*** 

Kini hanya tinggal aku dan Abang yang bersekolah. Ketiga adikku sudah berhenti, tidak lagi melanjutkan. Bapak dipanggil pihak sekolah. Bapak ditagih membayar tunggakan-tunggakan iuran SPP kami yang sudah enam bulan lebih tak terbayar. Tak banyak yang bisa dikatakan Bapak, sudah terlalu banyak minta keringanan kepada sekolah. Aku duduk di sampingnya mendengarkan. Sekolah akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan kami, aku dan ketiga adiku. Aku menatap Bapak, Bapak terdiam tak berani balas menatap ke arahku. Aku pun tak berani memindahkan tatapanku ke arah lain. Karena air mataku sudah menetes di pipi. Namun Bapak memohon kepada pihak sekolah agar aku tetap diberi kesempatan. Pihak sekolah menerima dan Bapak diminta melunasi tunggakan iuran SPP-ku bulan depan. 

*** 

“Ahmad...!” Tiba-tiba saja suara Bu Guru mengagetkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun