Mohon tunggu...
Andri Setya Nugraha
Andri Setya Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa FH UGM, Entrepreneur -

Merengrei samudra tanpa teori lebih dahulu..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa, Ajang Pemuas Diri?

29 September 2016   15:28 Diperbarui: 29 September 2016   15:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”

Tulisan ini pertama kali akan di mulai dengan sebuah kalimat ajaib setelah kata-kata dari sosok Tan Malaka di atas yang paling tidak membuat orang minimal sedikit berfikir walaupun tidak buru-buru merubah sikapnya terhadap hidupnya. Kalimat itu adalah, alam semesta pun bergerak kenapa kau tidak? Kau bukan bagian dari alam? Lalu apa? Bosan jika harus mengatakan bahwa mahasiswa adalah iron stock, agent of change, social control tapi ya itulah silahkan dicari sendiri sudah banyak yang membahas itu.

Jika kepala kita telah sesak dengan romantisme masalalu yang dapat menumbangkan sebuah rezim pada tahun 1998, bisa juga sekiranya kita mundur jauh ke belakang. Mengambil sebuah fenomena bersejarah di abad ke-18 di Perancis yakni ketika rakyat Perancis bersatu menyerang penjara Bastille. Penyerangan ini adalah bentuk akumulai dari kekesalan terhadap para penguasa yang sangat jauh dari keadilan yang menciptakan kesengsaraan. Andaikan rakyat Perancis memilih bungkam terhadap kesewenang-wenangan dari raja mereka Louis XIV dan beberapa golongan penguasa lainnya saat itu, tentu sejarah akan jauh berbeda. Untuk lebih detail bisa di cari mengenai latar belakang dan dampak yang ditimbulkan karena peristiwa itu. Apakah reaksi rakyat Perancis di atas berlebihan? atau merupakan kemerosotan intelektualitas? Mari kita bahas.

Bantahan-bantahan

Ada juga anggapan bahwasanya sebuah gerakan aksi turun kejalan adalah kemerosotan intelektualitas. Kira-kira konstruksi pemikirannya begini mungkin “Mengapa demikian sekumpulan orang yang terpelajar seperti tidak memiliki cara lain dalam mengubah suatu ketidakbenaran? Apakah ini satu-satunya jalan?” – mungkin itulah yang ada di fikirannya. Kiranya bebas saja orang menilai demikian, namun kemerosotan intelektualitas yang sesungguhnya adalah ketika kita berilmu, mampu menangkap fenomena yang berkembang di masyarakat, ketidakpatutan menjadi kebiasaan, serta dapat dan mampu menempuh pendidikan yang layak tetapi tetap tegak mematung acuh melihat ketidakbenaran berjalan melindas yang lemah yang dilewatinya.

Begini, jalan perjuangan tidak selamanya ramai dan kadang hanya akan berjalan sendiri bahkan titik nadirnya terletak ketika orang yang di perjuangkan pun tidak peduli ketika ia sedang diperjuangkan haknya. Gerakan-gerakan yang di wujudkan terkadang membuat orang lain anti-pati karena dianggap hanya memproduksi manusia pemaki-maki. Kritik yang timbul telah lain dengan tujuannya dan kadang tidak memberi solusi. Baiknya, kritik tanpa membenci.

Mahasiswa onani adalah fenomena yang nyata. Ketika ketidakpedulian itu menjangkit orang-orang berpendidikan. Jangan sampai, pendidikan hanya sebagai alat pemuas diri sendiri, tidak peduli ada apa di luar sana yang penting otak kaya akan asupan teori. Tetapi, ketika kepedulian mulai muncul, infeksi yang tidak kalah berbahaya adalah terjebak dalam pragmatisme. Ada juga sebuah ide metode masa lalu namanya. Sebuah keadaan dimana kita ingat dahulu ketika mahasiswa pernah berpakaian mewah idealisme, kenapa kini tidak ada yang tersisa?-untuk kita tanyakan suatu saat nanti. Satu hal, bangunlah. Kita di besarkan dengan subsidi uang rakyat yang sebagian rakyat itu bahkan tidak mendapat apa yang ia bayarkan. Tidak jauh-jauh untuk memekikan revolusi, semuanya dapat kita mulai dari hal-hal terkecil-terdekat diri sendiri dan banyak sekali bentuknya. Penilaiannya bukan sekarang, tapi nanti ketika yang kini belajar telah menjadi terpelajar di posisi penting tertentu. Keteguhan akan terpelihara bahwasanya kita tidak belajar sendiri, berilmu sendiri, nikmati sendiri, kuliah sendiri, kerja sendiri, kaya sendiri, bahagia sendiri, sehingga kita tidak tergolong mahasiswa onani.

                                                                                   

Andri Setya Nugraha

FH UGM 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun