Oleh: Andri Setya Nugraha (Mahasiswa FH UGM 2015)
Tanpa maksud menggurui. Perlu disadari bahwasanya kritik yang objektif datangnya baiknya dari luar diri kita. Sebab ternyata kita akan sulit untuk menilai diri kita sendiri sebagai pribadi ataupun kelompok tertentu. Mengapa tulisan ini ditujukan untuk mahasiswa sosial-humaniora atau sering disingkat soshum? Saya menyadari bahwasanya ada kecinderungan mahasiswa pada kluster soshum ini perlahan menuju ke arah apatis. Memang sepertinya makin ramai mahasiswa soshum yang aktif untuk diskusi, menulis, membaca, ataupun aksi. Tapi marilah kita hitung rasio perbandingan antara jumlah mahasiswa yang ada dengan yang “mengamalkan” kewajiban itu. Sulit sekali untuk mengajak orang lain peduli apabila tidak menyangkut kepentingan dirinya. Jika boleh dibandingkan dengan masa penjajahan, bangsa Indonesia yang multikultural dapat bersatu karena adanya kesamaan rasa. Kesamaan rasa akan penderitaan, sakit, dan penindasan inilah yang menjadikan alat pemersatu yang komprehensif. Tapi apa perlu sampai tahap penderitaan menyeluruh dulu baru semua bergerak?
Padahal bila ditinjau secara historis, lahirnya kluster soshum adalah untuk menjawab permasalahan yang tidak terselesaikan dengan disiplin ilmu lain. Dan lagi-lagi kaitannya adalah kita diajak untuk meninjau secara filosofis yang berarti berfikir akan suatu hal untuk mencari pokok permasalahan dan penyelesainnya meliputi apa saja yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Dengan kata lain, meskipun nilai-nilai sosial telah ada dalam disiplin ilmu lainnya, tetap dibutuhkan “penegakan”. Ya, soshum sebagai penegak. Seperti adanya undang-undang dan peraturan tidak berarti kita tidak butuh aparat penegak hukum. Lahirnya teknologi dan penemuan, pada hakikatnya adalah untuk menjawab kebutuhan manusia. Walaupun akhirnya bergeser menjadi alat kapitalisasi. Terlepas dari itu apa boleh disimpulkan bahwa sains juga merupakan ilmu sosial dalam bentuk lain? Atau dengan ungkapan “saintek dengan kemanfaatan penemuannya lebih sosial-humanis secara implisit daripada bidang sosial itu sendiri”.
Ruang-ruang diskusi publik memang lumayan ramai dan makin banyak diselenggarakan, tapi ternyata hanya orang-orang “itu”-lah yang datang. Orang-orang “itu” dalam hal ini berarti yang kita semua tau jawabannya. Terlepas dari adanya tujuan penyelenggaraan, yang walau terkadang hanya tanggungjawab program kerja dan tujuan-tujuan lainnya, namun penyelenggaraan diskusi publik patut diapresiasi. Kolom-kolom opini mahasiswa pun masih sepi. Masih banyak mahasiswa soshum yang belum berani mengekspresikan pendapatnya dengan tulisan-tulisan karena khawatir dengan penilaian dan angan-angan akan penilaian oranglain. Semua masih pada tahap belajar, dan nasihat yang baik adalah seperti tagline perusahaan olahraga terkemuka Nike yakni “just do it!”. Sebab bagaimana kita hendak menyampaikan gagasan dengan orang yang tidak bisa kita temui melalui percakapan atau diskusi jika tidak dengan tulisan? Atau sekedar upaya pencerdasan yang semua itu bermuara pada pemanfaatan untuk orang lain dan disisi lain juga bernilai ibadah.
Alam-sosial-humaniora itu nyata hadir disela-sela kehidupan kita baik sebagai seorang tenaga medis, teknik, sains dan yang lainnya. Masalah sosial yang ada baik individu, antar masyarakat dan kezaliman para penguasa merupakan bahan kajian mahasiswa soshum. Lagipula, apalagi objek kajian mahasiswa soshum dikelas kalau bukan manusia dan masyarakat; baik luas atau sempit, diam atau bergerak, masa lampau atau masa depan, fisik atau jiwa, lisan atau angan. Mahasiswa soshum tidak punya laboratorium penelitian seperti mahasiswa saintek. Yang kita punya hanyalah segudang masalah sosial, yang harus diselesaikan dengan cara tertentu, dan disiplin ilmu manapun dan inilah yang disebut “laboratorium sosial”. Yakni segala gejala kehidupan masyarakat yang nyata ada disekitar kita. Mahasiswa soshum harus menjadikan kehidupan sosialnya sebagai ruang penelitian.
Perbedaan-perbedaan pandangan;ide;gagasan mahasiswa atau bisa disebut ideologi juga kerap terjadi. Namun, marilah kita lihat sisi baiknya perbedaan ini sebagai sebuah anugrah berupa pemikiran. Artinya ketika ada yang berbeda, akan semakin luas pula pandangan kita terhadap sesuatu. Tidak perlu terlalu mengkotak-kotakan dan mengeksklusifkan diri. Toh konsep mengenai “ide” ini juga merupakan buah pemikiran manusia juga yang pasti ada lemahnya. Baiknya kita mengambil nilai-nilai yang baik dari berbagai ide ini sebab tidak semua ide bisa diterapkan untuk berbagai macam keadaan. Ide lagi-lagi hanya ada di kepala, atau jika kita tulis akan ada di tulisan. Semua tercermin pada tingkah perilaku kita apapun ide yang kita amini.
Pada hakikatnya semua anjuran ini adalah ajakan untukku, untukmu, untuknya, untuk kita semua untuk tidak berhenti belajar, tidak berhenti peduli, tidak berhenti peka. Sebab tantangan real kita ada di masa depan. Ketika kita mengisi posisi-posisi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, idealisme akan tetap mengakar meskipun tidak seutuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H