*Oleh : Andri Saputra
Seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, jika demokrasi yang sesungguhnya sakral justru dijadikan permainan dalam memperoleh kekuasaan. Para petinggi dan masyarakat dipisahkan, seperti memiliki sekat antara keduanya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin tambah miskin.
Itulah Indonesia, negeri yang katanya besar, bangsanya yang bermartabat, demokrasinya yang kental dan berjalan dengan baik, tetapi justru sebaliknya. Seolah-olah dibiarkan tanpa diurusi, makna dari demokrasi itu sendiri kini justru semakin hilang sedikit demi sedikit dari bangsa kita tanpa disadari. Penguasa hanya mengedepankan nafsu mereka semata tanpa peduli dengan rakyat yang susah dan sengsara. Mereka hanya mengikuti ego dan nafsu semata tanpa peduli akan tujuan bangsa ini.
Demokrasi yang berporos pada rakyat, justru diotak-atik oleh orang yang tidak paham akan demokrasi itu sendiri. Mulai dari kecurangan, penipuan, pembohongan dan pembodohan sekalipun rela dilakukan demi mendapatkan kekuasaan. Sistem yang selama ini sudah menjadi kebanggaan bagi negeri ini, justru disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Mereka yang membuat rusak, tetapi tidak mau memperbaiki lagi bahkan dibiarkan hingga semakin rusak.
Demokrasi tentu identik dengan yang namanya Pemilihan seorang pemimpin, pergantian kepemimpinan. Yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali tiap periode kekuasaan. Pilihan rakyat mayoritas itulah yang dimenangkan.
Pemilihan Umum (Pemilu) sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia dalam memilih seorang pemimpin. Namun apa jadinya jika tradisi tersebut dinodai dengan kecurangan, penipuan dan pembodohan publik. Sudah lagi sistemnya salah, malah semakin bobrok saja.
Isu-isu yang beredar di masyarakat bukan lagi rahasia umum, bahkan sudah menjadi ritual dalam memperoleh kekuasaan. Money politik atau politik uang, bukan lagi hal yang aneh yang beredar di masyarakat. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa, kemudian diberi sembako, bahkan uang, sebenarnya ini untuk tujuan apa? Menyogok? Ini sebenarnya masalah bangsa zaman ini, moral bangsa kita sudah bobrok, kejujuran sangat jarang sekali ditemui. Semuanya akan berjalan lancar jika kita berlaku secara jujur dan amanah, dasarnya itu saja. Seperti rumah, jika dasarnya saja sudah tidak kokoh, maka untuk membangun kedepannya akan susah.
Katanya suara rakyat adalah suara Tuhan, namun kenyataannya begitu gampang sekali dipengaruhi dengan iming-iming yang begitu singkat, namun mempertaruhkan masa depan dan kesejahteraan rakyat. Saat ini, pola pikir masyarakat hanya pemimpin yang kaya dialah yang berkuasa, dialah yang menang. Ini pola pikir yang salah, bukan yang kaya tetapi yang jujurlah dan amanahlah dia yang menang.
Suara rakyat yang begitu diagungkan, kini dengan mudahnya dibeli, citra demokrasi dinodai tanpa ada rasa bersalah dan berdosa. Bagaimana politik kita mau maju kalau sistemnya saja dijadikan permainan dalam merebut kekuasaan. Sistem yang selama ini dibangun dengan dasar dan landasan hukum yang kuat, namun implementasinya sangat kurang di lapangan. Entah dari mana awal munculnya penyimpangan ini terjadi, namun lembaga pengawas hanya diam tanpa ada solusi dan tindakan yang dilakukan.
Kegiatan money politik sangat sering terjadi di Indonesia, rakyat seolah-olah dicuci otaknya dengan diberi suap dalam bentuk material atau non-material seperti bahan-bahan sembako. Dengan diberinya suap ini, mereka berharap akan hak pilihnya dijatuhkan kepada yang memberi suap. Masyarakat seharusnya lebih cerdas dalam menghadapi hal seperti ini.
Kejadian seperti ini sudah bukan isu lagi, namun sudah kerap terjadi di lapangan seperti ini, tanpa disadari dan seolah-olah seperti pembiaran semata. “Money politik untuk saat ini belum bisa dipisahkan dari pemilu. Pasti ketika ada pemilu pasti ada politik, tentu kami sebagai pnyelenggara secara continue membeikan pemahaman kepada masyarakat bahwa hindari money politik, tidak bisa terpasung hak pilih kita karena money politik itu. Kita harus jadi pemilih yang mandiri, pemerintah yang berkuasa berdsarkan nurani bukan money politik.” Ujar Heri Wahidin Ketua KPU Kota Serang.
Masyarakat seharusnya lebih berhati-hati terhadap tindakan ini dan harus lebih mengedepankan kejujuran dalam memilih, sesuai dengan prinsip pemilu jujur dan adil berdasarkan prinsip dan hati nurani. Memprediksi bagaimana seorang calon pemimpin mampu memimpin rakyatnya dan memajukan wilayah yang ia pimpin, tanpa melihat dia memberi apa atau kita dapat apa. Tapi jujur apa adanya itu lebih baik dan lebih berkah. Tidak mengandalkan pemberian dari orang lain, namun didasarkan pada pemikiran pribadi masyarakat.
Seorang pemimpin harusnya lebih menonjolkan visi dan misinya, bukan menonjolkan kekayaan atau harta. Tetapi bagaimana caranya supaya seorang calon pemimpin bisa memberikan harapan bagi rakyat yang dipimpin. Sehingga masyarakat bisa mengetahui apa yang akan dilakukan oleh seorang pemimpin tersebut. Para calon pemimpin juga harusnya bersaing dalam mempromosikan visi dan misi, apa tujuan yang akan mereka capai, dan bagaimana cara mereka dalam mencapai tujuan tersebut, itu yang paling penting. Masyarakat pun harus kritis dan teliti terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pemilihan seorang pemimpin, karena pilihan kita akan menentukan masa depan kita selanjutnya.
Money politik harus dihilangkan dari pikiran masyarakat, jangan mudah suara atau hak pilih kita dibeli hanya karena diberi uang, atau barang-barang lainnya. Untuk apa menerima nikmat yang hanya sekejap mata, jika sengsara yang akan didapat berkepanjangan.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, FISIP UNTIRTA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H