Sejujurnya, saya sempat berpikir bahwa ini adalah masalah yang sangat sepele. Namun, mungkin ini juga sangat penting mengenai esensi dalam kebaktian.Â
Ketika kita umat Kristen beribadah, kita tentu hanya berfokus kepada Tuhan. Ini mungkin bisa dikatakan sebagai opini saya terhadap ibadah online di gereja saya.Â
Tentu ini bukan sebuah kritik apalagi tulisan seperti tesis martin luther, ini hanya sebuah opini atau argumen untuk refleksi sejenak. Saya mau mengajak berpikir, apakah kita dapat nyaman dengan model seperti itu? Lalu, bagaimana dengan kita sendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah harian kita?
Saya tahu bahwa tidak semua gereja dalam satu sinode gereja saya menggunakan green screen dalam ibadah online. Green screen mempunyai pengertian yang merujuk pada warna latar yang digunakan pada pengambilan gambar atau video yang berwarna hijau, hal itu biasanya digunakan untuk mengedit latar belakang.Â
Jadi, kebaktian yang ditayangkan dalam layar memiliki latar yang berbeda. Dalam kondisi gereja saya, green screen dipasang dalam gereja. Pada saat kebaktian, saya melihat latar tempat sebuah gereja tetapi bukan gereja saya karena efek dari penggunaan green screen tersebut.
Hal itu terkadang membuat saya merasa agak aneh saja karena sempat terlintas dalam pikiran saya "Untuk apa menggunakan latar belakang gereja lain dan menutupi latar gereja sendiri?"Â
Mungkin beberapa umat juga ada yang rindu dengan tempat atau gedung gereja. Hal seperti ini mungkin hanya terjadi di beberapa gereja (dalam hal ini gereja saya termasuk di dalamnya). Entah apa yang dipikirkan oleh Bapak Pendeta saya.
Sebenarnya, saya baru saja berkunjung ke gereja untuk berdoa. Gereja saya membuka gereja setiap hari agar gedung gereja dapat dimanfaatkan oleh umat untuk berdoa. Ketika saya masuk ke dalam, saya terkejut karena besar green screen-nya lebih dari yang saya bayangkan.Â
Sekitar beberapa menit, saya dapat berdoa di gereja. Meskipun waktu itu ternyata juga ada Bapak Pendeta sedang membuat video Saat Teduh.Â
Rencana saya untuk berdoa dan membaca firman di gereja dengan suasana yang hening pun terasa hampir hilang, tetapi saya tetap berdoa saja. Suasana di dalam ruang gereja yang kurang tenang mungkin membuat saya merasa tidak nyaman.
Sekarang, saya mau mengajak pembaca berpikir pertanyaan pertama saya. Apakah nyaman dengan kebaktian yang tidak menampilkan kondisi ruangan gereja sendiri?Â
Kalau jawaban saya, saya tidak nyaman karena di sisi lain saya juga rindu tempat dimana saya memuliakan nama-Nya.Â
Apapun jawaban pembaca atau saya, hal yang paling penting adalah kondisi hati kita benar-benar tertuju kepada Tuhan dan bukan hal lainnya. Selain itu, berpelayanan atau masuk ke hadirat Tuhan di dalam liturgi ibadah harus dilakukan untuk Tuhan.
Selanjutnya, bagaimana kita sendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah harian kita? Pertanyaan itu membuat saya ingat kepada salah satu ucapan seorang pendeta.
Jangan mengaku Kristen kalau tidak pernah Saat Teduh
Saat Teduh adalah salah satu bentuk ibadah harian Kristen. Bahkan dulu sebelum Kristen Protestan terbentuk, gereja purba memiliki ibadah harian dalam bentuk-bentuk doa harian, begitu juga Kristen Katolik sampai dengan Kristen Protestan. Dalam Saat Teduh, ada doa, pujian, dan bacaan Alkitab/Firman.Â
Saya memiliki buku tentang doa harian dari Timothy Keller. Dari buku tersebut, saya banyak belajar cara atau urut-urutan dalam doa harian atau Prayer. Pada awalnya, saya berpikir bahwa itu hanya pokok-pokok doa lalu "amin" selesai.Â
Ketika saya membacanya, ternyata itu adalah Saat Teduh harian. Saat Teduh tidak hanya dilakukan sekali dalam sehari, bisa juga tiga kali sehari.Â
Mungkin akan saya sampaikan tentang hal ini di artikel selanjutnya. Kembali ke pertanyaan tadi, bagaimana cara kita mendekat kepada Tuhan pada masa-masa pandemi seperti ini? Sudahkah kita memiliki waktu untuk masuk dalam hadirat Tuhan?
Inti dari semua yang saya tuliskan adalah bagaimana kita menyikapi keadaan kita sekarang? Apakah kita masih memegang erat penyertaan Tuhan dalam hidup kita atau terlepas?Â
Los Dol kalau bahasa Jawanya. Selain itu, apakah patut kira-kira kebaktian menggunakan green screen? Perlukah? Pertanyaan itu membuat saya bingung menjawabnya karena perspektif orang mungkin berbeda.Â
Namun, sisi lainnya kita harus bijaksana dalam beberapa kondisi dan tindakan orang lain yang mungkin tidak menyenangkan hati. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H