Baru-baru ini, suara yang menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo membawa Indonesia kembali ke arah negara otoriter dan semakin tidak demokratis bermunculan di media sosial. Tuduhan itu didasarkan pada beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang dinilainya illiberal dan konservatif.
Salah satu proponen utama gagasan yang menyatakan bahwa Indonesia hari ini semakin tidak demokratis dan kepemimpinan Jokowi bertendensi otoriter adalah artikel yang berjudul "Pengamat Asing: Jokowi Berubah Menjadi Otoriter" ini. Artikel tersebut ditulis oleh Hersubeno Arief, seorang mantan wartawan, dan sekarang disebut sebagai konsultan media dan politik.
Hersubeno Arief dikenal sebagai penulis yang memang rajin mengkritik Jokowi, sekaligus pengarang narasi yang cukup konspiratif. Hal itu terlihat dari kolom-kolom yang ditulisnya, seperti "Rezim Jokowi Lebih Buruk dari Rezim SBY?', "Operasi Melayau Habib Rizieq, Siapa yang Bermain", "Skenario Besar di Balik Kebohongan Ratna Sarumpaet", dan terlihat tendensi politiknya dalam artikelnya yang berjudul, "Prabowo Itu Bukan Politisi". Semua artikel itu berada dalam blog pribadinya dan tersebar luas di media online maupun sosial.
Tuduhan soal Indonesia hari ini yang berbelok ke arah tidak demokratis sebenarnya merupakan sikap yang problematis. Karena itu bisa langsung ditanyakan kepada penuduhnya, apakah setelah penulis mempublikasikan artikelnya tersebut, dimana terlihat jelas itu tendensius, lantas langsung ditangkap dan diinterogasi polisi? Tentu saja tidak. Â
Jika penulis melihat Indonesia hari ini sebagai modifikasi Orde Baru, seharusnya dia telah mendekam di penjara bersama para pelaku kriminal politik lainnya. Namun, apakah itu terjadi? Tentu saja tidak.
Kritik (sebagai bahasa halus dari tuduhan) soal Indonesia yang tidak demokratis dan kepemimpinan Jokowi yang mengarah ke otoritarian sebenarnya adalah cara lain dalam memandang kebijakan tegas  yang diterapkan pemerintah dalam mengatasi sejumlah persoalan.
Kita bisa lihat itu dalam dua kebijakan utama yang sering jadi sasaran kritik, yaitu soal pembubaran HTI dan pembubaran aksi #2019GantiPresiden.
Membicarakan dua masalah itu, kita jadi ingat sebuah negara di Eropa yang bernama Jerman. Negara itu pernah mengalami dua kejadian kelam di masa lalunya, yakni naiknya politik fasisme dalam rupa "Nazi", dan pembunuhan besar-besaran yang didasari oleh perasaan jijik dan benci atas nama agama dan rasial, atau yang disebut "Holocaust".
Untuk menanggapi dua peristiwa kelam tersebut, Jerman kini sangat ketat membatasi sejumlah ekspresi politik tertentu, terutama yang berkaitan dengan Nazi. baik organisasi, lambang, bahkan salam Nazi, dilarang di seantero Jerman. Hal ini sebagai respon agar kejadian mengerikan sepanjang sejarah Jerman itu tak terulang kembali.
Berikut dengan adanya ekspresi yang mengumbar ketakutan akan kebencian kepada identitas lain. Untuk itu, Jerman melarang keras penyebaran ungkapan kebencian berbasis identitas apapun, baik agama, rasial, ataupun etnis. Hal ini sekali adalah upaya preventif agar konflik horizontal yang membawa kehancuran kemanusiaan itu tak terulang.
Poin penting dari pelajaran Jerman tersebut adalah adanya pembatasan atas ekspresi politik tertentu yang itu bisa mematikan ruang demokrasi, diperbolehkan sepanjang untuk menjaga ruang demokrasi itu sendiri. Dan itu bukan dinilai sebagai tindakan yang otoriter. Pun begitu dalam logika di Indonesia.