Ya, gunung terbentang di kanan dan kiri kereta, dengan pematang sawah dan pemukiman khas pedesaan yang jadi pelengkap perjalanan.
Bagus? Belum sepenuhnya. Rasanya masih ada hal tersembunyi lainnya, dari balik gradasi hijau kebiruan pepohonan yang ada.Â
Benar saja, sungai kecoklatan dengan riak air serta bebatuan yang tampak beberapa kali, jadi buktinya.Â
Tak terasa sekian stasiun dijajaki, sampai akhirnya arloji terarah di angka 10:20 ketika roda kereta berhenti. Kita sampai di tujuan pertama, yaitu Stasiun Cisaat.Â
Langkah tak henti, berjalan keluar stasiun dengan rasa ambi, perjalanan ini berlanjut dengan jalan kaki, sampai dapat angkutan umum pengganti kereta tadi.Â
Sebenarnya, tak perlu bersusah payah dengan menambah jumlah langkah, karena di depan stasiun sudah tersedia berbagai angkutan kota yang akan mengantar kita ke tujuan sebenarnya.Â
Namun, bagi saya yang selalu berharap harga murah, rasanya kurang pas kalo harus merogoh kocek lebih dalam hanya karena mau sampai lebih cepat.
Sependengar saya, saat itu penumpang kereta lain yang punya tujuan sama dengan saya, yaitu Situ Gunung dikenai biaya Rp50.000 per orangnya, mereka berempat dan kalian bisa hitung berapa jumlahnya. Mahal? Tentu, bagi saya.Â
Oleh karenanya, saya makin yakin untuk mengikuti arahan yang saya dapat sebelumnya, yaitu jalan sebentar ke alun-alun kota sekitar 10 menit lamanya, dan mencari si angkutan berwarna merah (yang saya lihat hanya ada satu-satunya kelompok angkot yang berwarna itu di sana).Â
Toh, sepanjang jalan kaki saya bisa menikmati udara segar yang tak pernah saya rasakan di perkotaan, bersapaan dengan warga dan pemukimannya, serta kali/sungai kecil yang setiap mendampingi langkah kaki di sisi kanan.Â
Tentunya, secara keuangan, saya akan dapat tarif yang jauh lebih nyaman untuk dikeluarkan.Â