Kaget. Itu yang saya rasakan pas membaca sebuah tulisan atau berita di koran harian. Koran harian yang diterbitkan oleh Kompas tertanggal Senin, 14 Januari 2019. Ada sebuah berita bertajuk Kebencanaan di halaman utama. Sebuah berita dengan gambar sedikit samar karena hasil cetakan di sebuah koran, dengan judul berita "Perlu Sinergi untuk Mengurangi Risiko Bencana".Â
Di berita itu, ada foto keadaan terkini gunung Anak Krakatau, yang setelah saya telusur sumbernya dari salah satu akun Instagram, yaitu @earthuncuttv. Tante saya, Asita DK yang memberi tau saya soal pemberitaan itu, saat saya sedang berkunjung ke rumahnya.
Bagaimana kabarmu sekarang?
Baru sekali kita bertemu beberapa bulan lalu. Baru sekali kita bermain dan bercanda saat itu. Baru sekali kau menyambut kami dengan sambutanmu. Dan, baru sekali juga kami pamit meninggalkanmu, di rumahmu. Sekarang kau telah pergi meninggalkan kami. Ternyata selama ini kami salah, kami kira kau seperti itu karena kau ingin menunjukkan kebahagiaanmu, kau ingin tunjukkan keeksitensianmu, kau ingin tunjukkan pertumbuhanmu dari seorang anak menuju dewasa saat itu, dan kau ingin tunjukkan ke kami jati dirimu dengan caramu bermain seperti itu. Â Dengan segala aktivitasmu, yang bikin kami tertarik untuk mengunjungimu, bermain denganmu, dan lebih jauh mengenalmu. Dengan segala keaktifanmu yang bikin kami kualahan dan akhirnya menyerah untuk berlama-lama bermain denganmu saat itu.Â
Â
Wahai, Anak Krakatau,Â
Memang benar, ternyata kami salah. Ternyata yang kau tunjukkan ke kami selama ini adalah sebuah kesedihan. Kesedihan seorang anak yang ditinggal seorang ibu. Kesedihan seorang anak yang tumbuh dan besar seorang diri di Bumi Pertiwi. Kesedihan yang kau tunjukkan selama ini lewat erupsi, asap, letupan, dan raunganmu, ternyata itu yang selama ini kami artikan sebagai kebahagiaanmu. Kami gak bisa mengerti maksudmu dengan cara seperti itu. Kau tunjukkan itu melalui isyarat, sedangkan kami terbiasa menangkap maksud melalui kalimat. Mungkin, karena itu kau jadi marah dengan kami. Maaf, kami gak bisa ikut merasakan kesedihanmu saat itu.Â
Â
Wahai, Anak Krakatau,
Ternyata kau merindukan ibumu. Sosok ibu yang belum pernah kau temui sejak kelahiranmu. Sampai di usia saat ini, kau masih belum pernah bertemu ibumu. Kau bagai anak rantau, Nak. Kau bagai anak rantau yang selalu merindukan kampung halaman dan tanah kelahiran. Tapi, ingatlah, tempat kelahiranmu di sana, di sebuah pulau di perairan Selat Sunda. Itu pun jadi tempat kelahiran ibu dan leluhurmu. Ibumu lah yang pergi meninggalkanmu. Ibumu pergi mencari ketenangan di bawah sana, dan ingin melihatmu hidup mandiri di atas sana. Dia tetap memantau pertumbuhanmu dari kejauhan, tapi kau gak sadar hal itu. Sekian lama kau berteriak mencari ibumu, akhirnya membuahkan hasil.Â
Saat ini kau telah menemui ibumu di bawah lautan sana. Kau pergi seketika saat kau telah tau di mana ibumu berada. Kesedihan yang selama ini kau tunjukkan, langsung berubah menjadi rasa antusias untuk menemui sosok yang kau rindukan. Kesedihan itu, baru terasa di kami saat ini. Kau gak pendam rasa sedih itu, tapi kau tebar rasa sedih itu ke berbagai penjuru. Kesedihan itu yang kami rasakan, tepat saat kau pergi menemuinya. Air laut yang kau hempaskan, itu pertanda besarnya antusiasmu untuk menemui sosok yang kau sayang. Kepergianmu turut kami rasakan, melalui tangisan, air mata, dan kesedihan, serta kehilangan.
Â
Wahai, Anak Krakatau,
Sekarang kau sudah menemui ibumu di bawah sana. Kau sedang berada di pelukan dan pangkuannya. Yang kau tinggalkan di permukaan hanya sebagian jejak dan tapakmu. Sebagian dirimu telah pergi, sebagian lagi masih di sini. Apakah kau akan kembali? Ingat, jangan terburu-buru untuk kembali. Puaskan saja dirimu dulu di sana bertemu ibumu. Ceritakanlah semua hal yang kau alami selama kau sendiri di permukaan. Ceritakan semua pada ibumu tentang teman-temanmu yang pernah berkenalan, berkunjung, dan bermain denganmu. Puaskan rasa rindumu, sampai kau bisa mengganti kesedihan dengan kebahagiaanmu. Kau pasti bakal kembali, kapan pun itu. Pesanku, saat kau kembali, jangan ada lagi kesedihan yang selama ini kau tunjukkan lewat erupsi dan letupan. Kembalilah dengan cerita menarik, rasa bahagia, dan ketenangan. Stop semua kesedihanmu. Kau telah bertemu dengan sosok yang melahirkanmu. Sampaikan salamku untuk ibumu. Kutunggu kau kembali, kapan pun itu kau mau."
Instagram: andrimam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H