Sebuku dan Sebesi, dua nama ini beberapa waktu ke belakang, sempat jadi sorotan dari berbagai sisi. Dua nama yang sempat mencuri perhatian karena secara langsung jadi saksi dan "pemantau" bencana yang terjadi. Aktivitas gunung berapi yang disusul dengan tsunami.Â
Sebuku dan Sebesi bisa dibilang jadi wilayah yang paling dekat sama titik lokasi bencana alam tersebut dimulai. Si Anak Krakatau yang jadi pusat bencana, jaraknya bisa dihitung dengan jari. Terus, ada apa dan bisa apa di dua pulau ini sebelum bencana itu terjadi?
Saya sebenarnya ada dokumentasi pascabencana yang menimpa pulau Sebesi. Itu karena pulau yang berpenghuni lebih dari 2800 jiwa ini, sempat jadi lokasi saya bermalam saat mengunjungi si Anak Krakatau beberapa waktu lalu dengan kerabat saya, Dimas Ramadhan.
Saya dapat dokumentasi pascabencana dari warga Sebesi yang sekaligus jadi pemandu dalam trip ke Anak Krakatau tersebut. Saya gak akan berbagi cerita soal pascabencana, tapi saya akan berbagi cerita saat prabencana.
Kedua pulau ini bisa diakses via dermaga terdekat, yaitu Canti. Pulau Sebesi adalah pulau berpasir putih dengan luas antara bibir pantai dengan daratan, sangat pendek. Bahkan di satu sisi pulau ini gak berpasir pantainya, tapi langsung bebatuan, terutama batu karang yang jadi pembatas antara lautan dengan daratan. Begitu pula dengan pulau Sebuku.
Sebuah dermaga yang aktif di waktu-waktu tertentu. Selain untuk mengangkut warga, dermaga ini juga jadi lokasi bongkar muat barang, baik dari daratan utama, atau pun sebaliknya. Beberapa waktu saya di sana, yang saya lihat barang yang diangkut keluar pulau ini adalah hasil bumi, yaitu pisang.Â
Pisang mentah yang nantinya bakal dijadiin oleh-oleh khas Lampung, yaitu keripik pisang. Sedangkan, barang-barang yang diturunkan di pulau ini adalah bahan kebutuhan pokok.