Indonesia lagi-lagi bisa nunjukin ke dunia luar kalo kita punya sesuatu yang baru yang bisa dibanggain. Penantian panjang selama lebih dari 20 tahun, akhirnya usai. Sebuah karya besar yang digadang-gadang jadi landmark baru Indonesia telah lahir. Bali, jadi tempat kelahirannya.Â
Pulau para Dewa ini saya rasa pas jadi lokasi kelahirannya. Garuda Wisnu Kencana (GWK), sebuah karya masterpiece dan ambisius penciptanya, sukses bikin mata terpana, bagi siapa pun yang melihatnya.
Sebuah patung modular yang jadi salah satu patung terbesar di dunia ini, sekarang jadi magnet baru, bagi siapa aja yang singgah di pulau Dewata, termasuk saya. Bulan Desember tahun 2018 yang baru aja berlalu, jadi kesempatan bagi saya buat ke sana.Â
Saat tiba dan mendaratkan kaki di pulau ini, dari kejauhan saya udah diawasi olehnya. Entah diawasi atau disambut kedatangan saya, yang pasti saya udah bisa melihatnya dan membalas tatapannya, meskipun dari kejauhan. Dari jarak yang cukup jauh itu, terlihat siluet sayap yang begitu besar dan gagahnya, seolah siap mengepak dan terbang ke angkasa. Tunggu saya, GWK, saya akan ke sana.
Memutuskan buat ke sana, udah jadi tekad yang bulat bagi saya. Rasa penasaran yang saya bawa dari Jakarta, terus membara, meskipun saya udah tahu, kalo saya pasti bakal ke sana.Â
Pemberitaan di mana-mana soal GWK yang baru aja diresmiin pada akhir bulan September tahun 2018 oleh Presiden Jokowi ini, jadi alasannya. Rasa penasaran mau melihat Bali bukan dari ketinggian gunung atau pesawat, melainkan dari ketinggian di tengah peradaban, jadi tujuan utamanya. Akhirnya, saya tiba di GWK.
Kalo dibilang GWK ini ada di daerah pemukiman, saya rasa enggak juga. Meskipun pintu masuknya ada di pinggir jalan utama, tapi dari gerbang utama tadi ke loket penjualan tiketnya aja, jaraknya udah gak kekira. Mungkin, tujuannya buat mengasingkan GWK dari kebisingan, dan menghadirkan suasana yang beda dari sekitar.Â
Sepanjang perjalanan dari gerbang utama ke loket penjualan tiketnya, emang udah mulus jalannya. Jalan beraspal yang masih kelihatan mulus tanpa celah. Tapi, di kanan-kiri jalan itu, masih banyak lahan kosong yang entah nantinya bakal dibangun apa. Saya maklum, karena ini baru diresmiin, jadi pembangunan dan penyempurnaan fasilitas masih ada dan terus berlangsung di mana-mana.
Petugas tiket yang berpakaian adat Bali meminta saya menyiapkan uang Rp80.000 untuk tiket masuk utamanya, dan saya juga ditawarkan tiket bus yang akan mengantar saya langsung ke patung utama, seharga Rp20.000.Â
Saya ambil tawaran itu, karena kalo dilihat dari peta lokasi, jaraknya lumayan jauh buat berjalan di tengah cuaca siang yang terik. Jadi, dengan Rp100.000 saya tinggal duduk manis dalam bus, dan sampai di patung utama.
Sekali berangkat mengangkut rombongan, disiapkan dua bus dengan model yang sama. Kami berjalan beriringan depan-belakang. Sepanjang perjalanan, yang kami lihat adalah lahan luas yang belum disentuh tangan pembangunan.Â
Baru ada jalan yang mulus dan beberapa pembangunan fasilitas di area tertentu. Pemandangan itu persis kayak waktu masuk dari gerbang utama ke loket penjualan tiket masuknya.
Perjalanan dengan bus di tengah hari itu akhirnya usai, kami tiba pelataran patung utama. Patung ini bener-bener besar. Patung yang terlihat silau kalo kita memandangnya ke bagian atas, karena terkena pantulan sinar matahari.Â
Saran saya, kalo ke sini jangan lupa bawa penutup kepala dan kacamata hitam, apalagi kalo ke sini saat tengah hari.
Bener emang kami dikasih arahan, tapi ternyata arahan itu kurang enak didengar, karena menurut peraturan yang dikeluarin oleh pengelola destinasi ini, wisatawan umum belum bisa masuk ke dalam patung GWK. Lho.. para wisatawan, termasuk saya langsung kaget dengar kabar itu.Â
Lanjut penjelasan si pemandu kalo kita belum bisa masuk ke dalam karena, pertama GWK belum dibuka buat umum, dan yang kedua karena masih ada proses penataan galeri.
Kalo dibilang kecewa, ya kami kecewa. Tujuan utama kami datang ke sini karena mau masuk ke dalam patung super megah itu, dan naik sampe ke titik tertingginya, buat lihat sekeliling Bali dari ketinggian.Â
Aturan dan ketentuan dibuat buat ditaati, dan kami ikuti ketentuan tadi. Sebagai gantinya, pemandu wisata hanya memperbolehkan kami buat menjelajah di area pelataran patung ini.Â
Beberapa orang dan rombongan langsung ambil posisi di area yang presisi buat berfoto dengan latar patung GWK. Kami diberi waktu kurang lebih 20 menit buat berpuas-puas di area ini, sembari nunggu bus yang bakal jemput kami balik lagi. Atau, dengan kata lain kami harus bergantian dengan rombongan wisatawan lain setiap 20 menit sekali.
Kami coba eksplor berbagai sudut, mulai dari lokasi yang mainstream sampe ke lokasi yang gak kepikiran buat berfoto. Dua puluh menit waktu kami di pelataran itu, seluruhnya kami habisin buat berfoto.Â
Bener, setelah kurang lebih dua puluh menit bermain-main di pelataran itu, dua bus merah tadi akhirnya kembali. Kami harus bergantian nikmatin lokasi ini dengan wisatawan lain.
Kami kira, kesempatan kami menjelajah tempat ini udah selesai, karena bus merah tadi mengantar kami ke tempat tadi kami naik. Saya sempet mikir: "udah nih, gini aja?". Ternyata belum. Kami dilepas oleh pemandu wisata buat menjelajah sendiri tempat ini.Â
Buat yang udah pernah ke sini sebelumnya, tempat-tempat yang bisa kita datengin sendiri, di antaranya Plaza Garuda, Tirta Amertha, Plaza Kura-kura, Plaza Wisnu, Amphitheater (lihat pertunjukan tari tradisional Bali), kolam lotus, dan lokasi lainnya, yang saya kira gak perlu saya jelasin lebih lanjut, karena lokasi-lokasi tadi bukan hal yang baru di area GWK.
Belum bisanya GWK kami gauli sampe ke dalam-dalamnya, tentu ada alasannya. Selama alasan itu bisa diterima dan demi kebaikan lokasi ini nanti ke depannya, ya kenapa enggak. Udah jadi resiko sebenernya saat mutusin buat dateng ke suatu destinasi, ternyata bukan plan utama yang terlaksana. Bisa jadi plan b, c, d, dan seterusnya yang justru terlaksana.Â
Intinya terima aja. Toh, nanti kalo emang ada kesempatan lain, kita bisa datengin tempat ini lagi. Pun, sebenernya kita bisa meminimalisir kekecewaan tadi dengan kroscek dulu sebelum ke situ. Intinya, apa pun itu, jangan sampe rasa kecewa itu menang ngelawan rasa senang saat liburan.
Instagram: andrimam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H