Mohon tunggu...
Andri Imam Fauzi
Andri Imam Fauzi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Traveler

Explore the outdoor

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sangeh Monkey Forest, Rumah "Mereka" Tempat Kita Berteduh

21 Desember 2018   17:44 Diperbarui: 23 Desember 2018   21:35 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hutan, tempat yang penting banget buat kita. Tanpanya, kita kayaknya bakal terbatas dapet udara bersih, segar, dan bebas. Tanpanya, kita mungkin tak kenal yang namanya warna hijau dan warna turunannya yang berasal dari warna pepohonan. Tanpanya juga, mungkin kita tak kenal berbagai fauna yang berasal dan hidup di hutan. 

Berbagai aspek kehidupan bergantung sama hutan. Hutan masih nyimpan berbagai rahasia alam yang sampai sejauh ini belum semua kita temukan. Tak salah, kalau hutan dapat  julukan sebagai paru-paru dan sumber kehidupan.

Jadi orang Indonesia, mestinya bersyukur karena kita tinggal di negeri yang kalo kita lihat dari atas, mayoritas warnanya hijau. Itu tandanya, Indonesia dihampari oleh hutan. Negeri khatulistiwa yang kaya sama pepohonan yang terbentang dari ujung ke ujung kepulauan. Tapi, sayangnya, karena tuntutan dan keadaan, hutan di negeri ini kian hari kian berkurang. 

Miris rasanya lihat pemberitaan yang nyiarin kondisi pembalakan hutan yang terus-terusan. Pertanyaannya, "mau sampai kapan?" Entah. Bahkan sampai para elit pembuat kebijakan pun dibuat kualahan ngatasin hal yang demikian. Besar harapan kita, masalah ini bisa terselesaikan.

Di luar masalah tersebut, masih ada wilayah-wilayah di Indonesia yang peduli sama hutan. Banyak yang masih peduli. Mereka melindungi hutan sama berbagai peraturan. Bahkan, ada juga yang melindungi hutan dengan ketentuan adat dan kepercayaan. Bali salah satunya. Tak heran, menurut saya masyarakat Bali selalu melibatkan dan berusaha hidup harmonis sama alam. 

Hutan bagian dari alam. Dan, masyarakat Bali menghormati hutan sebagaimana mestinya. Bukan hanya hutannya, tapi juga apa yang ada di dalam dan jadi bagian dari hutan. Sangeh Monkey Forest, salah satu wujud nyata keharmonisan antara manusia dan alam di Bali. Tulisan ini, akan membahas hutan yang baru aja saya kunjungi di tanggal 7 Desember 2018 ini.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kalo kalian pernah ke Bali, mungkin ada yang pernah ke sini, atau pernah denger nama hutan ini. Bukan, ini bukan hutan monyet yang ada di Ubud. Hutan ini ada di daerah kabupaten Badung. Saya tidak mau bandingin dua lokasi tersebut, pertama karena saya belum pernah ke Hutan Monyet yang ada di Ubud; dan yang kedua, kayaknya kurang bijak kalo harus bandingin dua lokasi yang sama-sama punya daya tariknya masing-masing. 

Itu menurut saya. Lokasi hutan ini ada di tengah-tengah pemukiman manusia. Sekeliling hutan ini dibatasi sama jalan raya. Jalan yang ramai sama hilir-mudik kendaraan. Karena lokasinya yang ada di sekitar pemukiman warga dan jalan raya, satu hal yang pasti, akses ke lokasi ini mudah. Kalau ditanya berapa waktu yang diabisin buat bisa sampai sana? 

Kalo ditanya gitu, saya juga bingung jawabnya, karena kalo diukur dari lokasi penginapan masing-masing, ya pasti bakal beda-beda. Buat hal itu, kayaknya bisa dicari sendiri pake aplikasi Google Maps. Tapi, kalo dari penginapan saya, jaraknya hanya 35 menit berkendara dengan kecepatan 40-60 km per jam. Intinya, manfaatin Google Maps.

Sepanjang perjalanan ke hutan ini, terutama pas udah deket lokasi, kita bakal disuguhin sama pemandangan sawah-sawah yang ada di kanan kiri jalan. Makin deket ke tujuan, kita bakal ketemu sama beberapa penjual makanan tradisional Bali di pinggir jalan. Mulai dari cemilan sampai makanan berat juga mereka jual. 

Dari lokasi penjual makanan itu, kita sebenarnya sudah bisa lihat hutannya. Gimana enggak, pepohonan tinggi yang rimbun, dengan beberapa pohon yang punya akar gantung, sukses bikin pandangan kita langsung teralih ke sana. Yang tadinya, sepanjang perjalanan, kita dikasih pemandangan persawahan, terus beralih ke pepohonan besar. 

Dari kejauhan, hutannya kelihatan tenang. Pepohonan yang batangnya tinggi menjulang, sesekali tertiup angin bagian ujung atau pucuknya. Suara-suara ranting dan daun yang saling bergesekan satu sama lain terdengar, saat angin makin kencang meniupnya. Dari titik itu, saya masih belum bisa lihat "penghuni sejati" hutan itu.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Tak beberapa lama, saya sampai di pintu masuk hutan ini. Pintu masuknya berbentuk gapura khas Bali. Di sebelah kiri dari pintu masuk, banyak penjual makanan, yang bentuknya kayak kantin di tempat wisata. Jadi, kalian yang mau ke sini, tak perlu takut kelaparan atau kehausan. Perut udah keisi dan haus udah diatasi, sekarang saatnya masuk ke dalam. 

Buat bisa masuk ke objek wisata ini, kita cukup bayar Rp 10.000 aja per orang, dan kita bakal dikasih brosur yang isinya penjelasan singkat soal hutan ini. Hanya segitu yang harus kita siapin dan bayar, karena kita tak perlu nyiapin uang lagi buat bayar parkir kendaraan. Murah kan? tiket udah dipegang. Ayo! Kita masuk ke dalam.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Beberapa langkah dari loket penjualan tiket, kita bakal disambut sama patung kera berukuran besar. Patung kera yang kelihatannya garang. Patung besar itu dikelilingi sama patung-patung kera lainnya, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Mulai dari lokasi "patung selamat datang" itu, suasananya berubah. Pepohonan besar yang saya lihat tadi dari pinggir jalan, sekarang ada di hadapan saya. 

Kayaknya yang bikin suasana berubah itu karena rimbunnya pepohonan. Penghuni sejati lokasi ini sudah mulai kelihatan dari kejauhan. Mereka adalah para kera. Kera yang terlihat mondar mandir nyari makanan. Kera-kera di sana tidak liar. Mereka akrab sama para wisatawan. Mereka tidak ngerampas bawaan para wisatawan. 

Rasa aman dan nyaman makin menjadi karena kita juga didampingi sama orang-orang yang udah paham gimana cara "handle" para kera ini. Mereka terbagi dua, yaitu orang-orang yang berseragam hijau (guide) dan para tokoh setempat yang berpakaian tradisional Bali.

Peraturan di hutan ini, supaya tetep aman selama menjelajah kayaknya hanya satu, yaitu ita tidak boleh ganggu para kera. Kita boleh kasih makan, tapi kita boleh nyentuh mereka, itu pesan dari para pemandu wisatanya. 

Terus kalo mau foto sama para kera gimana? Apa bisa? Bisa kok, bisa banget malah. Kita tinggal samperin pemandu wisatanya, terus bilang ke mereka, kalo kita mau foto sama kera-kera itu. Pemandu bakal mancing kera pake makanan ringan yang udah disiapin. Kita tinggal diem aja, atur posisi, dan tidak lama si kera bakal dateng nyamperin kita. 

Mau gaya kayak gimana? Keranya naik ke pundak, biar kayak gaya si Buta dari goa hantu? Bisa...kuncinya hanya satu, ikutin peraturan yang tadi, jangan sampai si kera yang nempel di kita jadi ngerasa keganggu. Nah, udah kan? Tinggal jepret, jadi deh fotonya.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Di hutan ini kita tidak hanya bisa nikmatin aktivitas para kera ini doang kok. Di hutan ini juga ada beberapa pura. Dari pintu masuk utama tadi -- tepatnya dari patung kera besar -- kita bisa lihat pura yang berdiri tegak. Pura yang dipagari sama pagar batu ini tidak bisa dimasukin sama wisatawan, karena pura itu masih dipake buat peribadatan. 

Kita hanya bisa nikmatin keindahannya dari luar aja, sambil ngelihat para kera yang berkeliaran, naik-turun, dan manjat pura itu. Itu sudah lebih cukup buat kami. Pura yang kita lihat di hutan ini kayaknya bisa kita jadiin referensi lain buat latar foto kita, karena selama ini yang kita tahu kalau pura-pura Bali adanya di pinggir laut atau pantai. Ini di hutan. 

Bisa kebayang gimana tenang dan sejuknya warga-warga Hindu Bali yang beribadah di sini. Kayak yang tadi udah saya bilang sebelumnya, di hutan ini ada beberapa pura.

Tidak jauh dari pura utama, kita bakal dituntun sama jalan setapak yang lembab dan basah karena tetesan air dari pepohonan, menuju ke pura yang lebih kecil. Desain dan bentuknya sama, hanya ukurannya aja yang beda. Di sana ada pendopo atau gazebo yang dijaga sama para tokoh sekitar. Mungkin, mereka ngejaga para wisatawan biar tetep aman. 

Di depan pura kecil ini, ada satu jalan luas dan cukup panjang. Jalan yang tertutup sama lumut-lumutan. Jalan ini bisa dijadiin buat spot foto juga. Karena kalo lagi beruntung, di jalan itu bakal melintas kawanan atau sekelompok kera. Mulai dari pemimpin kelompok sampai ke bayi kera yang masih di gendongan induknya, bisa kita lihat, dan bisa jadi pelengkap objek foto kita. Keren, kan?

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Sudah ke dua pura itu, apa udahan jelajahnya? Belum...kita masih bisa tetep ikutin jalan setapak yang bakal giring kita ke beberapa tempat lainnya. Kita kudu buang jauh-jauh pandangan "bakal tersesat" di hutan. Karena selain banyak pemandu dan para tokoh warga, kita bakal dituntun sama jalan setapak itu. Nah, kalo kita ikutin lagi jalan itu, kita bakal sampai ke salah satu pohon yang bisa dibilang unik. 

Mereka menamai pohon itu pohon Lanang Wadon. Kok gitu ya? Apa pohon ini sepasang, jadi dinamain begitu? Bukan gitu kok. Pohon ini dikasih nama itu karena ... ah, lihat sendiri aja deh dari gambar di bawah ini. Kalo mau jelasnya lagi, dateng aja ke sini, terus lihat langsung. Pohon ini kayaknya jadi penutup momen jelajah di hutan ini. Tapi, kalo masih kurang puas, bisa masuk lagi lewat pintu masuk utama tadi.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Terbukti kan, kalo Sangeh Monkey Forest itu bisa jadi bukti kalo kita menghormati dan menjaga alam, alam juga bakal ngasih balasan yang setimpal. Kedamaian, kesejukan, dan keteduhan jadi balasan dari alam. Rimbunnya pepohonan dan terjaganya ekosistem kera di dalamnya bukan cuma bawa ketiga hal yang udah saya sebutin barusan. 

Keuntungan lainnya, alam (Sangeh Monkey Forest) juga bawa keteduhan secara finansial buat daerah dan warga sekitar. Pesan saya cuma satu, buat tetep jaga alam supaya kita bisa nikmatin keteduhan yang kita rasain sekarang, terus berkelanjutan, dan terus berkelanjutan. Jangan sampai Sangeh Monkey Forest -- dan alam-alam yang lain -- hilang, dan cuma jadi kenangan.

Instagram: andrimam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun