Ditambah lagi, kita dikejar waktu. Semakin lama jalan, resikonya, kita bakal jalan ke tujuan dengan cahaya minim, karena hari makin sore, dan udah menjelang senja, dan gelap. Suara-suara serangga khas sore hari mulai menemani perjalanan kami. Itu tanda, hari makin sore. Dan kami harus mempercepat langkah.
Setelah melewati medan yang terjal, akhirnya kami mulai masuk ke medan yang landai. Sesekali kami bisa mendengar suara riak air sungai yang menyejukkan. Beberapa saat, kami lihat dari kejauhan atap-atap rumah yang terbuat dari bahan alam. Kami senang. Akhirnya kami sampai tujuan, dan masih ada cahaya matahari.Â
Tapi, salah. Yang kami lihat bukan rumah-rumah warga, tapi itu adalah lumbung persediaan bahan makanan mereka, yang mereka dapat dari hasil bertani dan berladang. Rumah-rumah panggung mungil berukuran gaklebih dari 3 meter (kayaknya) buat setiap sisinya ini, tersebar beberapa dalam satu kawasan. Uniknya dari lumbung ini, ada teknologi tradisional yang warga Baduy Dalam terapin.
Teknologi yang saya rasa diciptain buat mencegah masuknya hama pengerat buat masuk ke dalam lumbung mereka. Tiang penyangga lumbung dibuat pipih di bagian pangkal tiangnya. Dengan bentuk kayak itu, binatang pengerat kayak tikus hutan gak bisa memanjat, karena secara otomatis mereka akan terjatuh saat sampai dan mencoba naik dan masuk ke dalam lumbung. Sederhana, tapi keren dan berguna.
Oh, ini udah mau sampe nih. Cahaya matahari masih ada, meskipun udah mulai redup. Senja. Kami sampai di lokasi desa Cibeo, Baduy Dalam di waktu yang tepat. Selamat datang di desa Cibeo, Baduy Dalam.
Sebelum masuk ke pemukiman warga, kami harus melewati jembatan gantung yang misahin wilayah ladang dengan pemukiman. Yang kami lihat dari ujung jembatan itu bener-bener rumah, bukan lumbung makanan. Rumah panggung dengan atap dari jerami dan dedaunan, dengan dinding dari anyaman, saling berhadap-hadapan.Â
Rumah yang dipisahin dengan jalan setapak yang disusun dari bebatuan sungai. Rapi, asri, sejuk. Dan kayak yang saya bilang sebelumnya, kayaknya rumah warga udah di-tag sama setiap travel buat disewa. Rumah-rumah di sana kayak hasil membelah diri atau kayak anak kembar, sama persis satu-sama-lain.
Di jalan setapak itu anak-anak Baduy Dalam kejar-kejaran sesama mereka. Sembunyi di antara rumah-rumah. Itu udah jadi kebahagian bagi mereka. Gak ada kata mainan modern, hanya kejar-kejaran. Beberapa anak bermain, tapi dengan mainan sederhana yang mereka ciptain. Bahagia itu sederhana.Â
Para remaja, terutama remaja wanita, duduk-duduk di ujung tangga masuk rumah mereka, sambil sesekali memainkan rambut mereka yang masih basah setelah mandi. Wajah-wajah mereka khas. Perpaduan antara kulit putih dan kuning langsat, seolah melihat orang-orang Himalaya, tapi ini di Indonesia, dan di Baduy khusunya.
Hari makin gelap, suara serangga malam semakin terdengar, yang saya rasa hanya ketenangan. Cahaya kuning yang dari sumber lampu alami, mulai keliatan. Saya tenang, kami tenang. Ketenangan yang saya rasa pas buat membayar rasa capek setelah beberapa jam berjalan. Ketenangan tanpa gangguan dari luar, dari barang elektronik, bahkan alat komunikasi yang selama ini kita dapat. Saya gak butuh itu semua di sini.