Saat ini, menulis sebuah artikel dan memublikasikannya ke media daring bukanlah hal yang sulit lagi. Sebab dapat ditemukan banyak media daring yang siap menampung tulisan-tulisan dengan berbagai tema/topik.
Tulisan-tulisan tersebut tentu tidak lagi hanya dihasilkan oleh jurnalis atau mereka yang berkecimpung dalam dunia penulisan artikel. Namun, setiap orang dapat menjadi penulis artikel dengan kualitas yang  dapat ditentukan oleh penulis itu sendiri.
Dalam hal publikasi pun, ada beberapa media yang memang menyeleksi dan memerhatikan betul soal kualitas tulisan. Namun, ada juga media yang membuka lebar peluang bagi setiap orang untuk menulis dan memublikasikan tulisannya tanpa ada campur tangan editor, meski tetap aturan yang berlaku seperti tulisan yang tidak mengandung unsur SARA, dan lain-lain.
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa peluang untuk mengasah dan mengembangkan bakat menulis sungguh terbuka bagi semua orang tanpa ada batasan dan kriteria tertentu.Â
Banyaknya tulisan yang beredar di media daring telah menimbulkan suatu permasalahan yang entah disadari atau tidak. Permasalahan tersebut berupa pertanyaan:Â
Apakah tulisan seorang penulis di media daring sungguh dibaca oleh pembaca?
Ada kemungkinan bahwa tulisan tersebut memang dibuka, kemudian dibaca sekilas, dan ditutup lagi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa tulisan tidak sungguh-sungguh dibaca.
Memang banyak jawaban atas permasalahan ini, bisa jadi kalimat pembuka dalam tulisan tidak menarik, ketidaksesuaian judul dengan isi tulisan, cara penyampaian tulisan yang terbelit-belit, panjangnya tulisan yang tak terkira padahal intinya singkat dan sederhana, dan hal lainnya.
Mempersiapkan Tulisan
Tak dapat dipungkiri juga bahwa ada tulisan yang asal jadi alias tulisan yang dibuat tanpa riset yang mendalam. Mungkin juga penulis yang tak menguasai teknik menulis dan hanya mengandalkan asas "yang penting tulis".
Jika memang benar ada yang demikian, dan semua pembaca menganggap itu sebagai asas utama. Sungguh kasihan penulis yang sungguh mempersiapkan tulisan dengan sangat baik. Ia membuat tulisan dengan riset yang mendalam atas tema/topik yang dibahas, menuangkan ide-ide yang ada di pikirannya ke dalam kalimat-kalimat yang sederhana dan sekiranya bisa dimengerti oleh pembaca, dan upaya-upaya lain untuk membantu pembaca mengerti alur pemikirannya.
Sekali lagi, konteks pembicaraan tulisan ini bermaksud mengembangkan atau meningkatkan mutu tulisan yang beredar di media. Entah dibaca atau tidak, dihargai atau tidak, hendaklah tulisan itu dibuat dengan mempertimbangkan mutu dan kualitas. Sehingga dengan membaca tulisan tersebut, pembaca dapat menangkap inti pemikiran dengan mudah.
Termasuk di dalamnya bila tulisan itu berjenis diary atau pengalaman hidup. Meski menyangkut pengalaman hidup, tentu tulisan juga tidak diharapkan asal jadi. Maksudnya proses penulisan walau tidak perlu sesuai dengan kaidah berbahasa, tetaplah penulis ingin agar pengalamannya itu dibaca, dipahami, dan dirasakan orang lain. Dengan demikian, pengalaman penulis sungguh membatin dalam diri pembaca. Itulah esensi penulis memublikasikan tulisannya.
Andaikata tak dibaca dan tak dihargai pun, penulis tentu tak perlu merasa kecewa. Toh, ia secara tidak langsung telah belajar bagaimana membuat tulisan yang baik. Selain itu, ia juga belajar dalam mengelola emosi dan mentalnya bagaimana bila tulisannya tidak dibaca dan dihargai. Sekiranya, itu semakin memacu penulis untuk membuat tulisan yang semakin baik lagi ke depannya.
Pertanyaan: Seberapa sering aku sungguh membaca tulisan yang dibuat orang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H