Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada di pulau Sumatera dengan ibu kota nya Padang. Provinsi Sumatra Barat terletak di sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah, dataran tinggi Bukit Barisan di sebelah timur, dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Dimana > 80% dari penduduk nya merupakan etnis minangkabau yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, dengan lahan yang cukup luas yaitu sekitar 230.000 ha dan tersebar di 18 kabupaten dan kota yang ada. Menurut data BPS, sektor pertanian masih menjadi sektor penting dalam perekonomian Sumatera Barat, dimana pada tahun 2017 memiliki kontribusi sebesar 23,48 % pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatera Barat. Potensi sektor pertanian tersebut masih terbuka lebar untuk dikembangkan, baik itu untuk komoditi tanaman pangan maupun hortikultura. Ini dibuktikan dengan telah dilakukan nya ekspor perdana ke Cina pada tahun lalu untuk komoditi manggis sebanyak 10.000 ton yang berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, hal ini tentu juga akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Peluang ini juga seharus nya dapat ditangkap oleh generasi muda khusus nya yang berada di Sumatera Barat. Sehingga nanti nya akan tumbuh dan berkembang petani yang tidak hanya sekedar bertani tetapi sudah mengutamakan profit oriented tentunya tanpa mengesampingkan kualitas. Terutama diharapkan kepada para alumni fakultas pertanian dari berbagai universitas baik negeri maupun swasta yang ada di Sumatera Barat untuk bisa berkontribusi dalam kemajuan pertanian Sumatera Barat baik itu berupa ide, gagasan, penerapan teknologi maupun inovasi terkini dibidang pertanian yang bisa di aplikasi kan secara langsung ditengah - tengah masyarakat.
Salah satu hal yang menjadi keunikan bagi Sumatera Barat yaitu masyarakat nya menganut paham matrilineal (sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ibu) berbeda dengan suku - suku lain yang menganut paham patrilineal (sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah), juga preferensi masyarakat nya yang lebih menyukai tekstur nasi pera. Sementara kita ketahui bersama juga bahwa hampir seluruh masyarakat di Indonesia menyukai tekstur nasi pulen. Sehingga dalam penyediaan benih masyarakat Sumatera Barat terkadang mengalami kendala karena perbedaan preferensi masyarakat nya dan juga kekurangan benih sumber ataupun pilihan varietas yang tersedia. Oleh karena itu sampai pada tahun 2017 pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengalokasikan untuk Sumatera Barat sebanyak 71 unit Desa Mandiri Benih (DMB) yang bertujuan agar daerah yang dibantu tersebut bisa mandiri dalam memenuhi pasokan dan kebutuhan benih nya.Â
Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, Sumatera Barat juga menjadi penyangga kebutuhan pangan terutama beras bagi provinsi tetangga, yaitu provinsi Riau. Hal ini dilatar belakangi oleh banyak nya alih fungsi lahan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Riau yang tadi nya lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan sawit atau tanaman perkebunan lain nya (karet dan kelapa). Sehingga Riau hanya mampu memenuhi 50 % dari kebutuhan beras nya dan harus mendatangkan dari Sumatera Barat yang surplus produksi beras nya. Adapun alasan mengapa Riau dalam memenuhi kebutuhan beras nya dari Sumatera Barat karena sangat banyak perantau dari tanah minang yang notabene nya menyukai tekstur nasi pera berdomisili bahkan sudah tinggal puluhan tahun disana dengan persentase sebesar 12,29 % dari jumlah penduduk atau berada pada urutan ke 4 dalam jumlah etnis yang ada di Riau.
Ini lah arti penting lahan sawah bagi masyarakat Sumatera Barat, karena menurut aturan adat di minangkabau lahan sawah merupakan salah satu harta pusaka yang tidak boleh diperjual belikan sembarangan karena bukan milik pribadi. Lahan sawah tersebut juga secara turun temurun akan diserahkan kepada keturunan dari pihak ibu (masyarakat Sumatera Barat menganut paham matrilineal). Hal tersebut lah yang membuat alih fungsi lahan sawah menjadi bangunan atau gedung - gedung bertingkat tidak secepat di daerah lain, sehingga secara tidak langsung aturan adat minangkabau tersebut telah melindungi lahan pertanian sehingga peruntukan nya bisa dipertahan kan secara berkelanjutan. Tetapi perlu diketahui juga bahwa kebanyakan petani yang menggarap sawah bukan lah pemilik sawah, melainkan hanya berstatus sebagai penggarap yang diberikan amanah oleh pemilik sawah untuk mengelola hasil sawah tersebut dengan sistem bagi hasil.
Pola tanam petani di Sumatera Barat juga berbeda dengan petani di daerah Jawa maupun daerah lain nya, karena di Sumatera Barat sendiri kebanyakan petani tidak bertanam secara serentak. Ini bisa dilihat apabila kita ke lokasi sawah petani ada yang sedang menyemai benih, ada juga yang sedang tanam, bahkan ada yang sedang panen. Sehingga bisa dikatakan tidak ada musim tanam maupun musim panen (panen raya) bagi petani di Sumatera Barat. Sehingga menyebabkan harga Gabah Kering Panen (GKP) ditingkat petani sangat fluktuatif selain disebabkan oleh tinggi nya upah pekerja di sawah dan kurang op dan bisa dikatakan lebih tinggi dibandingkan daerah lain, yaitu berkisar antara Rp. 5.000 - Rp. 7.000 / kg sedangkan di daerah Jawa hanya berkisar antara Rp. 3.000 - Rp. 5.000 / kg.
Selain permasalahan diatas, di sisi lain juga ada yang lebih urgent yaitu terjadi nya ketidak seimbangan dan kekhawatiran mengenai regenerasi petani di Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Tanah Datar yang memiliki luas lahan sawah sekitar 22.944 ha. Mengapa demikian? Sebenar nya bukan karena sumber daya manusia nya yang tidak ada atau kurang, tetapi karena ditemukan fakta bahwa rata - rata petani yang ada berusia diantara 40 - 65 tahun, menurut survey LIPI hanya 4 % minat petani muda yang berusia > 15 - 35 tahun atau istilah nya orang jawa sudah banyak yang "sepuh". Ini merupakan salah satu indikator bahwa kurang nya minat generasi muda untuk menjadi seorang petani, yang mungkin menurut sebagian orang pekerjaan sebagai petani itu tidak keren dan sangat berat karena harus bekerja dibawah terik matahari dan berkubangan dengan lumpur. Hal ini lah yang menjadi penyebab dari tahun ke tahun jumlah petani semakin berkurang karena faktor usia petani yang ada saat ini tidak lagi muda dan tidak ada pengganti nya.
Permasalahan semacam ini perlu ada nya solusi nyata dari pemerintah dalam hal ini instansi terkait untuk bisa memotivasi dan meningkatkan minat pemuda (generasi milenial) sehingga mau ikut terjun secara langsung untuk menggeluti bidang pertanian tersebut. Karena apabila dibiarkan terus menerus maka tidak akan ada regenerasi petani dari yang tua ke yang muda. Karena saat ini saja untuk mencari petani yang akan mengerjakan sawah saja (membajak, tanam, menyiang, maupun panen) sangat sulit karena biasa nya pekerja yang bekerja di sawah tersebut sudah ada jadwal nya masing - masing dan jumlah nya yang terbatas. Upah petani di Sumatera Barat pun juga lebih tinggi dibandingkan dengan petani di daerah Jawa. Yaitu Rp. 50.000 / hari untuk pekerja wanita dan Rp. 70.000 untuk pekerja laki - laki.Â
Salah satu solusi yang tepat untuk bisa memotivasi dan menarik minat generasi muda untuk bertani yaitu dengan moderenisasi pertanian (penggunaan alsintan yang canggih). Karena biasa nya generasi muda ingin nya sebuah pekerjaan itu lebih praktis dan hemat waktu kalau dikerjakan. Bila kita berkaca kepada negara maju, contohnya saja Jepang yang memiliki kesamaan makanan pokok nya dengan orang Indonesia yaitu nasi. Meskipun dengan luas wilayah yang kurang dari pulau Sumatera, dan musim tanam yang hanya satu tahun sekali. Tetapi kenapa Jepang tidak pernah impor beras dan selalu bisa swasembada beras? Ini perlu kita pelajari terutama bagi generasi muda minang yang ada di Sumatera Barat.
Bagaimana agar daerah kita paling tidak ada regenerasi petani nya meskipun tidak secara signifikan, tetapi bertahap. Jepang dengan luas lahan yang terbatas, sumber daya manusia yang kurang, dan masa tanam nya hanya satu kali setahun tetapi tetap bisa swasembada. Ini lah yang perlu kita sikapi sebagai generasi muda Indonesia, agar bisa menjadi agen - agen perubahan untuk mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia sehingga negara kita bisa swasembada dan tidak ketergantungan lagi dengan produk dari luar negeri, baik itu beras, jagung, kedelai, bawah putih dan lain - lain.
Mungkin ini bisa di motori secara berkelanjutan oleh Gempita (Gerakan Pemuda Tani) yang merupakan wadah bagi para generasi muda penerus bangsa, terutama dibidang pertanian yang ada di masing - masing wilayah di Indonesia. Karena menurut Meneteri Pertanian diharapkan Gempita ini bisa untuk membangunkan lahan tidur yang banyak tidak termanfaatkan dan juga bisa memotivasi petani terutama generasi muda. Yang sampai saat ini sudah tersebar di seluruh wilayah, dengan jumlah anggota para petani muda yang cukup banyak.