Satu dua tiga lalu berkata dan semua tampak baik-baik saja padahal hatinya sungguh sangat menggerutu kecewa. Kualitas kekecewaan yang tersirat dan tampak ketika bagaimana cara orang-orang itu menutup pintu, biasa saja namun keras sedikit membanting.
Menutup diri serapat mungkin menghindari hidup yang sebenarnya, belum siap menghadapi apapun, lagi sibijak berkata dasar si lemah dan tidak berguna. Setelah mengetik tulisan ini sesaat berdatangan ketenangan menegurku. Sial esoknya bangunku kembali kesiangan apalagi dalam menyapa orang dan kemudian merangkak berdiri lalu berjalan gontai sempoyongan melewati lorong rumah yang sudah sepi ditinggalkan, jongkok lalu menghitung hari-hari yang ku anggap sedih. sungguh pria dalam kaca itu sangat pandai mengecewakan orang.
Tenang saja dimensi depresiku belum separah chris cornell hanya saja sesekali ingin membenturkan kepala ketembok dan menikam leher dengan gunting. Kadang terlintas pikiran bahwa mati lebih dulu dari orang-orang yang disayangi adalah cara terbaik untuk tidak kehilangan dan berlarut dalam genang kelam. Sehingga pada akhirnya menikmati hidup atau tidak semua akan mati juga.
Aku selalu mampu bermimpi menghadapi kenyataan tapi nyatanya menghadapi kenyataan adalah sebuah mimpi. Bersembunyi dalam topeng senyum, Aku malas untuk berbincang tapi selalu senang melihat orang berbincang, menyimak bagaimana satu sama lain berinteraksi rasanya sungguh sangat membahagiakan.Â
Berbagi resonasi secara tidak langsung. Banyak hal berputar dikepala menyaksikan bagaimana kesedihan itu menjalar melalui arteri, depresi musim panas, kata yang tertulis adalah barisan huruf yang berderet rapuh, menyentuh setiap sudut terasing. Berputar-putar lalu memar, tersungkur dan membiru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H