Meski kini pandemi sudah kehilangan wibawanya dalam menakuti masyarakat, tetap saja keadaan terlanjur sudah berubah. Dulu, orang tak ragu untuk traveling. Jika keadaan kalian sepertiku, yaitu ekonomi pas-pasan, pasti transportasi motor dan bus ekonomi menjadi pilihan utama untuk menerabas kota lain, yang pastinya berjarak tidak terlampau jauh seperti Jogja-Jakarta.
Bagaimana tidak, dana untuk sewa mobil rental jelas mencekik. Memilih kereta api lokal, sama saja, ribet. Harus beli tiket dulu-lah, menunjukan nomor KTP-lah, jam kereta yang nanggung-lah, tiket gampang habis-lah, takut wajib rapid-lah, serta jutaan kemalasan lainnya yang berat untuk dilakukan.
Berbeda dengan memilih memakai bus ekonomi. Pilihan yang tepat terutama jika kalian takut mengantuk dalam mengendarai motor, pasti bus adalah solusinya. Ordernya pun mudah, tinggal berdiri di pinggir jalan, lambaikan tangan ke arah bus, bus berhenti, naik pilih tempat duduk, dan perjalanan pun dimulai.
Setelah ditagih duit dari sang kenek, kewajiban kita sebagai penumpang telah purna. Mau tidur, tinggal tidur. Malahan, biasanya kita mendapat service yang spesial dari kenek, yaitu dibangunkan secara gratis ketika tujuan sudah dekat, tentunya dengan teriakan kencangnya yang mengagetkan.
Ah, ini merupakan kerinduanku yang pertama dalam suasana menaiki bus ekonomi. Pandemi ini menjadikan kebiasaanku naik bus untuk mudik ke Kebumen berkurang. Selain karena saya sendiri sebetulnya masih takut berkerumun, juga karena tarif bus yang dua kali lipat kenaikannya. Duh, tombok!
Selain itu, kerinduanku yang kedua adalah menonton "konser" dari pengamen yang ikut numpang di dalamnya. Nah, aku ingat sekali, sekitar tahun 2009-2013 aku sering sekali naik bus jalur utama kota Jogja-Kebumen, begitu pun sebaliknya. Jalur itu memang lahan basah bagi para pengamen, karena selain penumpangnya banyak, pemberhentiannya juga berdekatan.
Baru saja berhenti di Pasar Gamping, pengamen kloter pertama sudah ikut naik. Sampai daerah Karangnongko pengamen ini turun, berganti dengan pengamen lain, kloter kedua. Begitu seterusnya sampai daerah Purworejo, kalau sedang ramai bisa sampai 5 pengamen dalam satu kali perjalanan.
Jika diperhatikan, rata-rata formasi musik para pengamen bus sudah tertebak. Kalau ngga solo instrumen, biasanya mereka bertiga (menggunakan tambahan pemain kendang paralon membran karet dan tamborin). Namun format solo adalah yang paling sering dipakai.
Dengan menenteng gitar, seringkali pula kencrung (sebutan lokal dari ukulele), mereka bermain instrumen sambil bernyanyi. Usia mereka variatif, kadang tua, kadang muda, sehingga kadang yang ngamen sudah bapak-bapak, sudah ibu-ibu, hingga yang masih bocah tanggung seumuran SMP. Sepertinya menarik untuk kita membahas lebih dalam. Mari, aku ajak pelan-pelan mengidentifikasi musik pengamen bus kota ini.
Pertama, yang paling gampang untuk diidentifikasi adalah kelantangan suara bernyanyinya. Ini bisa dikaitkan dengan space (ruang) performancenya yang memang sedang berada di dalam bus yang berjalan kencang, dan terbuka.
Ya, kita tahu sendiri bahwa rata-rata bus ekonomi itu jarang yang ber-AC. Keadaan ini membuat pengamen harus ekstra dalam memproduksi volume suaranya, karena kebanyakan mereka bermain tanpa amplifikasi.Â
Ini mengingatkanku pada treatment bernyanyi serius yang biasanya terdapat di dalam musik opera Eropa. Tanpa amplifikasi, penyanyi opera dituntut untuk melatih kekuatan volume suaranya agar bisa terdengar se-antero concert hall.
Namun, mereka (penyanyi opera) beruntung karena terbantu oleh respon akustik dari ruangan konser yang menggemakan suara dengan bagus. Sementara pengamen?Â
Ia berjuang melawan ganasnya soundscape mesin dan angin yang masuk dari pintu bus tanpa dimanjakan oleh ruang akustik. Malah sepertinya sudah menjadi noise yang tak bisa dikompromi. Tapi tetep, gaspol mbengok pokoke cah!
Kedua, dari segi materi lagu yang dibawakannya. Menurut saya ada dua tipe, yaitu pengamen yang membawakan lagu populer secara lugu apa adanya, dan pengamen yang mengkreasi sendiri lagunya.
Untuk yang pertama, pasti tidak ada yang menarik untuk dibahas, kecuali memang bekal materi vokal nya merdu dan modal musikalitasnya di atas rata-rata. Yang menarik adalah yang kedua. Saya mendapati banyak kreasi baru dari mereka, seperti men-Jawakan lagu luar, mengganti lirik dengan yang parodi, sampai dengan pembentukan suatu gaya yang khas.
Yang ekstrem saya pernah mendapati pengamen men-Jawakan lirik Knocks on the Heaven Doors milik Bob Dylan. Terdapat lirik "dok-dok digedok lawang surgo.." Selain terkejut, sebenarnya saya hampir tertawa terbahak, namun saya tahan. Sebenarnya bukan soal lucu tidaknya, saya hanya shock saja.Â
Saya kurang ingat bagaimana persis liriknya, tapi sajian (saya menggunakan kata sajian agar mudah) itu menarik. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sajian itu memunculkan image yang berseberangan dengan image yang telah dibangun mapan di lagu aslinya.
Bahkan kalau mungkin lebih dikaji lagi secara sastrawi, dialek-dialek bahasa lokal yang terasa dalam pelafalan lirik itu bisa dibilang mampu mempunyai membangunan estetikanya sendiri. Sehingga tidak bisa dibandingkan dengan kata "bagusan mana?". Kasus translate dan tafsir bahasa memang bukan hal yang baru, dari dulu sudah ada.
Perkara itu legal atau ilegal bukan urusan saya. Yang mau saya bahas di sini adalah wujud barunya. Saya kira ini juga mewakili dengan macam kreasi lain yang sudah saya sebutkan di atas seperti mengganti lirik yang parodi (lucu-lucuan). Bedanya mungkin di kadar hiburannya, namun konteks kreasinya masih sama. Begitu juga dengan embrio pembentukan gaya yang khas pengamen.
Nah, bicara soal gaya yang khas dari musik dari pengamen bus ini, minggu lalu saya membeli album dari teman saya, Kiky namanya. Ia membuat album solonya di tahun ini yang berjudul Lagu Seniman Rantau.Â
Setelah saya buka album dan dengarkan lagunya, ternyata musiknya sengaja merepresentasikan musik-musik dari bus kota Sumber Kencono, dimana bus itu merupakan bus jalur Jogja -Surabaya.Â
Tak disangka, lagunya juga satu gaya dengan musik pengamen bus ekonomi Jogja -- Kebumen. Karena album ini saya menjadi tergugah untuk berusaha membahas tentang gaya musik pengamen bus.
Sedikit saya jelaskan, gaya musik dari pengamen yang tergolong mengkreasi ini terpadu dari beberapa unsur gaya musik yang berbeda. Kita bisa merasakan keroncong di dalam cara mereka strumming (genjreng) senar kencrungnya, namun di waktu yang sama kita merasakan musik nyanyian sunda di jalannya melodi vokal (lho kan bukan bus jurusan Bandung ya?) Namun itu kenyataannya.
Mungkin urbanisasi penduduk dari desa ke kota memengaruhi itu semua. Saling-silang antara kota A dan B, bahkan C memengaruhi persebaran penduduk yang majemuk.Â
Dan benang merah yang sama-sama bisa dikompromi adalah musik rakyat yang sama-sama dipunyai banyak daerah di Jawa, yaitu antara pelog slendro, yang menjelma menjadi langgam populer, yang mungkin sangat mudah didekati sebagai ekspresi kultural masing-masing dari mereka. Seperti pada lagu Kiky yang berjudul Lagu Seniman Rantau, sangat jelas hal-hal yang saya sebutkan tadi direpresentasikan nya.
Sepertinya, pengamen mempunyai unsur musikalitas atau tidak, tidak menjadikan mereka gagap kesenian. Selama mereka sering berinteraksi dengan sosial yang berkembang juga di sana seni tradisi yang intens semasa hidup, saya yakin mereka dapat menyerap itu, walaupun minim. Ini merupakan pengalaman yang sudah menjadi empiris laku musikal, walaupun tak punyai musikalitas.
Yang menjadikan musik itu terdengar murah karena mereka belum mengetahui pengolahan yang proper. Mereka mengolah itu dengan sederhana, sebisanya, mau tak mau menjadikan lagu itu terdengar lugu, dan malahan satu dengan yang lain bisa terdengar mirip, karena minimnya daya musikalitas yang mereka miliki, bahkan jika memiliki, mereka malas untuk mengembangkan.Â
Tujuan mereka ngamen rata-rata untuk mencari nafkah. Musik sebagai medianya. Jarang ada yang berniat terjun ngamen untuk fokus membuat seni baru yang bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya.
Jika dikaji secara musik barat, rata-rata akor yang mendasari bangunan musiknya berkutat pada I V V7, berlaku juga pada tangganada minor (i iv V7). Itu terus, diulang-ulang, hanya liriknya yang kadang berganti. Saya kasih satu hal yang menarik.
Jika kita analogikan, struktur solo ini, yang sudah kita bahas di atas, mengalami penambahan ritmis pemain kendang paralon, tiba-tiba membuat lagunya berbelok menjadi beraroma dangdut koplo. Dangdut Koplo! Faktor asing satu lagi yang diserap! Hahhaha.Â
Sebenarnya bagaimana sih strukturnya? Cukup membingungkan. Inilah yang saya maksud. Meskipun terkesan murah, namun jika dijentrengkan kronologi kulturalnya akan terkesan kompleks.
Okey, kita cukupkan membahas musiknya. Karena unsur-unsur musikal di atas diikat oleh lirik yang melekat pada melodinya. Gaya liriknya pun bermacam-macam, namun rata-rata berbentuk pantun pendek.Â
Isi ceritanya seperti musik pop Jawa, berisi tentang curhat lugu gundahnya kehidupan menengah ke bawah, baik merepresentasikan keadaan mereka maupun secara umumnya masyarakat. Namun, yang menarik, seperti yang dikemukakan pada sampul CD album Kiky juga, terdapat juga gaya lirik yang tergolong mesum dan nakal!
Pasti udah pada paham kan ya? Kayak kata-kata menggoda, alur cerita yang tabu, mengumpat, dan banyak terdapat kata-kata perumpaman yang bertendensi ke ajakan bercumbu. Seperti "..Janda kembang samping supir, sekali digoyang langsung kocar-kacir.." Ini menandakan kebebasan dalam mengolah lirik bukan hanya milik musik indie yang sedang kita bangga-banggakan saat ini, namun juga punyanya pengamen!
Ekspresi seperti itu, dalam konteks seni, menurut saya wajar-wajar saja, selama hanya tertuang di dalam karya. Saya lebih setuju jika mengkategorikannya bukan lirik mesum, namun lirik liar, atau jika lebih internasionalnya bisa menggunakan kata explicit. Ya gak salah sih. Punk dan Hip-hop sering menggunakannya. Yang salah jika mereka menggunakan lirik itu untuk melecehkan penumpang dan berujung pada tindakan kriminil. Itu baru namanya ngisruh.
Namun gaya seperti ini tidak tunggal dan seragam. Ada pula lirik yang mewanti-wanti tentang kematian. Seperti pada lirik "ditumpakke kereto jowo, rodone rodo menungso.." atau "disalini penganggon putih, yen wes budal ora iso mulih.."Â
Mungkin, niat mereka mengajak kita merenung jalur relijius ya, namun malah kenyataannya terdengar horor. Bagaimana tidak, kalian para pengamen mewanti-wanti kematian secara deskriptif di saat kami sedang dalam bus yang ugal-ugalan sepanjang perjalanan! Biadab!
Singkatnya, gaya musik dari pengamen bus kota bisa dibaca sebagai upaya-upaya melokalisasi, baik dari lirik maupun bentuk musik. Sinkretis yang berujung pada upaya penyederhanaan (karena keterbatasan) dari berbagai unsur asing (luar daerah) itu yang membuat musik ini bisa membentuk gaya khasnya sendiri.
Selain menjadi sarana untuk mencari nafkah dan menghibur penumpang, gaya musik ini adalah bentuk yang paling mudah untuk diterima di antara ruang sempit antar tempat duduk penumpang, di dalam bus yang bergerak dan melaju kencang. Dalam kata lain, pengamen mempunyai kesadaran spasial dalam performance-nya. Ini akan lebih menarik jika ada yang mau mengkaji lebih dalam.
Menurut Jeremy Wallach, pengamen juga merupakan agen penting dari peniruan musik yang beroperasi di luar media massa resmi.Â
Ia menambahkan, musik dari pengamen ini juga merupakan upaya menghidupkan kembali pertunjukan rekaman berteknologi tinggi melalui pembawaan lagu langsung berteknologi rendah. Ini berarti bahwa pengamen punya peran penting dalam laju industri musik, secara tak langsung, sebagai agen distribusi. Wah, penting juga keberadaannya.
Amboi, membagi cerita ini menjadikan saya semakin rindu naik bus ekonomi, antar kota antar provinsi. Rasanya seperti merindukan suasana chaos, apalagi jika supirnya ugal-ugalan, hahhaha. Semoga pandemi ini segera tuntas dan berakhir, agar saya bisa bersilaturahmi dengan para pengamen lewat distribusi rupiah di antara kami.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H