Setelah negara ini berhasil mengibarkan panji kemerdekaannya di Tahun 1945, para pendiri bangsa mempunyai PR yang berat. Merdeka sudah diraih, lalu apa? Mau dibawa kemana negara ini? Mau dibangun seperti apa? Menganut paham seperti apa? Bagaimana pemerintahannya? Bagaimana mengelola negara sebesar ini dengan begitu banyak suku dan budayanya? Dan tentu saja dengan sejuta pertanyaan lain yang menghantui.
Merupakan ikhtiar terberat seluruh elemen negara dalam mencari jati dirinya di masa-masa itu. Arah peletakan dasar dan asas negara, poltik, ekonomi, haluan negara, tak terkecuali produk kebudayaan seperti musik mengalami proses penggalian yang dalam dan penuh konsekuensi besar bagi negara yang baru merdeka ini.
Beberapa upaya telah dilakukan, para "founding fathers" mulai mencanangkan konsep-konsep. Seperti Ki Hadjar Dewantara yang membuat 2 buku babon tentang pendidikan dan kebudayaan, yang diharapkan menjadi dasar acuan laku bangsa. Lalu Bung Karno sendiri dengan Manipol-Usdek-nya di  tahun 1959 dan beberapa pidato kenegaraannya.
Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara sendiri, Indonesia seharusnya mempunyai kebudayaan yang halus, tak terkecuali dengan musiknya. Dalam bukunya yang kedua yaitu tentang Kebudayaan, ia mencontohkan kesenian gending Jawa, sebagai satu contoh yang sangat ideal dalam membangun Kebudayaan yang tinggi. Ia beberapa kali membandingkan antara Gending Jawa dan musik Barat. Ia mengharapkan agar Kebudayaan dari tanah asal kita sendiri (kebetulan ia Jawa) tidak tergilas habis oleh kebudayaan asing yang belum tentu pas bisa diterapkan di manusia Indonesia.
Bung Karno sepertinya juga sejalan dengannya. Ia khawatir budaya Barat akan menginvasi Indonesia. Ia dengan tegas dan pedas, mengkritik pengaruh Imperialis dalam merusak moral bangsa melalui penetrasi kebudayaan. Maka dari itu ada kebijakan pemerintah mengenai larangan musik Ngak-Ngik-Ngok. Ia dengan berani melarang semua yang berbau Imperialis, British, dan Nekolim. Bahkan beberapa musisi pop terdampak akan larangan ini.
Lalu upaya-upaya tersebut menular ke tubuh-tubuh politik di Indonesia, seperti yang terjadi pada Lekra, lembaga terlarang yang sudah tidak berjejak di Indonesia.Â
Dilansir oleh Tempo, melalui doktrin realisme sosial, Lekra mengharapkan seni untuk rakyat, jangan sampai seni untuk seni saja. Ini berdampak juga kepada musik, yang kental keberpihakannya akan rakyat. Muatan lirik, serta idiom-idom musik yang diregulasi oleh Lekra rata-rata membawa semangat kerakyatan. Maka tak heran lagu Genjer-Genjer yang bercerita tentang keprihatinan rakyat ketika terjajah Jepang  bisa diangkat menjadi propaganda aksinya.
Selain mereka, kritikus musik di Indonesia mulai mengevaluasi musik-musik yang berkembang di Indonesia. Amir Pasaribu rajin mengingatkan kita tentang bagaimana seharusnya mengapresiasi sebuah musik yang bermutu dengan tidak melulu berkiblat pada musik "kue pancong", istilah yang diberikan kepada musik klangenan & remeh-temeh. Â Selain Amir, Dungga juga berupaya menerjemahkan banyak literatur musik berbahasa asing agar dapat memperkaya literatur kita sendiri, sehingga pengetahuan musik di Indonesia menjadi lebih kaya dan mendalam.
Kusbini tidak lelah mempertahankan keadiluhungan Keroncong, agar Keroncong tidak kembali lagi menjadi sekedar musiknya para buaya yang suka merayu. Juga ada Mochtar Embut dengan gaya kalemnya diam-diam menyihir iringan musik Sam Saimun menjadi sekelas Nat King Cole. Bisa ditelusuri dalam album Sam Saimun Volume 3, dimana 4 lagunya diaransir secara cantik dan berkelas. Ia pandai mereduksi nada-nada yang membuai, dan cukup cermat dalam memilih instrumentasi yang tepat.
Studio rekamanpun mulai dibangun sendiri oleh pribumi. Suyoso Karsono, mendirikan Irama Records sebagai perusahaan rekaman Piringan Hitam yang pertama di Indonesia tahun 1952. Profesinya sebagai penerbang Angkatan Udara tidak mengganggu kecintaannya pada musik. Selain didapuk sebagai Bapak Studio Rekaman Indonesia, ia juga berjasa mengenalkan musik Hawaii di Indonesia, yang sebelumnya tidak mendapat banyak apresiasi.
Dalam lingkup musik Tradisi, I Wayan Lotring juga mengabdikan sepanjang hidupnya untuk kesenian Bali, khususnya Gamelan Bali. Lotring disebut-sebut sebagai salah satu kekuatan kreatif dan pengaruh besar di balik perkembangan Gamelan Bali. Keterbukaannya melakukan banyak pembaharuan, membuat karyanya berani diluar pakem yang berlaku pada zamannya. Itulah mengapa banyak peneliti musik dari mancanegara yang meneliti musik tradisi Indonesia di tahun-tahun setelah negara ini merdeka.
Upaya-upaya tersebut adalah salah satu bentuk penggalian bersama untuk menemukan karakter jati diri Indonesia, Kebudayaan Indonesia, dan tentunya musik yang Indonesia. Mereka mengharapkan adanya musik yang menyimpan semangat Indonesia dan mencerminkan manusia Indonesia. Namun sampai saat ini sepertinya sulit mendefinisikan apa itu Musik Indonesia. Dengan banyaknya variabel yang harus dipertimbangkan, Musik Indonesia belum sepenuhnya terwakili oleh satu musik apapun, bahkan Indonesia Raya.
Indonesia terlampau kaya akan keberagamannya. Layaknya buah simalakama, keadaan ini membuat rumit di berbagai sisi. Keberagaman akan menjadi boomerang ketika kita mulai menyederhanakan. Namun keberagaman juga perlu ada penyatuan-penyatuan, agar tak tercecer satu sama lain. Semoga ini menjadi PR kita semua yang sedang menjalankan WFH ditengah pandemik Corona.
Salam, Andri Asmara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H