Dunia sedang mengecap kegetiran yang menusuk di rongga mulutnya. Penyebaran wabah virus Corona sudah tak pandang bulu.Â
Orang-orang  mengisolasi diri di rumah masing-masing. Jalan-jalan kota besar sebagian sudah lumpuh. Sekolah sudah libur. Kantor-kantor, Mall, tempat wisata, sudah diantisipasi dan dihindari. Aktifitas berkerumun, sudah diminimalisir. Resepsi akbar pernikahan sudah dilarang, bahkan akan ada denda 1 tahun bui bagi yang melanggarnya.
Di garda depan, Tim Medis mati-matian merawat korban. Pemerintah akhirnya mulai panik menatap angka jumlah korban terus melunjak. Ujian Nasional ditiadakan. Hastag #dirumahaja digalakkan seluruh elemen.Â
Orang-orang terdekat saling menjaga. Orang-orang tercinta saling menguatkan. Sungguh, dalam 25 Tahun saya hidup, baru kali ini menghadapi keadaan segenting ini.
Masjid dan tempat ibadah lain sudah mulai dibatasi aktifitasnya. Adzan sudah mulai diganti dengan "Sholatlah kalian di rumah masing-masing". Rupiah menurun. Krisis masker dan hand sanitizer merongrong dari segala penjuru.Â
Penggalakan pola hidup sehat selalu menghiasi timeline medsos. Anjuran untuk tidak panik selalu bergema di mulut-mulut pemerintah. Masyarakat diminta untuk menurut, agar wabah ini segera berakhir.
Work From Home menjadi kebijakan yang paling masuk akal. Masuk akal bagi mereka yang kerjaannya bisa digantikan dengan daring.Â
Sayangnya, kebijakan ini tidak relevan dengan  mereka yang bekerja di lapangan, seperti buruh tani, supir truck, kuli bangunan, tukang becak, ojek online, dan masih banyak yang lain. Masih banyak saudara kita yang bertaruh nyawa di luar sana, demi dapur bisa ngebul.
Bagaimana dengan musisi?
"Musik masih menyimpan muatan-muatan optimisme untuk manusia bertahan hidup. Segelap-gelapnya lirik yang dibuat, ia tetap membawa musik yang indah."
Ternyata wabah ini tidak pandang bulu juga soal pekerjaan. Di dunia musik, keadaan ini juga berimbas. Job wedding, reguler, event, bahkan festival terancam pending.