Terlahir di tahun 1994 membuat masa remaja saya ada di dekade 2000an. Sudah lumrah menjadi anak baru gede dekat dengan perkembangan tren, terutama dari segi konsumsi musik agar bisa dipandang sebagai cool-kids (cah mbois).
Media sosial secara daring belum ada saat itu, hanya mengandalkan TV dan radio untuk mendengarkan secara streaming. Tak lupa berkat merebaknya kaset & CD bajakan yang tak terhindarkan membuat saya terpapar musik pop dengan berbagai macam jenisnya.
Kakak saya sedikit berjasa dalam hal ini. Melalui walkman buluknya ia mencoba mengenalkan musik yang lagi in menurutnya. Teringat waktu itu lagu Sabtu Minggu milik Sandy Canester adalah lagu yang dikenalkannya.
Walaupun saya sendiri belum begitu paham dengan arti liriknya, saya menikmatinya. Usia saya dengan kakak terpaut 5 tahun. Otomatis perbendaharaan kata dan perkembangan nalar saya masih sedikit dan terbatas.
Saya mulai menaruh perhatian pada musik ini. Rajin mendengarkan siaran radio dan melihat chart terbaru di TV adalah kegiatan saya disela-sela belajar. Saya sering menipu orang tua dengan pura-pura belajar materi pelajaran sekolah dengan ditemani suara radio agar tidak bosan. Padahal yang saya lakukan adalah belajar menganalisa lagu yang diputar di radio dengan ditemani materi pelajaran sekolah agar terasa meyakinkan.
Masih kecil sudah bisa menganalisis? Santai, metode analisa saya saat itu sangatlah sederhana, dimulai dengan belajar membandingkan. Yaitu dengan mengidentifikasi perbedaan gaya lagu satu dengan yang lain, gaya musik band satu dengan yang lain.
Tak terpikir untuk mengkotak-kotakan musik, semua yang saya dengar, saya amati. Alhasil metode ini sedikit memantik pemikiran analisa yang lain, diantaranya adalah teori musik, yaitu belajar menganalisa progresi akor.
Kebetulan alm. bapak saya adalah guru musik sebuah SMP, jadi saya tidak sungkan-sungkan untuk bertanya perihal cara menganalisa progresi akor. Dilatihlah saya untuk belajar peka terhadap tegangan nada-nada yang beradu dan menebaknya dengan meraba sampai ketemu nada yang sama. Barulah saya paham ketika menimba ilmu di Sekolah Menengah Musik bahwa cara ini disebut solfegio.
Bagai bocah yang memecahkan sebuah misteri layaknya Conan Edogawa, saya ketagihan menebak akor. Lagu nasional, daerah, punk, pop, hingga sholawat saya coba untuk cari akornya. Namun beberapa lagu menemukan kendala karena akor yang diajarkan bapak terbatas.
Saat saya konsultasi ke bapak, yang ia lakukan adalah memberi tahu roots akord (dasar) saja. Padahal yang saya dengar lebih dari sekedar mayor/minor asli, terkadang terdapat tegangan nada lain yang beradu indah. Saya tidak puas, saya coba cari sendiri sampai dapat yang persis.
Kesenangan ini berdampak pada pertemuan saya dengan musik-musik yang lainnya. Karena bersumber dari radio dan TV, yang saya dengarkan kebanyakan adalah musik pop dalam negeri yang mainstream. Mulai dari Ungu, Nidji, Peterpan, D'Masiv, dan banyak lainnya. Mau tak mau mereka yang jadi sumber pembelajaran saya dalam memahami musik pada mulanya.