Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Perlukah Musisi Berpolitik?

12 April 2019   03:19 Diperbarui: 12 April 2019   04:06 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dewasa ini, dunia politik memang sangat sexy untuk dibicarakan di Indonesia. Mendekati Pemilu yang akan diselenggarakan tanggal 17 April 2019 merangsang dialektika antar golongan masyarakat. Sejatinya semua berlomba untuk mencari sosok wakil rakyat terbaik, yang bisa membawa Indonesia semakin sejahtera. Namun dalam prakteknya terjadi banyak kesenjangan pemahaman dan fanatisme yang membuat percikan permusuhan.

Dalam meradangnya suasana politik akhir-akhir ini, sering kita jumpai nama-nama musisi kondang yang mulai satu persatu terjun ke politik. Mulai dari menjadi tim sukses Paslon hingga menjadi caleg. Ada yang rela meninggalkan grup musiknya demi nyaleg (seperti Giring), dan ada pula yang menggunakan profesi musisi sebagai ikon berkampanye (seperti Katon Bagaskara). 

Ada juga yang hanya menjadi relawan dan tim sukses Paslon saat berkampanye dengan mengajak masyarakat untuk memilih Paslon yang dijagokan (seperti Ahmad Dhani, Neno Warisman, Tompi & Addie MS). Tapi apakah sebenarnya mereka sedang mencoba untuk mendekatkan peran musik dengan politik?

Walau terkesan berbeda dunia antara musik dan politik, dalam tinjauan sejarah keduanya saling berkolerasi. Tanpa kita sadari lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah lagu politik pertama yang memuat materi Bahasa Indonesia dan cita-cita kebangsaan, dimana pada saat itu negeri ini masih dibawah kedudukan Hindia Belanda. Dikutip dari buku Yopi Kristanto Bersenandung dalam Politik bahwa "... lagu tersebut pertama kali dinyanyikan secara resmi pada saat Kongres Pemuda II tangal 28 Oktober 1928."

Membahas soal musiknya, maka secara eksplisit musik bisa digunakan menjadi media dalam berpolitik. Bisa menjadi propaganda atau hanya sekedar menjadin sarana sosialisasi. Ini terjadi di era Orde lama maupun Orde baru. Demi semangat nasionalis, pemerintahan Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno melarang perkembangan musik kebarat-baratan. 

Larangan ini di ucapkan pada Pidato Manipol-USDEK tahun 1959. Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk imperialisme budaya, sama halnya dengan imperialisme ekonomi dan politik. Maka celakalah, Koes Plus adalah salah satu korban kebijakan politik saat itu hingga mereka masuk bui.

Sedangkan di era Orde Baru, Soeharto menggunakan musik sebagai pendongkrak suara di berbagai pemilu yang diselenggarakan. Melalui perekrutan musisi yang sedang populer saat itu untuk berkampanye di panggung hiburan, kubu parpol Soeharto berhasil menarik simpati masyarakat dengan mudah. 

Musik menjadi sarana untuk sosialisasi misi-misi parpol dan yelyel jargon yang menggugah simpatisan untuk yakin terhadapnya. Seperti Titiek Puspa pada Golkar dan Rhoma Irama pada PPP, mereka menggunakan proses kreatif musikalnya untuk membuat lagu kampanye, atau memlintir lirik-lirik lagu populer menjadi ajakan berkampanye.

Melihat kekuatannya sebagai media yang efektif untuk berpolitik, musik sudah menjadi alternatif andalan. Musik bisa memprovokasi gerakan massa, bahkan menjadi kebijakan politis praktis. Namun jika musisinya yang ingin menjadi bagian dari dunia politik, entah itu anggota parlemen atau presiden, apakah perlu ?

Ditinjau dari urgensinya, sebenarnya musisi yang antri menjadi calon legislatif perlu dipertanyakan kembali mengapa terbesit berkeinginan untuk berpolitik. Apakah keinginan mereka untuk menjadi wakil rakyat karena ingin mengubah nasib hidupnya sendiri ataukah benar-benar ingin mewakili suara rakyat dihadapan anggota peramu kebijakan pemerintah? 

Dikarenakan, dunia politik mempunyai power untuk membuka jalan bagi partisipannya yang ingin membuat kebijakan-kebijakan subjektif dalam lingkup daerah hingga nasional. Seperti contoh Anang Hermansyah yang pada tahun 2014 terpilih menjadi anggota DPR. Menjelang akhir masa kerjanya, beliau ingin memantapkan usulan RUU Permusikan demi ekosistem musik yang lebih sejahtera. Namun gayung tak bersambut, ternyata banyak penolakan di golongan musisinya sendiri. Akhirnya Draft RUU Permusikan dibatalkan dikarenakan urgensi pengaturannya belum diperlukan.

Lalu apakah berpolitik adalah jalan satu-satunya?

Yang perlu ditekankan adalah benarkah ketrampilan dan kompetensi mereka para calon politikus dari dunia musik sudah mumpuni untuk menjadi wakil rakyat ? Beda kasus jika calon politikus sudah mempunyai skill berpolitik dan rekam jejak yang sudah teruji. Dia sudah menguasai dan paham apa yang seharusnya dilakukan sebagai wakil rakyat dan tidak menambah jumlah kuota politikus yang tidak becus. 

Teringat pesan Syafii Maarif, "Jangan jadi Poltikus sebelum mampu dan cukup dalam urusan keuangan dan jangan jadikan panggung politik itu untuk mengais Rejeki." Pesan ini sebenarnya sangat menyentil bagi calon-calon politikus yang menganggap dunia politik hanya soal mengais rejeki yang berlimpah. Jangan -- jangan mereka yang beralih dari dunia musik ke politik karena melihat adanya lahan yang lebih "basah" dalam mencari uang ?

Saya pikir terjun berpolitik bukan jalan satu-satunya untuk meningkatkan kesejahteraan golongannya. Banyak dari pegiat musik baik yang sudah mapan atau masih merintis, mereka tidak kehilangan semangatnya untuk berkarya yang nyata. 

Tanpa maju menjadi caleg atau timses, mereka sudah melakukan kolaborasi antar komunitas dan mereduksi sistem industrinya sendiri agar operasional tetap jalan. Mereka sudah menemukan cara dan metodenya sendiri tanpa menggantungkan kebijakan pemerintahan. Mereka sudah berdikari tanpa menunggu di perhatikan oleh Komisi X atau Badan Ekonomi Kreatif yang negara ini sudah punyai.

Namun janganlah berburuk sangka dulu. Indonesia sebenarnya sedang dalam krisis kejujuran. Indeks korupsi masih terbilang tinggi dan memprihatinkan. Siapa tahu dengan jiwa musisi yang transparan dalam hal interpretasi bisa menjadi teladan sosok politikus yang bersih. 

Sementara itu profesi musik juga mungkin bisa ditingkatkan lagi baik kesejahteraannya. Mungkin mereka melihat Indonesia butuh perannya di jalur politik. Mungkin juga mereka ingin mensejahterakan rakyat kecil yang suara-suaranya terbungkam, dan harus di gamblangkan ke telinga pemerintah agar mendengarnya.

Memilih adalah hak sebagai rakyat untuk bersuara. Biarkan mereka para musisi yang menjadi simpatisan salah satu paslon / parpol menunjukan fanatismenya. Biarkan mereka mengajak rakyat untuk memilih kritera pemimpin yang paling baik versi mereka. 

Bahkan mungkin keputusan untuk memihak lebih mulia daripada keputusan untuk tidak berpartisipasi. Yang disayangkan adalah ketika mereka hilang arah dalam istiqomahnya menggeluti musik. "Apa artinya dunia yang bisa ku genggam bila tak ada cinta darimu untukku" Marilah kita pilah sendiri, manakah wakil rakyat yang kelak benar-benar memperjuangkan atau hanya ingin merubah nasibnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun