Belakangan masyarakat seperti terbelah menanggapi pelarangan transaksi elektronik di Tiktok. Aktivitas ini dituding menjadi biang kerok sepinya sejumlah pusat grosir seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Asemka. Namun belakangan pemerintah justru menyatakan akan membantu Tiktok menyelesaikan perijinan marketplace mereka.
Artinya jelas, bukan Tiktok Shop yang dilarang oleh pemerintah. Hanya mereka harus memisahkan antara aplikasi media sosial dan marketplace karena ijinnya berbeda. Tiktok mengantungi ijin sebagai media sosial, sedangkan Tiktok Shop seharusnya menggunakan ijin marketplace.
Jika nantinya Tiktok sudah memiliki ijin keduanya, mereka harus beroperasi dengan dua aplikasi terpisah. Promosinya bisa melalui Tiktok seperti yang terjadi saat ini. Kemudian diarahkan ke aplikasi Tiktok Shop jika ingin melakukan transaksi.
Anehnya aturan ini hanya berlaku untuk aplikasi media sosial yang punya fitur perdagangan digital. Sebaliknya marketplace yang punya fitur media sosial justru masih bebas melenggang. Mereka hanya diminta memperketat perdagangan lintas negara.
Kemungkinan di awal pemerintah melakukan pengambilan keputusan yang tergesa-gesa. Hasilnya mereka setuju dengan pedagang di Pasar Tanah Abang yang ingin Tiktok Shop dilarang. Tetapi kemudian mereka sadar kalau masalah utamanya bukan itu. Ada hal lain yang membuat pusat belanja terbesar di Asia tersebut sepi pengunjung.
Sejak awal saya pribadi juga sudah tidak setuju Tiktok Shop dilarang. Selama ini banyak sekali akun media sosial yang sekaligus dipakai berjualan aneka produk. Apa salahnya sekalian memfasilitasi mereka bertransaksi di platform yang sama?
Orang yang di posisi kalah cenderung menyalahkan pihak lain atas kekalahannya. Saya pernah mencoba berjualan online dan gagal bertahan. Kompetisi tidak sehat juga menjadi faktor utama yang saya jadikan kambing hitam.
Tetapi saya sadar, ada orang-orang tertentu yang berhasil di platform tersebut. Artinya ada cara yang orang itu lakukan lebih baik dari saya. Tugas saya adalah belajar dari orang itu, bukan menyalahkan kompetisinya, apalagi meminta platformnya dibubarkan.
Toh orang seperti saya juga perlu pusat grosir untuk membeli barang yang akan dijual di marketplace. Pangsa pasar pusat grosir adalah peritel, bukan end-user seperti pasar yang diincar marketplace. Artinya melarang penjualan digital justru akan menimbulkan masalah baru lagi di kemudian hari.
Musuh utamanya adalah produk impor yang membanjiri pasar Indonesia. Produk tersebut tidak terserap pasar internasional sehingga dijual murah. Kebetulan warga Indonesia doyan produk sisa ekspor China ini sehingga permintaannya membludak.