Pendahuluan
Raden Ngabehi Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa abad ke-19, terkenal dengan karya-karyanya yang menggambarkan pandangan mendalam mengenai zaman dan nilai-nilai kehidupan. Puisi-puisi Jawa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga istana Kasunanan Surakarta, memberikan gambaran filosofis dan reflektif mengenai zaman dan masa depan masyarakat Jawa. Karya-karya terkenal seperti Serat Kalatidha, Serat Kalabendhu, dan Serat Kalasuba dianggap sebagai ramalan yang mencerminkan masa transisi dalam masyarakat Jawa. Ketiga serat ini merujuk pada zaman-zaman tertentu yang dipenuhi oleh berbagai krisis, tantangan, dan perubahan. Fenomena korupsi yang telah merajalela di Indonesia sering kali dikaitkan dengan ramalan Ranggawarsita tentang "zaman edan", atau masa yang penuh dengan kebingungan moral dan etika. Ranggawarsita melalui karya-karyanya menggambarkan krisis moral dan sosial yang berulang di tiap generasi, sekaligus menawarkan pelajaran bagi kita saat ini. Ia mencatat bahwa setiap masa memiliki tantangannya sendiri---Kalasuba melambangkan masa keemasan dan harmoni; Katatidha sebagai era ketidakpastian moral; dan Kalabendhu sebagai zaman puncak kerusakan nilai, di mana keserakahan dan ketidakadilan merajalela. Di era inilah korupsi mencerminkan puncak dari "zaman edan" yang penuh kebingungan etika dan penyimpangan nilai.
Fenomena korupsi di Indonesia seolah menggambarkan suasana Katatidha dan Kalabendhu, saat nilai-nilai moral tergeser oleh kepentingan pribadi. Dengan pendekatan yang digagas Ranggawarsita, masyarakat tidak hanya diajak untuk melawan korupsi melalui tindakan hukum, tetapi juga melalui pembaruan moral dan pendidikan nilai yang kuat. Menghidupkan kembali budaya integritas dan kejujuran yang digambarkan di Kalasuba dianggap mampu membawa masyarakat menuju perubahan dan kebangkitan moral.
Melalui penerapan nilai-nilai luhur, pendidikan etika, dan kepemimpinan yang berintegritas, Indonesia diharapkan bisa melepaskan diri dari lingkaran krisis moral ini dan mencapai era yang lebih baik---sebuah "Kalasuba" modern di mana kepentingan bersama dan kebaikan menjadi landasan utama masyarakat.
Apa Makna Tiga Era dalam Serat Ranggawarsita?
1. Kalasuba (Masa Keemasan)Â
Kalasuba adalah era ketika kebaikan dan kemakmuran berlimpah. Orang-orang hidup dengan penuh kebahagiaan, harmoni, dan kehormatan. Masyarakat di era ini memiliki tatanan moral yang tinggi, dan hubungan sosial terjalin dengan harmonis. Ranggawarsita melihat Kalasuba sebagai masa keemasan, ketika orang-orang hidup selaras dengan alam dan ajaran agama.
 2. Katatidha (Masa Ketidakpastian)
Era ini digambarkan sebagai masa yang penuh ketidakpastian. Kata katatidha berarti samar atau kabur, menandakan bahwa dalam era ini, masyarakat mulai kehilangan arah, kepercayaan, dan kestabilan. Nilai-nilai moral dan spiritual mulai luntur, sedangkan kebingungan dan keragu-raguan mengambil alih. Di zaman ini, banyak orang mengalami kesulitan dalam menilai mana yang benar dan mana yang salah, yang kemudian menjadi ciri khas "zaman edan".
3. Kalabendhu (Masa Kegelapan)Â
Kalabendhu merupakan era terakhir, di mana keburukan, kerusakan, dan kebodohan mencapai puncaknya. Di era ini, Ranggawarsita menggambarkan masyarakat yang semakin terjerumus dalam krisis moral dan kehancuran, di mana hukum dan keadilan kerap dilanggar, dan keserakahan menguasai banyak orang. Korupsi, penindasan, dan konflik internal menjadi tanda dari era ini. Ranggawarsita memandang era ini sebagai masa gelap sebelum datangnya masa pembaruan.
Mengapa Fenomena Korupsi Dianggap Sebagai Manifestasi dari Zaman Katatidha dan Kalabendhu?
Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah struktural yang mencakup berbagai sektor, baik di pemerintah, birokrasi, hingga sektor swasta. Fenomena ini sering dianggap sebagai bentuk nyata dari apa yang diramalkan Ranggawarsita dalam Serat Katatidha dan Serat Kalabendhu. Beberapa alasan mengapa korupsi dianggap mencerminkan kedua era ini antara lain:
1. Kehilangan Nilai Moral dan EtikaÂ
 Ranggawarsita dalam Serat Katatidha mengisyaratkan bahwa ketika masyarakat mulai kehilangan nilai-nilai moral, ketamakan dan keserakahan muncul menggantikan norma etika. Korupsi adalah hasil langsung dari hilangnya rasa malu dan prinsip moral di antara mereka yang memegang kekuasaan.
2. Budaya Permisif terhadap Ketidakadilan
Dalam era Kalabendhu, masyarakat mulai terbiasa dengan keburukan yang berakar kuat. Keserakahan dan ketidakpedulian sosial menjadi hal biasa, dan korupsi dianggap sebagai hal yang dapat diterima atau "normal." Ketika korupsi menyebar di berbagai institusi, masyarakat menjadi terbiasa dengan ketidakadilan dan sulit membedakan antara etika dan pelanggaran hukum.