Mohon tunggu...
andrianous
andrianous Mohon Tunggu... -

pengembara di gurun kehidupan, memulung kata yang berserakan di pinggir jalan, ingin menjadi 'seseorang' yang punya sayap, namun tetap memakai sendal jepit untuk berdiri di atas tanah sendiri. semper ridens.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kota Karang (Dempel)

10 Januari 2019   00:22 Diperbarui: 10 Januari 2019   00:32 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


~asal omong Resh Romerosebelum viralnya transaksi 80 juta yang melibatkan bunga (bukan nama sebenarnya) dimainkan dari Kota Pahlawan, persoalan prostitusi sudah menjadi buah bibir di kota Karang.

hampir selama lebih dari dua bulan, keputusan menutup KD, lokalisasi tebesar dan tertua oleh pemerintah kota menuai polemik dan kontroversi.

(saya sebut) lokalisasi, yang menurut pemerintah kota hanya berijin penginapan itu diproyekkan untuk ditutup pada 1 Januari 2019 sebagai (mungkin pikiran saya) sebuah kado natal untuk warga kupang (yang ingin diatur moralnya oleh pemerintah?).

di tengah kontroversi dan riak penolakan, toh proyek penutupan KD oleh pak Wal tetap dilakukan. 1 Januari 2019, Pemkot memasang plang yang bertulis Surat Keputusan Walikota tentang penutupan 'lahan bisnis lendir' di areal parkir antara komplek wisma sederhana dan wisma bukit, lokalisasi itu.

Meski dalam beberapa kesempatan "duduk semeja" yang bersifat formal antara Pemkot dan pekerja lokalisasi maupun kesempatan informal sebelumnya, para perempuan yang rata rata kelahiran pulau Jawa itu meminta pertimbangan dan penundaan, toh Pemkot tidak bergeming. administrator warga itu bahkan mengumumkan secara spektakuler bahwa lokalisasi itu harus ditutup pada hari pertama 2019 apapun resistensinya.

Sempat terekam beberapa dasar yang digunakan Pemkot sebagai alibi proyek pengebirian kebutuhan sosial masyarakat itu.

Misalnya, Pemkot menggunakan senjata "instruksi nasional" kementerian sosial untuk menutup lokalisasi. Padahal, menurut 'orang kementerian', tidak ada instruksi soal itu, yang ada hanyalah berupa himbauan yang keputusannya tentu merupakan wewenang daerah.

Selain itu, juga sempat terekam alasan penutupan lokalisasi ditujukan untuk menata daerah, termasuk mengurangi potensi penyebaran pms dan HIV-AIDS. toh kenyataannya, para pekerja malam di KD selalu berada dalam kontrol dinas kesehatan-KPA-LSM peduli Aids yang melaksanakan pemeriksaan rutin untuk pencegahan dan penanganan AIDS.

Ya, mereka relatif terproteksi jika dibanding dengan rekan seprofesi mereka yang bergerak terselubung baik online maupun berpraktik di kost-kostan bebas.

Lalu, ketika secara de jure proyek ini dipaksa untuk dieksekusi, nyatanya secara de fakto pemerintah memberi kebijakan untuk tetap beroperasi hingga pesangon yang dijanjikan terealisasi.

Ya, menurut pekerja, mereka diberi keluasan untuk "membuka praktek" hingga 5,5 juta yang dijanjikan pemerintah beserta tiket pemulangan mereka pegang.  Semacam topeng monyet, ini sungguh tontonan yang konyol.

Banyak orang heran, termasuk wakil rakyat yang mempertanyakan, "apa sesungguhnya target dari pak Wal hingga harus terburu buru dan terlihat memaksakan diri untuk menutup lokalisasi segala kelas itu?".

Padahal kalau mau jujur, terpampang secara telanjang proyek ini merupakan proyek prematur yang berasa instant, dibuat tanpa perencanaan matang, tambahan seolah memotong proses dan memotong kompas. Contoh sederhananya, setelah SK diteken, uang kompensasi tidak jelas raganya, akhirnya dari pengakuan perempuan pekerja, mereka dibolehkan mencari uang makan selama belum mendapat pesangon. Itu gila kan?

Ya, selain itu, ada lagi yang membuat miris. Seolah merupakan pesakitan, perempuan perempuan itu diteror secara represif dengan ancaman mengantar hingga pintu rumah. Sangat menggelikan, seolah pemerintah bertugas mengurusi rumah tangga perempuan perempuan itu, mereka. Ada yang takut dan malu, memilih jalan lain dan mengorbankan hak yang dijanjikan Pemerintah dengan tidak menunggu pesangon.

Tetapi lebih dari itu, ada hal yang membuat saya sedih. perempuan perempuan itu, yang sah merupakan warga negara dan warga kota (terdaftar dan memiliki KTP) seolah mau diusir dan dideportasi pemerintah. Dipaksa untuk pergi dari tempat yang sah dan yang mereka pilih untuk tinggali. Bagi saya yang dangkal, itu sebuah kejahatan kemanusiaan seperti halnya Holocaust.

Bukannya membela dan mendukung prostitusi, saya hanya berpikir seharusnya pemerintah jernih melihat persoalan dan menempatkan mereka setara sebagai manusia. Buat perencanaan matang dengan segala tahapannya yang benar, pastikan  kemanusiaan dan hak mereka dihormati dan dilindungi, dengan tidak "membola" mereka.

Apapun keputusannya, banyak orang (pengamat) menilai, proyek ini bukannya meniadakan, malah akan menimbulkan banyak masalah baru termasuk meningkatnya AIDS dan kriminalitas berbentuk kejahatan seksual, serta mode operandi prostitusi baru yang tidak dapat dikontrol.

Tapi ah, ya sudahlah, saya juga penasaran ingin melihat video seharga 80 juta itu. Salam ke gedung walikota saja...

~RR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun