Pada abad ke-19, menyekolahkan anak perempuan dianggap hal yang aneh dan radikal. Kartini beruntung pada saat itu masih bisa bersekolah di sekolah Belanda lokal berkat 'previlage' ayahnya yang seorang bangsawan ningrat sekaligus sebagai Bupati Jepara dan ibunya yang berasal dari keluarga ulama. Ia dibebaskan bersekolah hingga usia 12 tahun. Namun, setelahnya ia harus kembali menjalankan kodratnya sebagai perempuan bangsawan, ia tidak boleh pergi kemana-mana atau dipingit, tidak boleh meneruskan pendidikannya.
Pada saat itu, kartini merasa sangat ditentang oleh adat istiadat jawa yang menanggap bahwa perempuan tidak sebanding dengan laki-laki baik dalam pergaulan, pendidikan, maupun cita-cita. Ia tidak bangga dengan gelar kebangsawanannya, dia tidak suka dipanggil raden ayu. Kartini menganggap gelar tersebut tidak lagi istimewa karena melihat sudah banyak perempuan yang dipanggil Raden Ayu sebagaimana dirinya.Â
Kartini lantas mempelajari arti dibalik nama tersebut, sehingga suatu hari ia menyadari bahwa status kebangsawanannya dengan gelar Raden Ayu tidak ada yang bisa dibanggakan, ia bahkan lebih senang dipanggil dengan sebutan kartini saja. Atas dasar pemikirannya yang 'out of the box' ini, Kartini berhasil mematahkan satu demi satu adat istiadat yang berlaku pada saat itu.
Kartini mendobrak tatanan hidup yang sangat tertinggal dengan membiarkan adik-adiknya tidak melakukan aturan-aturan adat Jawa, tidak menggunakan Bahasa krama dan jalan jongkok ketika lewat dihadapannya.Â
Kartini tidak selalu terlihat seperti di foto yang terpampang di buku sejarah yang kita kenali begitu pula dengan tindak-tanduknya, ia adalah perempuan yang pecicilan, pemberontak, tidak patuh, lincah, berpadangan luas, pandai, suka bercanda bahkan kalua tertawa terbahak-bahak. Sifat kartini yang seperti itu berujung pada dirinya yang dijuluki kuda pore atau kuda liar oleh keluarganya. Kartini yakin bahwa semua adat itu tidak semua perlu dilakukan.
Berdasarkan perilaku tersebut apakah kartini masih bisa disebut sebagai contoh yang baik? Tentu saja ada sisi baik dan tidaknya. Kalau saja pada saat itu kartini tidak meminta pada adik-adiknya untuk tidak berbahasa krama lagi mungkin saat ini perempuan Jawa masih fasih berbahasa krama untuk menghormati orang dewasa.Â
Akan tetapi Kalau saja pada saat itu kartini tidak meminta suaminya saat dilamar untuk  tidak ada proses jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki pria dan gestur-gestur lain yang melambangkan ketidaksetaraan. Mungkin, saat ini perempuan akan tetap dianggap rendah oleh para laki-laki. Jadi hal-hal yang dilakukan oleh kartini pada saat itu bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Dalam bukunya "Pendidikan kaum tertindas" Paulo Freire menjelaskan bahwa rendah diri adalah sikap utama yang membuat kaum tertindas semakin tenggelam dalam kubangan penindasan. Dalam pandangan kaum tertindas, mereka menganggap dirinya sebagai "benda" yang artinya dimiliki oleh kaum penindas. Mereka seringkali mendengarkan bahwa mereka sebenarnya tidak berguna, tidak tahu apapun, malas dan tidak produktif yang akhirnya menjadikan mereka benar-benar percaya akan ketidakberdayaannya. Hampir tidak pernah mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya mengetahui sesuatu. Di sinilah kartini mencoba untuk membebaskan diri dari kaum tertindas menjadi kaum yang merdeka.
"Hanya kekuatan yang muncul dari kelemahan kaum tertindas yang cukup kuat untuk membebaskan keduanya" (Freire, 2000, hlm. 44). Oleh karena itu, kaum tertindas perlu berjuang sendiri untuk mendapatkan kebebasan, dan kebebasan diperoleh dengan penaklukan, bukan dengan hadiah. Alih-alih menyalahkan para penindas, Freire meletakkan beban perubahan pada kaum tertindas; itu adalah tanggung jawab tertindas untuk membebaskan diri dari penindasan. Perspektifnya adalah menempatkan kekuatan perubahan pada mayoritas, seperti pada kaum tertindas.
Tekad dan komitmen Kartini dalam dunia Pendidikan sebagai langkah perubahan dan bentuk kekuatan dari kaum tertindas ia tuangkan dalam suratnya kepada Stella "Bagi saya, hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya..."(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899).
Atau dalam suratnya kepada Prof. Anton dan Nyoman pada 4 Oktober 1902: "Kami di sini memohon diusahakannya pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama," yang dikutip dari 'Celoteh RA Kartini: 232 Ujaran Bijak Sang Pejuang Emansipasi' oleh Ahmad Nurcholish (2018). Â Semua kartini lakukan demi memperoleh kesetaraan Pendidikan bagi kaum perempuan. Karena sikapnya ini, Kartini berhasil membebaskan diri dan wanita dari jerat kaum tertindas.