Kumpulan pejuang hak asasi, pegiat demokrasi, advokat, organisatoris perguruan tinggi, budayawan, jurnalis, cendikiawan, pengajar, dan lain-lain mendirikan lembaga pemantau pemilu pertama di Indonesia dengan nama Komite Independen Pemantau Pemilu yang disingkat KIPP Indonesia.Â
Pada masa itu, bertepatan 15 Maret 1996, mereka mendeklarasikan organisasi KIPP Indonesia. Ketua umum pertama KIPP adalah budayawan yang terkenal dengan catatan pinggir di majalah tempo, Goenawan Mohamad.
Akan tetapi, perjuangan multikultur dan corak pelangi membuat perubahan organisasi KIPP. Salah satu Majelis Nasional KIPP Indonesia Standarkiaa Latief menuturkan, Goenawan Mohamad hanya beberapa bulan memimpin KIPP.Â
Setalah terjadi perubahan organisasi, KIPP Indonesia tidak mengenal ketua umum. Hal ini juga mencatat sejarah Goenawan Mohamad sebagai ketua umum pertama dan terakhir KIPP Indonesia.Â
Sejak itu, nakhoda KIPP Indonesia adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) sebagai perwujudan KIPP Indonesia seolah Persatuan Bangsa-Bangsa. Sehingga, seluruh keterwakilan pendiri cukup difasilitasi oleh seorang sekjen.
Sekjen pertama KIPP Indonesia adalah Mulyana Wira Kusumah. Kemudian secara berturut dilanjutkan oleh Ray Rangkuti, Muhtar Sindang, dan Kaka Suminta. Meskipun sudah 24 tahun, kepemimpinan KIPP hanya dipimpin oleh lima orang, yakni satu ketua umum dan empat sekjen. Sedangkan organisasi untuk tingkat wilayah (provinsi) dan daerah (kabupaten/kota) mengizinkan posisi ketua umum dan sekretaris.
Penguatan Partisipasi Publik
Pada masa orde baru, kekuatan pemerintah menguasai dan berlimpah. Tiada kekuatan pembanding untuk mengimbangi government power. Dilain sisi, pemerintahan itu terbentuk oleh pemilihan umum yang dilaksanakan secara konstitusional rasa penguasa.Â
Pemilu, ruang pergantian kekuasaan periodik menjadi monopoli gerbong orde baru. Jadi, silahkan pemilu, pemenangnya tetap saja beringin tua dengan sang pemilik tunggal yang sekarang terkenal bersama kalimat 'enak jaman ku toh'.
Oleh sebab itu, penggiat ham dan demokrasi bersatu untuk memurnikan pemilu. Karena, pemilu lah cara benar untuk mengganti orde baru. Selain itu, pemilu mendapatkan angin segar dengan munculnya kesadaran publik internasional.Â
Bahwa, pemilu yang baik adalah pemilu yang partisipatif. Atau dengan kata lain, pemilu yang diawasi dan dipantau oleh pemilih. Sehingga, pemilih bukan hanya penerima hasil pemilu.
 Pemilih bukan cuma robot yang sudah pasti mencoblos warna dan gampar apa. Tetapi, pemilih adalah penanya visi misi calon, kritis saat kampanye, pelapor ketika terjadi kecurangan, dan hakim yang menghukum politisi buruk dengan cara memilih politisi baik di ruang pencoblosan.
Atas dasar ini, pejuang demokrasi awal membentuk organisasi pemantauan pemilu pertama di Indonesia, yakni KIPP Indonesia. Selain untuk memutus masa kepemimpinan orde baru secara konstitusional dan demokratis. KIPP Indonesia juga berjuang untuk mendidik pemilih. Agar pemilih bisa menentukan sendiri pilihannya dengan pengetahuan yang dimiliki.Â
Seketika itu, KIPP Indonesia langsung mendapatkan 'cap' kiri. Padahal, kiri-kanan lah yang bersatu untuk bergandengan tangan melawan otoritarian orde baru.
Tujuan pemantauan publik adalah menjamin seluruh proses pemilu berjalan atas dasar hukum yang menuju keadilan. Setiap pihak terpenuhi hak asasinya. Seluruh stakeholder aktif dan memperoleh informasi.
 Sehingga, hasil pemilu menjadi eksekutif dan legislatif yang berusaha memenuhi janji kampanye untuk memakmurkan rakyat. Dengan demikian, otoritarian terkikis habis. Lalu, demokrasi hadir membawa kebebasan, kesetaraan, dan keseimbangan kekuatan penguasa dan masyarakat sipil.
Peniadaan Pemantau Pemilu
Sekarang, setelah 20 tahun paska reformasi. Sudah lima kali pemilu dilaksanakan dengan label demokratis. Namun, mimpi keseimbangan kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil masih jauh panggang dari api.Â
Bukan hanya itu, masyarakat sipil juga kehilangan basis massa mandiri dan independen. 20 tahun menjadi sia-sia atau hambar. Penggiat ham dan demokrasi telah ditinggal dengan cara halus. Standarisasi legalitas dan kekuatan dana menggerus semangat pengawalan demokrasi prosedural.
Pemantau pemilu se-nusantara mulai menghembuskan nafas terakhir. Satu demi satu hilang ditelan jabatan, posisi, kekuasaan, atau memang keletihan perjuangan. Sehingga, jumlah pemantau setiap periodik pemilu berkurang.Â
Alasan pembenar atas nama kemandirian, kreatifitas, dan produk pemantauan menjadi bumbu penyedap terputusnya regenerasi Nasional pemantau pemilu. Bukan hanya itu, pemantau pemilu bahkan sulit mendapatkan posisi pasti diantara penyelenggara pemilu.
Dengan kurangnya pengetahuan dan jejaring serta mandeknya komunikasi, pemantau pemilu di daerah dianggap "tidak ada" oleh banyak pihak. Paling-paling, pemantau pemilu lokal di-hadir-kan dalam list pemantau terdaftar dan pengisi absensi kegiatan sosialisasi.Â
Lepas dari itu, kemandirian yang diterjang oleh digdaya tim kampanye turut membantu penguburan pemantau pemilu. Loyalitas dan komitmen politik diberi panggung untuk menari-nari, sejak pra pemilu sampai hasil pemilihan memimpin pemerintahan.
Belum lagi isu digitalisasi pemilu yang membawa arus teknologi. Perkembangan teknologi informasi yang memudahkan teknis pengawasan dan pemantauan mencapai titik tertinggi.Â
Dalih masyarakat aktif dengan modal smartphone dianggap menjadi solusi partisipasi masyarakat dalam pemilu. Toh, masyarakat mampu membaca rekam jejak calon secara daring. Masyarakat bisa melapor melalui aplikasi. Lalu, untuk apa lagi pemantau pemilu tetap ada?
Sehingga, pemilik aplikasi sukses dalam hal mendidik dan melatih masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan kepemiluan. Masyarakat tidak harus menjadi "pemantau" untuk mengawasi dan memantau pemilu. Selain itu, pemerintah juga terkesan buta dan tuli terhadap organisasi masyarakat sipil.Â
Pilihan 'kehadiran negara' untuk Partisipasi Publik berjalan di jalur Tim Tank yang lebih efektif dan efisien. Akademisi-akademisi pun tidak sanggup mengarahkan mahasiswanya untuk mengamalkan tri darma perguruan tinggi, yakni pengabdian dalam konteks menjadi 'aktivis pemantau pemilu'.
Tua Disaat Muda
Kembali ke KIPP Indonesia yang berdiri pada tanggal 15 Maret 1996. Itu berarti, KIPP Indonesia telah berumur 24 tahun. Selama itu, KIPP Indonesia masih memantau pra, saat, dan paska pemilu.Â
Bukan hanya memantau pemilu, KIPP Indonesia masih berjuang dalam memurnikan makna Partisipasi Publik yaitu hadirnya kekuatan masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuatan organ politik, penyelenggara pemilu, juga pemerintah.
Meskipun jumlah Pemantau secara kasat mata, jelas berkurang. Namun, keberadaan KIPP Indonesia masih terang-benderang setiap proses pemilu. Bukan hanya memantau pemilu Indonesia.
KIPP Indonesia juga berusaha sekuat tenaga untuk ikut berpartisipasi memantau Pemilu di berbagai negara. Dengan konsep kerja bersama-sama, KIPP Indonesia menjadi catatan sejarah yang membuktikan pemilu demokratis itu berjalan sesuai syarat dipantau oleh pemantau pemilu.
Namun, KIPP Indonesia yang berumur 24 tahun sudah menua sebelum waktunya. Usia 24 tahun adalah usia produktif manusia. Akan tetapi, usia 24 tahun bagi organisasi Pemantau adalah usia tua yang dipaksa oleh keadaan dan situasi.Â
Entah sampai kapan Partisipasi Publik berjenis kelamin Pemantau Pemilu tetap ada. Satu hal yang pasti, status pemantau pemilu adalah ceklist keterpenuhan syarat pemilu demokratis.Â
Sekarang, KIPP Indonesia menunggu para sepuh turun gunung. Tidak harus kembali mengambil status pekerja pemantauan pemilu. Cukup kembali menyuarakan secara nasional tentang arti penting pemantau pemilu.
Gerakan Baru
Oleh sebab itu, pemantau pemilu harus berbenah diri. Keterbatasan sumber daya, baik keanggotaan dan pendanaan dijadikan bahan mentah untuk produksi kegiatan pemantauan pemilu.Â
Pemikiran tetap ada dalam setiap kegiatan Pemilu tetap penting. Tetapi, pemantau juga harus memanfaatkan teknologi minimal yang tersedia untuk mengimbangi kemajuan teknologi informasi versi pemerintah, Penyelenggara, organ politik, serta tim tank lainnya.
Cara kedua, pemantau pemilu kekinian tetap harus menguasai obrolan massa, baik official juga online. Dua dunia, Maya dan nyata adalah ruang yang patut dijaga untuk membentuk narasi positif Partisipasi Publik.Â
Karena dunia maya dan nyata memiliki peran yang sama dalam situasi kebatinan nasional saat ini. Sehingga, obrolan politik cerdas dan pemilu demokratis harus mengikuti perkembangan media sosial.
Ketiga, pendaan Internasional yang telah menjauh dari organisasi massa pemantau pemilu bukan lah yang utama dalam semangat kemandirian. Konsep Personal Sosial Responsibilities bisa dijadikan konsep pembaharuan pendanaan dalam mengawal demokrasi.Â
Tugas pentingnya, laporan kegiatan dan keterbukaan informasi, termasuk pendanaan, diharapkan mampu mengetuk pemilih-pemilih 'kaya' untuk ikut berpartisipasi mendukung pemantauan Pemilu. Karena, pemilih kaya berada pada posisi mengharapkan pemilu demokratis dalam kepentingan menjaga stabilitas keuangannya.
Keempat, konsep pengabdian mahasiswa perlu diarahkan untuk menjadi bagian dari pemilu demokratis. Mahasiswa bisa ikut serta dalam pemerintahan dengan mengambil posisi Penyelenggara adhoc. Atau, dosen-dosen bisa menugaskan pengabdian berbasis pemantauan pemilu. Sehingga, darah muda, energik, serta kritis tersalur pada jalan kebaikan, yakni mengawasi dan memantau proses sampai kinerja produk pemilu.
Terakhir, semoga, kapan pun, dalam kondisi apapun, dan bagaimana pun, KIPP Indonesia dan organisasi masyarakat sipil lainnya tetap membasis dalam pemantauan Pemilu. Selamat ulang tahun KIPP Indonesia yang ke-24.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H