Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surat Kepada Jaringan

12 Maret 2019   08:12 Diperbarui: 12 Maret 2019   08:27 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah sebuah cerita. Dimana ada percakapan dari satu waktu ke waktu lainnya. Bagaimana pesan disampaikan dan disebutkan oleh beberapa orang. Pesan itu saling terhubung kepada orang lain. Penerima pesan yang mengetahui subtansi kisah pun bercerita lagi dan lagi dan lagi. Sehingga, semua hanya cerita yang mungkin sulit untuk disanpaikan secara terbuka.

Apakah itu semua adalah hal yang biasa saja? Ya, tidak ada paksaan atau intimidasi. Tidak perlu juga klarifikasi. Sepanjang semua itu memang ada kepentingan. Maka cukuplah pengetahuan untuk menambah pengalaman. Hidup itu bagaikan cerita yang semua bebas untuk berkisah. Apakah pesan sudah sampai tanpa ada kepastian?

Belum cukup seumur jagung waktu menunggu. Kabar berita tak kunjung memberitahu. Bahwa kamu, wahai diri, tiada yang membantu. Hanya harapan dengan janji-janji seperti yang dahulu. Apabila kita mengharapkan apa yang semu. Nyata lah catatan ketidakpastian dari para empu. Pemilik kisah tidak menyatu. Agar kamu menyadari minoritas dan merasakan diskriminasi yang utuh.

Sepanjang jalan kenangan yang terbentang di ingatan. Setiap memori telah terurai lebih jelas dalam kenyataan. Untuk apa lagi berkeluh kesah pada kehidupan. Karena memang hidup itu butuh perjuangan. Meskipun engkau hanya sendirian. Atau engkau ramai tapi kesepian. Tiada garantor dalam konflik kepentingan. Hanya manusia media sosial yang menerima panggilan.

Sering, cukup sering menerima bantuan. Acap kali terpaksa meminjam uang. Karena hidup dalam ketidakpastian. Atas nama perjuangan, engkau akan merasa pahitnya kehidupan. Sehingga tidak henti-henti berdoa meminta dukungan. Namun solusi belum jua datang. Padahal semua curahan hati telah disampaikan. Entah kapan? Tiada yang menghampiri pencari suaka harian.

Pada suatu ketika, terpaksa memilih sebuah pilihan. Dimana banyak badan yang harus diselamatkan. Pragmatis? jangan buru-buru memberi hukuman. Realis? Belum tentu juga kawan. Cerita ini hanya lah satu catatan. Atas badan diri yang terus menerus meminta uluran tangan. Entah sampai kapan?

Sesungguhnya, kenyataan membawa jalan untuk pulang. Jikalaupun harus bertahan. Mungkin apa yang terpampang wajib diambil sebagai pegangan. Meskipun kotoran yang mengambang. Demi bertahan, karena semua hanya mimpi dan impian. Mulut dan tangan berujud lukisan. Indah memang, tapi ya hanya gambar yang memberi mata kesejukan.

Jangan lah engkau mengumbar bahwa tiada pertolongan. Karena bukan bantuan yang datang. Tapi hinaan, cacian, sindiran dan alat untuk mempertegas tiada harapan. Solusinya adalah pulang ke kampung halaman. Bercocok tanam dan ngopi seharian. Melihat mereka dalam tontonan. Sembari mengelus dada dan berdoa untuk kebaikan semua jaringan. Ya, mungkin itulah jalan yang terbaik untukmu kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun