Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sengkarut Politik Hukum

30 Januari 2019   10:29 Diperbarui: 30 Januari 2019   10:31 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa organisasi/lembaga masyarakat sipil bersatu untuk membela Komisi Pemilihan Umum atas dugaan kriminalisasi pada hari Rabu, 30 Januari 2019 di KPU RI. Aksi tersebut berasal dari semangat bahwa Oesman Sapta Oedang atau OSO telah salah dengan melaporkan anggota KPU ke pihak kepolisian.

Alasan KPU tidak memasukkan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT) adalah mematahui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini cukup menarik, apakah KPU benar-benar patuh putusan penafsir konstitusi? Sebenarnya tidak patuh juga. Kita bisa mengingat bagaimana putusan MK soal calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi. Saat itu, KPU terkesan melawan putusan MK, MA dan Bawaslu sekaligus.

Dengan menelisik masalah tersebut, kata menjalankan putusan MK tidak bisa berdiri sendiri secara sepihak. Pada satu kasus, KPU menolak dan kasus lain menerima bulat-bulat putusan MK. Tentu saja, hal ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi publik. Bagaimana kita bisa mengukur tingkat kepatuhan orang-perorangan atau lembaga terhadap putusan MK?

Meskipun demikian, pada kasus OSO, dua penyelenggara pemilu tidak bisa berkutik. Karena, OSO sendirilah yang sebenarnya secara subtansi melakukan pewarnaan pada posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kita bahkan sudah banyak mengkritisi bahwa upaya kader partai politik menguasai DPD adalah bentuk pengebirian subtansi DPD. Sejatinya, OSO adalah wakil daerah bukan wakil partai apalagi pimpinan parpol.

Akan tetapi, OSO mampu melengserkan orang lain untuk meraih pucuk pimpinan DPD. Dia dilantik oleh perwakilan MA dan menjadi sah sebagai Ketua DPD. Disinilah masalah hukum yang terjadi. Saat kepentingan politik telah bersepakat. Maka, aturan teknis menjadi benda mati yang hany dimamfaatkan sesuai pihak-pihak yang bersepakat. Bukan cuma memimpin DPD, OSO pun merekrut anggota DPD menjadi pengurus Partai Hanura.

Sumber foto www.pixabay.com
Sumber foto www.pixabay.com
Kembali pada tahapan pemilu 2019, OSO yang sudah paham -seharusnya- bahwa dia wajib memilih antara memimpin Hanura atau menjadi anggota DPD mendaftar sebagai calon anggota DPD untuk periode 2019-2024. Namun, upaya pemurnian DPD berhasil dalam masa-masa pencalonan. MK menilai bahwa DPD adalah murni milik wakil daerah non partai.

Dampak putusan tersebut mengganggu pencalonan anggota partai politik sebagai calon anggota DPD pada pemilu 2019. OSO sebagai pihak yang merasa paling dirugikan menggunakan jalur hukum yang tersedia. Benarlah apa yang banyak di khawatirkan orang. Gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara berhasil dan menganulir Surat Keputusan KPU terkait calon anggota DPD.

Masalahnya, dalam rumpun hukum pemilu, putusan PTUN soal sengketa administasi bersifat final dan mengikat. Kata final dan mengikat ini sama dengan putusan MK yang juga final dan mengikat. Sehingga terjadi benturan putusan pengadilan, antara final mengikat MK dengan PTUN. Khusus masalah OSO, putusan MA mengartikan bahwa final mengikat putusan MK berlaku pada pemilu serentak 2024.

Akibat lain atas upaya OSO adalah mencari keadilan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dilema putusan pun berulang. Dalam konteks kepemiluan, maka putusan yang harus dilihat terlebih dahulu adalah putusan yang tersebut dalam Undang-Undang Pemilu. 

Oleh karena PTUN telah membatalkan SK KPU terkait daftar calon anggota DPD. Maka, Bawaslu pun memenuhi perintah PTUN. Karena memang SK itu sudah dibatalkan oleh PTUN, jadi Bawaslu hanya melanjutkan keputusan PTUN.

Masalah sengkarut hukum OSO memang sulit diterima akal sehat. Secara subtansi, bila ditujukan pada pribadi. Maka OSO lah yang melawan putusan MK. Bukan lembaga manapun, apalagi Bawaslu. 

Karena, putusan MK tersebut tidak menjadi rujukan bagi lembaga yudicial lainnya. Sehingga, kita sulit berdiri atas ketenangan hati dan pikiran saat benturan putusan hukum terjadi.

Apabila KPU tidak merubah SK dan terus mencetak surat suara calon anggota DPD. Sedangkan sengkarut hukum belum selesai. Ada potensi kerugian negara akibat pencetakan surat suara tersebut. 

Bisa saja penyelenggara pemilu berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena KPK tidak akan menutup mata, bila ada potensi kerugian negara terjadi.

Tentu saja, masalah akan lebih banyak lagi. Sehingga, bukan hanya soal kriminalisasi anggota KPU. Persoalan DPD bisa merambah ke kasus korupsi. Masalahnya, potensi persoalan hukum akan berlanjut. 

Maka bahaya bencana pemilu menjadi cukup wajar untuk dipertimbangkan semua pihak. Terlebih lagi, bila kepolisian tetap mengusut dan melakukan proses hukum pada anggota KPU. Mau kemana proses dan hasil pemilu 2019 ini?

Sumber foto kompas.com
Sumber foto kompas.com
OSO adalah salah satu warga negara Indonesia yang secara teknis melawan konstitusi dengan cara melalui proses hukum lain. Dengan demikian, putusan MK yang sudah jelas terang benderang pun untuk beberapa kali harus kehilangan marwah putusannya akibat prosedur hukum pemilu. Sehingga, sangat tepat bagi MK, MA, PTUN se-Indonesia, Bawaslu, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPU duduk bersama. Untuk mitigasi bencana pemilu akibat benturan hukum.

Setelah itu, melihat bahwa peran Presiden sangat kuat sebagai pimpinan politik koalisi parpol penguasa. Sekaligus kemampuannya untuk menyelesaikan masalah kisruh pemilu akibat benturan putusan lembaga peradilan. 

Presiden bisa meminta OSO untuk menarik laporan di kepolisian dan fokus mengurus Hanura dengan alasan menjaga potensi keterwakilan di DPR. Karena hanya Presiden lah yang bisa menenangkan perjuangan mati-matian gaya OSO untuk mencalon sebagai calon anggota DPD.

Langkah lain adalah intervensi massa kepada lembaga penegak hukum dan pemilik kuasa yudikatif. Agar polisi mengkaji ulang laporan OSO dengan alasan bahwa kebijakan berbeda dua penyelenggara pemilu berawal dari kekosongan hukum karena perbedaan perintah putusan peradilan. 

Seandainya kekuatan massa tidak mampu menyerupai banyaknya anggota aksi dan reuni 212. Presiden bisa mengintervensi untuk mencegah dilema penyelenggaraan pemilu.

Apapun yang terjadi, kita harus belajar dari kasus pencalonan anggota DPD dan kasus lainnya. Bahwa ada masalah ketika aktor-aktor politik bersepakat yang melahirkan produk hukum (pemilu) telah terbukti gagal dalam agenda memperjelas ketatanegaraan yang demokratis, kepastian hukum dan pemilu yang berintegritas.

Terakhir, kita berharap agar OSO tidak melanjutkan perjuangan personal. Fokus mengupayakan Hanura menjadi The Big Four hasil pemilu 2019. Dan kita semua fokus pada pendidikan politik pemilih. Jangan ajarkan pemilih, terutama nitizen, untuk belajar berpikir salah apalagi menggunakan jalur yang ada untuk mengadu lembaga dengan lembaga lainnya atas dasar kepentingan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun