Â
"Kesan publik luas seperti menyaksikan program debat debut (perdana) para debutan (pemula) yang menjanjikan ajang perdebatan publik seperti acara cerdas cermat dengan kunci jawaban yang sudah dihafal," oleh Yudi Latif dalam artikel Analisis Politik Debat Debutan, (Kompas, 24/1/2019).
Kutipan tulisan Yudi Latif tersebut menjadi awal tulisan ini. Yudi Latif cukup hati-hati menyindir penyelenggara dan peserta 'Debat Debutan'. Akan tetapi, apa yang diutarakan oleh mantan Koordinator Badan Pembina Idiologi Pancasila yang terkenal dengan karya Negara Paripurna ini harus menjadi perhatian semua pihak, baik peserta maupun penyelenggata debat kandidat Presiden dan Wakil Presiden.
Dari cara pandang penulis, Yudi Latif sudah memberikan lampu kuning kepada kita semua. Bahwa debat perdana kemarin tidak menampilkan debat yang sudah dibayangkan dan diharapkan masyarakat. Yudi yang menyindir dengan kalimat '...seperti acara cerdas cermat dengan kunci jawaban yang sudah dihafal,' sudah sangat sopan dan santun untuk kasus debat calon bapak bangsa dan kepala pemerintahan Indonesia.
Jika penulis menggunakan kalimat lain, debat perdana pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah mempermalukan status calon presiden dan wakil presiden. Apakah memang kualitas debat calon presiden dan wakil presiden telah menurun? Tentu saja banyak pihak yang akan marah dengan pertanyaan ini.
Akan tetapi, marilah kita kembali melihat kembali para pejuang, peletak pondasi bangsa dan pemimpin dari masa ke masa. Sebagai contoh: bagaimana perbandingan antara Tan Malaka, Syahrir, Hamka, Moh. Hatta, Soekarno, Agus Salim, dan lain-lain dengan Joko Widodo, Ma'ruf Amin, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa para pendiri bangsa lebih baik dari penerusnya yang sedang berjuang di Pemilu serentak tahun 2019. Bahkan, Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lebih baik dalam hal membacakan teks pidato kenegaraan. Belum lagi perbandingan dengan BJ. Habibie, Abdurahman Wahid atau Gus Dur, Megawati dan Soesilo Bambang Yudhoyono.
Jika pendiri bangsa masih hidup atau kita yang hidup pada masa itu. Apakah kita akan melihat tontonan yang sama. Bagaimana perdebatan tokoh pendiri bangsa yang kualitasnya sepuluh kali lebih baik dari debat perdana kemarin. Bahkan, kita bisa percaya bahwa para pendahulu itu sanggup berdebat terkait pendirian bangsa, dasar negara, hukum, hak asasi tanpa ada kisi-kisi, bocoran soal atau contekan.
Belum lagi kita membandingkan isu, apakah isu pertanyaan bocor atau kalimat 'pertanyaan masih tersegel' akan meriah pada tahun-tahun awal kemerdekaan? Jangan sampai kita membayangkan itu terjadi.Â
Karena kita pasti akan ditertawai oleh para pendiri bangsa. Atau mungkin saja mereka tersinggung, karena kita meragukan pemikiran orisinalitas dari orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka atau yang lainnya.
Masyarakat pada awal kemerdekaan pasti akan pasrah menjadi orang-orang terjajah.Â
Bila mendengarkan perdebatan calon pemimpin bangsa yang tidak memperlihatkan kemampuan memimpin bangsa. Perdebatan bukanlah hal yang jelek. Dari budaya lokal, perdebatan sudah ada atas nama musyawarah. Misalnya kemampuan berbicara (latihan) di balai adat atau perkumpulan rakyat dahulu kala.