Dian menegaskan bahwa temuan riset memperlihatkan citra kelembagaan sangat rendah. Persepsi publik dibawah 50 persen yang mempercayai penyelenggara pemilu. Sungguh ini menjadi tantangan dan peta kerawanan bagi tiga bulan kedepan. Rendahnya kepercayaan publik dipengaruhi oleh banyak hal seperti politik uang, kardus, ott penyelenggara dan debat kandidat.
August mengatakan bahwa wajah pemilu terfokus pada pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sehingga semua orang termasuk penyelenggara sibuk terkait isu-isu pilpres. Bahkan, penyelenggara pemilu reaktif atas isu-isu di publik. Sehingga absen dalam hal isu-isu pemilu lain. Misalnya pendidikan pemilih, sosialisasi peta dapil dan perolehan kursi atau pemberitahuan informasi utuh kepemiluan.
Bahkan, penyelenggara pemilu menyibukkan diri pada hal-hal yang tidak mendidik pemilih. Dengan waktu yang kurang dari tiga bulan, ada persoalan penting pendidikan pemilu. Melihat dari data yang ada, pada pemilu terpisah, sudah empat pemilu demokratis tetapi surat suara tidak sah masih tinggi. Secara teoritis, satu orang dari sepuluh pemilih salah memberikan suara (mencoblos) atau sekitar 27 pemilih per TPS.
Sehingga, pemilu dengan komplesitas masalah. August melihat penyelenggara pemilu dengan satu kesatuan fungsi tidak memiliki mitigasi masalah pemilu. Bukan hanya pemilih, menurut August, penyelenggara pemilu belum cukup jelas terkait akreditasi pemantau pemilu. Bagaimana cara kerjasama Tripatrit Pemilu dengan pemantau pemilu? Bagaimana citra kelembagaan terbangun untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Kompleksitas masalah pemilu sangat menghawatirkan. Dalam konteks pileg dengan pilpres, jumlah surat suara yang rusak cukup banyak. Apakah pendidikan pemilih kalah oleh isu pilpres? Atau kita lepas saja pemilu ini? Kita bisa anggap pemilu berjalan bebas, terserah apapun hasilnya. Kita harus mengingat, kata August bahwa pada pemilu terpisah antara pileg dan pilpres, Jatim dan Bengkulu termasuk yang besar dalam hal penyumbang surat suara yang tidak sah.
Dari sisi DKPP, Alfitra Salamm mengapresiasi hasil kajian pemilu. Dari enam provinsi dengan subjek riset mahasiswa, terbaca temuan bahwa pengetahuan mahasiswa masih rendah soal kepemiluan. Alfitra merasa ini memperhatikan. Apakah ini memang ketidakpedulian mahasiswa terhadap pemilu. Padahal pertanyaan terbuka soal teknis penyelenggara pemilu. Itu adalah bukti ketidakpedulian sumber pada pemilu.
Alfitra juga bersyukur bahwa 5 persen mahasiswa masih mengenal DKPP. Padahal enam provinsi tersebut adalah daerah dengan laporan yang rendah. Tetapi, Alfitra cukup khawatir karena salah satu wilayah riset adalah Provinsi DKI Jakarta.Â
Menurut anggota DKPP ini, ada kemungkinan rendahnya pengetahuan mahasiswa atas kelembagaan DKPP. Alasannya adalah DKPP tidak memiliki struktur dari pusat sampai ke desa. Selain itu, hubungan kemasyarakatan pun cukup jauh. Karena tidak banyak mahasiswa yang melaporkan persoalan etika penyelenggara.
Padahal, DKPP pada tahun sebelumnya (2018) telah belerjasama dengan 20 lebih media daring dan cetak. Memang kebanyakan pemberitaan terkait putusan. Apakah mahasiswa memang tidak membaca informasi, pemberitaan atau tidak menonton sidang DKPP yang secara live di facebook.
Sebagai data pembanding, Alfitra mengatakan bahwa ada penelitian yang temuannya memperlihatkan 82 persen teradu merasa pelayanan DKPP cukup baik. Dari pembacaan Alfitra, bahwa rendahnya mahasiswa yang aktif secara sadar dalam kegiatan-kegiatan pemilu adalah kurangnya atraktif sosialisasi pemilu.