Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menguji Konstitusional "Presidential Threshold"

10 November 2018   10:33 Diperbarui: 10 November 2018   15:07 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang kembali menolak judicial review Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), adalah keputusan pahit dalam menjaga ketersediaan pilihan dalam pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. 

Hal ini (Putusan MK) tentu menjadi perdebatan, apakah Presidential Threshold sudah konstitusional?

Ada beberapa hal yang perlu dibahas. Pertama, pengertian yang beda. Presidential Threshold adalah syarat keterpilihan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan kebijkan legislasi (open legal policy) menyatakan bahwa presidential threshold gaya Indonesia adalah ambang batas pencalonan dan keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden Indonesia.

Dalam sebuah tulisan yang cukup sering kita baca. Bahwa pemilihan kata Presidential Threshold tidak bisa dipakai di Indonesia. Karena ada syarat di dalam pengertian tersebut. Yaitu ambang batas pencalonan dan keterpilihan.

Sehingga, bila ingin merubah kata, perlu ada diskusi mendalam terkait kata Presidential Threshold. Karena, pemikir kepemiluan dunia akan heran jika Presidential Threshold yang mereka pahami. Ternyata makanya diperluas oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.

Pemilu yang Terpisah

Perdebatan pengertian Presidential Threshold ini mungkin selesai, ketika ada syarat kedua, yaitu pemilihan calon anggota DPR lebih dahulu dari pemilihan presiden. Bolehlah konstitusional presidential threshold gaya indonesia. Tetapi saat pemilihan serentak, maka presidential treshold harus kembali ke makna awal yaitu hanya "keterpilihan".

Kenapa pemilu terpisah mendasari konstitusional Presidential Threshold ala Indonesia? Jawabannya sederhana. Saat rakyat memilih calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Maka, rakyat dengan kedaulatan melalui pemilu memberikan sebahagian kewenangannya kepada legislator. Jadi, saat para wakil suara rakyat hasil pemilu mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Itu sama saja dengan mewakili suara pemilih yang memilihnya.

Dalam konsep pengusungan pasangan calon pada pilpres. Sekelompok legislator menyusun kriteria khusus. Dengan bentuk musyawarah mufakat atau konvensi. Terpilihlah nama-nama bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Hasil seleksi awal ini, kemudian diserahkan kepada parpol peserta pemilu. Tujuannya untuk memilih yang pada muaranya mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Pendapat Koran Tempo
Pendapat Koran Tempo
Matematika Pemilu

Ketiga, saat presidential threshold konstitusional akibat pemilu yang terpisah. Maka, angka 20% dan 25% yang merupakan angka matematika. Harus memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga butuh ahli matematika pemilu yang memberikan tanggapan apakah angka-angka itu berasal dari hitungan matematika dan apakah jumlah tersebut memiliki dasar proporsional? Belum ada ahli matematika pemilu -sepanjang yang saya ketahui- menjelaskan angka 20% dan 25%.

Misalnya, jika kita melandaskan pada jumlah persentasi kursi DPR. Dengan dalih jumlah 20% kursi DPR. Bisa dibayangkan ada lima pasangan calon. Namun, berapa parpol atau gabungab parpol yang bisa meraih angka 20% kursi DPR? Jika anggapan sederhana itu kit terima. Maka, sama saja kita meramalkan bahwa setiap partai memiliki 10% kursi di DPR. Jadi, ada 10 parpol yang bila dua parpol berkoalisi, cukup memenuhi syarat 20% kursi DPR.

Permasalahannya, itu bukanlah suatu rumus yang bisa diukur dan dipaksakan. Bukan juga hasil kesepakatan ahli perhitungan politik dan pemilu. Bagaimana memastikan dua parpol bisa mendapatkan 20% kursi di DPR. Sedangkan politik Indonesia masih mengenal konsep multipartai?

Belum lagi jika ada parpol yang dengan calegnya mampu meraup suara mayoritas. Maka, sudah bisa dipastikan, parpol tersebut mendapat jatah calon Presiden. Lalu, parpol peraih suara kecil akan ikut pada peraih kursi terbanyak. Memang ini hanya pandangan politik. Bukan analisis matematika.

Pembatasan HAM

Keempat, pembatasan hak asasi memiliki batasan yang sudah tercukupi. Bahwa, setiap warga negara berhak menjadi calon presiden dan wakil presiden. Namun, syaratnya, sepanjang warga negara tersebut diusulkan oleh parpol peserta pemilu. Itu saja sudah membatasi HAM. Sehingga tidak pas pada pemilu serentak dibatasi lagi HAM dengan presidential threshold.

Alasannya sederhana, secara logika dasar, setiap parpol memiliki naluri berkuasa. Untuk itu, mereka akan mempertimbangkan kepentingan dalam koalisi. Jadi, parpol akan menghitung apa, siapa dan bagaimana koalisinya. Seandainya ada 16 parpol peserta pemilu. Atau bahkan, jika ada 20 parpol pun. Tidak mungkin ada parpol kecil atau pendatang baru yang berani maju sendirian.

Sudah bisa dipastikan, parpol akan berkoalisi. Seminimalnya, ada dua parpol saja. Sehingga, pemilih mendapatkan ketersediaan pilihan. Sedangkan pemilik hak untuk dipilih sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden akan bertambah. Jika sekarang hanya ada empat orang, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi. Bisa jadi ada sekitar dua atau empat paslon lain.

Panjang Umur Perjuangan

Dari empat alasan diatas, Presidential Threshold menjadi masalah hukum dan politik. Mulai dari masalah kata dan pengertian serta teknis Presidential Threshold. Pembahasan hitungan angka proporsionalkah dan bagaimana rumus hitungnya. Lalu, konsep pemenuhan dan pembatasan HAM. Terakhir, penyempurnaan perundang-undangan pemilu serentak.

Sehingga, ikhtiar JR Presidential Threshold harus dilanjutkan. Baik oleh para pegiat, peneliti, akademisi, maupun partai politik peserta pemilu. Kondisi pemilu Indonesia akan membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila elit politik hanya menyuguhkan dua paslon Presiden dan Wakil Presiden saja. Pembelahan masyarakat yang terawat dalam waktu yang panjang mampu menghilangkan budaya nusantara dan mengarahkan kita pada perang politik sipil.

Bayangkan, 10 tahun masyarakat akan berkelahi, baik di dunia nyata maupun maya. Selama itu juga, pertikaian oral dan fisik bisa terjadi. Tentu saja, para Hakim Konstitusi harus mempertimbangkan situasi politik bangsa. Lebih bahaya jika, electoral threshold menyederhanakan parpol di senayan tanpa solusi. Misalnya, parpol yang tetap memiliki hak maju saat pendaftaran peserta pemilu. Ini juga masalah yang harus diantisipasi.

Bahaya di depan mata, meskipun belum tentu terjadi. Seandainya kasus Ratna Sarumpaet membawa Prabowo dan pendukungnya berurusan dengan pengadilan. Dan, jika putusannya menginapkan mereka ke balik jeruji besi. Sehingga, hanya ada paslon Jokowi-Ma'ruf Amin. Apakah fenomena pilkada satu pasangan calon akan terjadi pada pilpres?

Kalaupun iya, bagaimana teknis pemilu serentak dengan pemain yang hanya satu paslon. Semoga tidak terjadi dan jangan sampai itu terjadi. Kehadiran satu paslon akibat tersedianya dua paslon adalah kegagalan politik bangsa. Kita bukannya memperbaiki, malah bisa jadi menghancurkan demokrasi prosedural di Indonesia.

Andrian Habibi
Andrian Habibi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun