Bagaimana memandang pemilu dari sudut padang Islam dan Pancasila? Bagaimana meneguhkan nilai keindonesiaan dalam pemilu? Dua pertanyaan ini muncul, ketika kita mendengar "Diskusi dan Bedah Buku: Islam, Pancasila dan Deradikalisasi: Meneguhkan Nilai Keindonesiaan," pada hari Senin, 5 Nobember 2018 di Megawati Institute.
Meskipun diskusi ini terkait diskusi bedah buku. Tentu apa yang akan didiskusikan bukan soal bukunya. Ini beda, sebuah pemikiran yang muncul saat diskusi. Kita ingin melihat, hubungan Islam dengan Pemilu dan Pancasila dengan Pemilu.
Islam adalah Agama Langit, turun langsung ke bumi, dari Tuhan kepada pembawa penyampai pesan langit yang diterima melalui penyampai pesan (Malaikat). Dalam Islam, jika merujuk salah satu ayat Albawarah: 31, bahwa setiap manusia yang dilahirkan adalah pemimpin di bumi.
Sempat terfikir, bagaimana mungkin semua manusia adalah pemimpin. Siapa yang menjadi bawahan atau rakyat? Lucu kan. Semua pemimpin, tapi kenyataannya, ada status pemimpin dan bawahan/rakyat. Nah loh?
Pemimpin dalam Islam, dari pemahamanku yang dangkal, terbagi atas beberapa bagian. Pertama, pemimpin yang sudah ditetapkan langsung oleh Tuhan. Mereka berjumlah 25 yang berstatus Nabi sekaligus Rasul. 25 pemimpin inilah pemimpin dimuka bumi yang menjadi percontohan bagi manusia dalam memimpin.
Setelah 25 pemimpin yang menerima "legalitas kepemimpinan" dari Tuhan. Maka muncullah pemimpin dengan pemilihan. Musyawarah kepemimpinan pertama adalah penunjukan Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, penunjukan ini dengan konsep musyawarah hanya berlaku pada Abu Bakar. Setelah itu, pesan terakhir menjadi dasar pemilihan peminpin baru.
Jenis yang ketiga adalah pemimpin yang terlahir dari pemimpin sebelumnya. Inilah yang kita kenal dengan Khalifah paska Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Jadi, apabila bapaknya khalifah atau raja. Maka anak, cucu, cicit dan seterusnya akan dipastikan menjadi pemimpin. Sehingga, tidak ada manusia yang berhak menjadi pemimpin, kecuali berdarah raja.
Keempat, pemimpin akibat perebutan kekuasaan. Baik perang di internal kekuasaan para khalifah/raja atau perang antar kerajaan. Pada konsep ini, pemimpin adalah mereka yang memenangkan suatu perebuatan kekuasaan atau peperangan.
Nah, apakah Islam memberikan "kepemimpinan" melalui jalur darah biru atau peperangan? Tidak mungkin. Islam pasti menjatuhkan amanah "pemimpin" kepada 25 pemimpin yang tidak akan pernah ada lagi sejak pemimpin yang terakhir wafat. Cara Islami yang lain adalah musyawarah mufakat, seperti pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah.
Lalu, bagaimana hubungan Islam dengan Pemilu. Mungkin kita bisa menyederhanakan pembahasan ini. Pemilihan umum adalah sebuah sistem pemilihan pemimpin oleh rakyat secara keseluruhan secara langsung. Sehingga muncul, suara terbanyak adalah pemimpin. Sehingga, jika prosesnya mengikuti konsep musyawarah mufakat. Pemilih memilih wakil rakyat, kemudian produk pemilihan memusyawarahkan untuk bermufakat siapa yang menjadi pemimpin.
Bagaimana ummat non Islam mengikuti pemilu yang islami? Berlaku lah konsep, memilih adalah untuk pengelola pemerintahan dan negara bagi semua rakyat. Maka, suara minoritas menjadi bagian yang ikut diwakili dengan sistem Pemerintahan Negara Madinah.
Pemilihan Umum Pancasilais? Apakah kita bisa menghubungkan pancasila dengan pemilu. Tentu bisa, pemilihan pemimpin itu berasal dari permusyawaratan, perwakilan dengan prasyarat dengan hikmat kebijaksanaan. Sehingga, pemilu harus dimulai dengan kemampuan untuk mengaktualisasikan musyawarah mufakat. Agar bisa menjaga keterwakilan (orang) yang bijaksana.
Pemilu itu memang cara-cara manusia untuk memilih pemimpin. Tapi, harus dipahami bahwa setiap hal berlaku keyakinan "atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa". Hal ini menjaga agar setiap orang perorang, mulai dari penyelenggara, peserta pemilu dan pemilih berprilaku adil dan beradap. Keadilan dan beradap (etika) adalah asas pemilu yang mengupayakan proses dan hasil, meskipun dengan konsep mayoritas, tetap satu-padu dan menyatu.
Mengingat Indonesia mengedepankan kasta sosial yang sebenarnya memunculkan konsep keterwakilan. Sehingga, wakil-wakil rakyat menjadi penyambung suara demi membahas tata hidup sosial. Konsep keterwakilan ini juga berlaku, waktu pemilihan pengganti pemimpin. Dengan demikian, wakil-wakil yang nermusyawarah menyusun kebijakan untuk memenuhi kesetaraan sosial yang sejahtera.
Pemilu yang pancasilais sebenarnya telah berlangsung cukup baik. Itupun, kalau kita membaca sejarah pemilu paska runtuhnya Orba. Pemilu menyediakan ruang pendelegasian wewenang dari pemilik kedaulatan (rakyat) kepada wakilnya, baik eksekutif maupun legislatif.
Pendelegasian ini, memang melalui proses one man one vote dengan syarat memenuhi hak pilih yang diatur oleh Undang-undang. Akan tetapi, konsep permufakatan keterwakilan masih terjaga. Dari pembahasan UU Pemilu, seleksi penyenggara, peserta pemilu, pendataan pemilih, kampanye dan pemilihan hingga produk pemilu bermusyarah untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mungkin ada yang bertanya, apakah daftar calon terbuka dengan pemilihan langsung kepada caleg mememuhi prasyarat "perwakilan"? Tentu saja. Daftar caleg berasal dari peserta pemilu. Peserta pemilu adalah partai politik yang memenuhi syarat.
Setidaknya, setiap parpol telah menyusun konsep mewakilankan dari seluruh anggota ke sejumlah nama yang didaftarkan ke KPU. Maka, kelemahan daftar terbuka, sebenarnya berasal dari parpol. Bukan karena calegnya mampu meraup banyak suara. Mau bagus atau tidak, caleg itu didaftarkan oleh parpol. Ya, salahkan parpolnya.
Jadi, apakah pemilu bertentangan dengan Islam? Apakah pemilu sudah mengamalkan lima sila dalam pancasila? Sepanjang kita meyakini, bahwa proses keterpilihan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan etika politik. Proses dan hasil pemilu sudah cukup berhasil menjaga demokrasi nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H