Akan tetapi, bila ketidakmampuan membangun partisipasi aktif masyarakat yang berkelanjutan. Atau tanpa sengaja ikut serta dalam memberangus keberadaan pemantau pemilu.Â
Serta, kaku dalam bekerja tanpa ada niatan menambah literasi kepemiluan. Maka, penyelenggara pemilu di daerah hanyalah suatu pekerjaan layaknya kerja dimanapun jua.
Oleh sebab itu, ancaman kemunduran kreatifitas dalam membumikan pemilu di daerah harus teratasi. Para komisioner daerah kembali bekerja seperti semangatnya saat mengemban amanah sebagai parlemen jalanan. Sederhana, taktis, tapi menyentuh subtansi. Mulai membangun kemitraan dengan semua pemilih yang memantau pemilu.
Contoh paling mudah, misalnya, berkomunikasi dengan lembaga pegiat pemilu yang menerbitkan buku. Lalu, menjadi langganan pembelian buku setiap bulan. Dengan begitu, akan muncul komunikasi efektif. Semua buku yang terkumpul diletakkan di ruang partisipatif. Kemudian, undang smeua mitra pemilu untuk berkumpul, bercerita, diskusi dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama.
Jika turun ke kampung-kampung, kurangi gaya penguasa. Seperti keharusan mengikuti protokoler eksekutif. Jadilah saudara dengan para pemilih. Berkumpul dan ngobrol untuk memberikan pemahaman. Dengan bahasa yang mereka pahami. Bukan menceramahi, karena pemilih sudah bosan dengan ceramah, kecuali ceramah agama dari pemuka agama.
Khusus para ASN di penyelenggara pemilu, sepertinya butuh pendidikan pertisipasi pemilu. Agar mereka sadar, bahwa pemilih, siapapun dia, terlebih yang ikut memantau pemilu adalah bagian dari legitimasi proses dan produk pemilu.
Penghormatan bukan hanya kepada para pembicara nasional. Mereka --pemantau pemilu- di daerah juga harus dihargai dan diperlakukan sebaik-baiknya. Pada akhirya, kita sedang merenungi demokrasi prosedural, apakah penyelenggara pemilu di daerah telah berubah menjadi robot?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H