Pemilu Indonesia memasuki babak baru, yakni ruang penegakan ketentuan pidana. Saat penegakan terjadi, tersangka pelanggar aturan pun bermunculan.
Adapun dasar penegakan keadilan pemilu, salah satunya termuat di Pasal 492 dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU (Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kunrngan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)."
Beberapa waktu yang lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi korban pasal pidana yang dibentuk oleh Pembentuk Undang-Undang (Presiden bersama-sama DPR).
Jagat politik langsung riuh terkait penetapan tersangka kepada PSI yang diduga melanggar ketentuan pemilu. PSI melalui iklan media koran dianggap melanggar kampanye.
Pertanyaannya adalah apakah hanya PSI? Tentu saja tidak. Masih banyak kasus serupa yang akan bernasip sama. Asalkan memenuhi unsur menyebarkan ajakan atau foto atau video yang memuat logo partai dan nomor urut peserta pemilu.
Jika syarat dipidanakan adalah sosialisasi dalam bentuk apapun dengan memuat lambang dan nomor urut partai menyalahi aturan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu dan mendapatkan sanksi sesuai Pasal 492 UU Pemilu.
![Dokumentasi KIPP Indonesia](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/21/fb-img-1503746871884-5b01fc6cdd0fa81bd44d82e3.jpg?t=o&v=770)
1. Setiap orang, bisa pengurus partai, kader partai, simpatisan atau siapa saja yang menyebarluaskan konten dalam bentuk apapun yang termasuk kampanye atau citra diri.
Kata "setiap orang" bisa berlaku kepada siapapun. Misalkan ada orang yang memuat iklan cetak atau video dengan mencantumkan foto Presiden Joko Widodo, Lambang Partai dan Nomor Urut Peserta Pemilu. Maka dia bisa dikenai sanksi pidana.
2. Ada pelapor dan barang bukti. Bagaimanapun juga, pelanggaran diketaui saat seseorang atau lembaga memberitahukan beserta bukti kepada Bawaslu. Informasi belum bisa menjadi dalil untuk menegakkan pidana pemilu. Harus ada pelapor dan bukti.
Masalahnya adalah seandainya pelapor tidak berani menerima status sebagai pelapor. Apakah pelanggaran menjadi hilang? Tidak, Bawaslu bisa menetapkan informasi sebagai temuan Bawaslu yang berarti pelapornya adalah Bawaslu.
3. Sentra Gakkumdu menyatakan memenusi unsur pidana pemilu. Syarat ini menjadi penting. Karena saat laporan masyarakat atau lembaga atau Bawaslu diberikan kepada sentra gakkumdu. Maka, perwakilan Polri dan Jaksa lah yang menjadikan suatu laporan bisa memenuhi unsur pidana pemilu.
Apabila Bawaslu mengatakan laporan itu termasuk pidana pemilu. Sedangkan sentra gakkumdu -khususnya anggota polri dan jaksa- menyatakan tidak memenuhi unsur pidana, laporan bisa buyar di tengah jalan.
Untuk itu, Sentra Gakkumdu di Bawaslu RI harus menjelaskan kepada PSI dan seluruh partai politik, media dan kepada warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan informasi yang detil terkait pidana pemilu, tata cara laporan dan bagaimana proses laporan juga barang bukti yang memenuhi unsur pelanggaran sesuai ketentuan UU Pemilu.
Setelah itu, Bawaslu bisa menyebarluaskan informasi tersebut untuk menerima laporan masyarakat tentang "setiap orang dalam pasal 492" yang kampanye diluar jadwal. Atau, Bawaslu meminta informasi dan bukti untuk menjadikannya sebagai temuan apabila warga negara Indonesia takut berurusan dengan hukum atau takut menerima serangan balik atas tuduhan mencemarkan nama baik (fitnah) dan lain-lain.
Selain itu, harus dipastikan juga bahwa unsur Pasal 1 angka 35 UU Pemilu tidak hanya menyangkut partai politik peserta pemilu. Setiap orang yang mengampanyekan Presiden Jokowi juga bisa mendapatkan sanksi yang sama dengan partai politik peserta pemilu.
Kita berharap Sentra Gakkumdu secepat mungkin maju ke depan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang pidana pemilu. Agar kampanye di luar jadwal yang dilanggar oleh banyak pihak mendapatkan sanksi yang sama dengan PSI.
KPU juga harus segera menetapkan PKPU tentang kampanye agar jelas pembahasan kampanye dan citra diri. Sedangkan Bawaslu harus mempercepat pembahasan Perbawaslu Pengawasan Kampanye & Citra Diri, dan Penegakan Pidana Pemilu.
Terakhir, Pemerintah dan DPR wajib menjelaskan setiap pasal yang mereka ciptakan. Termasuk kata "kampanye", "citra diri", "kampanye di luar jadwal", "setiap orang" dan sebagainya kepada masyarakat khususnya pada organisasi pemantau atau penggiat pemilu.
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/21/0-img-8869-jpg-5b01fe12caf7db1c643c8002.jpg?t=o&v=770)
Divisi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia dan anggota Koalisi Pemuda Kawal Pemilu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI