Tulisan ini sudah lama sih. Saat itu, saya menjadi salah satu wakil Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. Saya mendapatkan kesempatan untuk melihat cara kerja teknologi Balitbang Kompas dalam proses hitung cepat, pada 15 Februari 2017.
Sebenarnya tulisan ini berawal dari siaran pers KIPP Indonesia (saya sendiri menulisnya). Saya mengulangnya kembali dengan tujuan mengingatkan bahwa Kompas berhasil memamfaatkan teknologi dalam teknis kepemiluan. Atas kekaguman saya tersebut. Maka tulisan ini saya muat di kompasiana. Semoga para pembela teknologi kepemiluan lebih realistis. Teknologi tidak harus mahal. Asal tahu cara memamfaatkan yang ada. teknologi bisa membantu kerja-kerja penyelenggara pemilu.
Awal Kisah
Kompas saat itu mengundang KIPP, LIPI, BPS dan Tim Kampanye Pasangan Calon Pilgub DKI untuk melihat proses hitung cepat di ruang Balitbang Kompas, Palmerah, Jakarta. Para tamu mulai di bawa ke ruangan pusat data Balitbang Kompas, ruang perbandingan antar media dan ruang pemantauan proses hitung cepat.
Semua yang diundang sepakat. Kompas memang hebat. Teknologinya bukan main kerennya. Tim yang bekerja juga serius. Banyak orang yang diajak untuk menjadi bagian dari catatan sejarah. Yaitu, bagaimana Balitbang Kompas membuktikan bahwa teknologi bermamafaat bagi demokrasi.
Konsepnya sederhana dan mudah dikerjakan. Tetapi butuh keseriusan. Waktu itu, data output hitung cepat dapat dilihat di layar. Teknologi itu memiliki sistem terverifikasi dan terbagi dengan detil. ada home sebagai gambaran umum, peta jelang pilkada, metode, kilas balik, realibilitas, peta sebaran suara, tingkat partisipasi pemilih dan perolehan suara.
Teknologi Kompas mulai menampilkan data sejak pukul 15.00 wib (waktu kompas) dan berakhir pada jam 17.00 wib. Balitbang Kompas memunculkan hasil hitung cepat dengan memperlihatkan cara para petugas data menggunakan pengisian data berbasis android yang langsung ter-input pada data pusat.
Sehingga, setiap pertumbuhan satu suara terlihat jelas dalam grafik hitung cepat. Pada layar "Peta Sebaran Suara", data memunculkan kotak-kotak kecil berwarna, Biru untuk AHY-Sylvi, Merah untuk Ahok-Jarot dan Putih untuk Anis-Sandi.
Bila warna-warna layar ini disentuh, secara langsung muncul foto lokasi TPS beserta jumlah suara per-pasangan calon. Hal ini bisa di-check bila terjadi kemungkinan data yang berbeda, jadi sangat aman dalam membuktikan validasi data yang di-input dan output.
Selain itu, relawan harus berkomunikasi dengan para petugas TPS. Meminta nomor handpone dan meminta data singkat. Sunguh detil dan sulit percaya ada data yang bocor atau tidak valid.
Teknologi Penyelenggara?
Nah, menurut saya, aplikasi android ini bisa menjadi solusi bagi KPU untuk mengaplikasikan pada proses pungut hitung di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Biaya akan lebih murah karena hanya menggunakan media HP bersistem android.
Sehingga tidak membutuhkan lelang pembelian alat-alat e-rekapitulasi. Karena setiap pengadaan berjumlah besar (dana) akan membuka ruang potensi prilaku koruptif.
Harapan saya, penggunaan teknologi pemilu tidak harus dengan menggunakan cara-cara tender atau memaksakan memakai teknologi yang ada di negara lain. Pemerintah, KPU, Bawaslu dan DKPP bisa bersinergi untuk menguatkan teknologi pemilu kedepan.
Bisa saja, Pemilu 2019 menjadi sejarah baru bagi demokrasi. Misalnya, kita akan melihat data pemilih dan sebaran pemilih saat penghitungan suara selesai. Meskipun terhambat oleh jaringan. Mungkin saja, sebahagian data sudah bisa diinput dalam waktu singkat.
Bagaimana? Cocok kan, kita akan menunggu teknologi pemilu saat ini sudah bermamfaat atau tidak bagi demokrasi lokal Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H