Mohon tunggu...
andriana rumintang
andriana rumintang Mohon Tunggu... Administrasi - menyukai rangkaian kata yang menari dalam kisah dan bertutur dalam cerita. Penikmat alunan musik dan pecinta karya rajutan

never stop learning

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Lupa Kodrat dalam Bersosial Media

1 September 2016   15:04 Diperbarui: 13 September 2016   13:53 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini kita mendengar terjadi kasus pembakaran vihara di tanjung balai dikarenakan adanya provokasi dari media sosial. Bermula dari seorang ibu etnis tionghoa yang meminta agar mengecilkan volume suara mesjid. Permintaan itu berujung dengan perbedaan pendapat dan juga pengrusakan dan penjarahan beberapa vihara di tanjung balai.

Para pelaku dan pengrusakan vihara tersebut telah ditangkap pihak kepolisian dan mereka mengaku terprovokasi oleh berita di media sosial. Padahal pelaku provokasi pembakaran itu sendiri tidak tinggal di tanjung balaitetapi di Jakarta namun bisa membakar emosi sekelompok massa di daerah lain sehingga mengakibatkan tindakan destruktif.

Dengan berita-berita yang menyesatkan dan tidak benar, sekelompok orang dapat terbakar emosinya dan melakukan tindakan kriminal karena sang provokator. Sang provokator mengangkat perbedaan etnis dan agama yang memang sangat “menjual” sehingga para pelaku terprovokasi dan melakukan pengrusakan dan penjarahan. Sungguh kekuatan media sangat berpengaruh.

kardopafm.co.id
kardopafm.co.id
Yang tidak kalah heboh dan ramainya lagi di salah satu media sosial, terdapat dua akun media sosial yang menghina pakaian adat batak yang dikenakan bapak presiden Jokowi ketika berkunjung ke danau toba. Dua akun tersebut telah dilaporkan ke polisi oleh Lamsiang Sitompul selaku warga suku batak karena dianggap melakukan penghinaan terhadap presiden dan menghina dan merendahkan suku batak.

Percikan isu SARA juga banyak ditemui di laman media sosial lainnya seperti caci maki netizen terhadap Ahok, pemimpin non-muslim dari etnis tionghoa.

Perbedaan etnis, suku, agama diangkat orang-orang yang tidak bertanggungjawab sebagai bahan yang sangat “menjual” untuk perpecahan. Baik secara langsung maupun dengan media sosial. Seiring dengan mudah dan gampangnya penyebaran informasi menggunakan media sosial. Media sosial banyak variasi sebut saja fecebook, instagram, tweeter, my space, line dll.

Untuk promosi dan penyebaran informasi sangat efektif melalui media sosial. Saat ini, siapa yang tidak memilki media sosial? Hampi semua masyarakat memiliki media sosial. Bahkan ada yang memiliki akun media social lebih dari 4 dan menghabiskan waktu untuk mengintip dan aktif di medsos tersebut. Mulai dari anak sekolahan, sampai dengan kakek nenek sudah bergaul dengan medsos. Mulai dari kategori usia produktif sampai yang tidak produktif, menghabiskan waktu untuk bergaul di media sosial, ntah itu menghasilkan dampak positif atau tidak.

Menurut Kementrian komunikasi dan informasi (Kemenkominfo) penggunaan internet di Indonesia mencapai 82 juta orang dan Indonesia berada pada peringkat ke-8 dunia dalam penggunaan internet. Pengunaan internet tersebut mayoritas untuk konten media sosial dan 80 persen penggunanya adlaah remaja yang berusia 15-19 tahun. Dominasi penggunaan media sosial di internet melampaui penggunaan konten lain. Salah satu pengguna medsos terbanyak yaitu facebook.

Saat ini, semua ada di medsos. Promosi produk, mlm, property, berita, resep masakan, khotbah, ajaran agama, sampai pornografi. Semua arus informasi  mengalir deras tanpa sensor bagi penggunanya. Ada manfaatnya namun tak jarang pula banyak merugikan, memecah belah, dan pembodohan masyarakat. Bahkan kebanyakan masyarakat lebih percaya dengan berita-berita tersebut tanpa melihat fakta dan tidak kritis akan kebenarannya. Sehingga menjadi santapan untuk pembodohan masyarakat. Sehingga jika pengguna medsos tidak bijak, tentunya medsos tersebut dapat merugikan pengguna medsos itu sendiri, merugikan rekan-rekannya dan merugikan orang lain.

Apalagi jika bahan di medsos mengangkat perbedaan SARA (suku, agama,ras dan antargolongan). Gesekan-gesekan dapat langsung terjadi. Berita yang tidak diresponi dengan bijak menimbulkan amarah dan perpecahan di masyarakat. Bangsa Indonesia lupa bahwa perbedaan-perbedaan di negara Indonesia adalah kodrat yang tidak bisa dipungkiri yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Jangan lupa kodrat bangsa

Indonesia sebagai  negara kesatuan memilki kodrat fisik dan kodrat sosial yang itdak dapat dipungkiri oleh bangsa Indonesia. Kodrat fisik yaitu keadaan negara Indonesia secara fisik sebagai negara maritim, kawasan khatulistiwa, titik pertemuan lempeng bumi, negara strategis yang membuat Indonesia kaya akan sumber daya alam.

Kodrat sosial Indonesia secara umum dibedakan yaitu : negara dengan kenaikan laju populasi yang tinggi, negara dengan distribusi penduduk yang timpang, negara multietnis, negara multiagama, negara multibudaya.*

www.infokekinian.com
www.infokekinian.com
Multietnis, multi agama dan multi budaya

Saya akan melirik tiga kodrat sosial yang sering menjadi area rawan konflik karena perbedaannya yaitu multietnis, multi agama dan multi budaya. Bagi indonesia, kemajemukan etnis, agama dan budaya adalah kodrat yang tidak bisa terbantahkan.

Di Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnis dengan 731 bahasa. Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Bugis, India, Arab, dan Tionghoa. Kekayaan multietnis tersebut juga menghasilkan variasi bentuk fisik, gaya hidup, sistem religi, hukum, arsitektur, makanan, dan kesenian/budaya yang berbeda-beda yang menjadi modal yang menarik bagi bangsa INdonesia. Namun tak jarang pula kekayaan perbedaan etnis memiliki potensi bahaya konflik.  

Agama-agama di Indonesia yang diakui yaitu agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu menjadikan Indonesia sebagai negara multi agama yang memilki potensi dan peran vital dalam proses integrasi dan pembangunan Indonesia. Namun kodrat multi agama dapat mengandung potensi terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa jika tidak disikapi dengan bijak.

Karena adanya warisan politik imperialis, fanatisme agama yang dangkal, keras, sikap sentimen, cara penyebaran agama yang agresif, pengaburan nilai-nilai agama, ketertutupan penganut agama itu sendiri. Sikap penganut agama yang menimbulkan rasa eksklusif, meremehkan, mengkritik, menjelek-jelekkan keyakinan penganut agama lainnya masih sering terjadi.  Hal itu dapat menimbulkan rasa permusuhan anatar umat beragama, dengan akibat saling serang dan balas dendam.

Konflik antar agama ini dapat menjadi penghancur kedamaian dan kententraman bangsa. Seperti  kasus pengrusakan vihara di tanjung balai dikarenakan sang provokator mengangkat isu perbedaan agama.Tak jarang kita melihat di media sosial berita-berita yang membawa isu perbedaaan agama. Bahkan juga terdapat kotbah-kotbah dari pemuka agama terntentu yang menerbitkan kebencian ataupun permusuhan. Konflik yang dipicu masalah agama memang lebih sensitif, karena agama menjadi keyakinan yang paling esensial dan juga hak asasi manusia yang diatur didalam UUD 1945 pasala 29 ayat 1 dan ayat 2. Kebebasan kita dalam memilih dan beribadah dengan agama dan keyakinan masing-masing juga terikat dengan kebebasan orang lain dalam menjalankan ibadahnya yang artinya orang lain pun berhak menjalankan kebebasan beragama dan memilki hak yang sama dan dijamin oleh negara. Sesama warga negara yang memilki hak yang sama dalam menjalankan agamanya masing-masing harusnya menghargai dan menerima perbedaan tersebut.

Kodrat multibudaya karena Indonesia memilki banyak suku bangsa dan budaya. Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya adalah plural dan heterogen. Begitu banyak perbedaan, jika tidak disikapi dengan bijak  menurut prof Dr. I Gede Astra Wesnawa dapat menimbulkan konflik sosial. Konflik sosial sebagai gerakan masal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya, ekonomi yang biasanya dikemas sebagai peretentangan SARA.

Seharusnya menyikapi kodrat Indonesia dengan berbagai potensi tersebut, bangsa Indonesia sadar dan menjadikan setiap perbedaan sebagai modal untuk memperkaya negara Indonesia. Namun tak bisa dipungkiri, perbedaan-perbedaan tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan individu ataupun kelompoknya.

Termasuk dalam menyebarkan pandangan, menyebarkan perbedaan, menyebarkan hasutan, kritikan, kebencian bukan hanya digunakan secara langsung namun juga memanfaatkan majunya teknologi memanfaatkan teknologi seperti media sosail untuk mencapai tujuannya dan untuk memepercepat penyebaran informasi yang menyesatkan. Sistem seperti yang dilakukan penjajah dulu terhadap bangsa Indonesia yaitu politik devide et impera (adu domba).

www.siperubahan.com
www.siperubahan.com
Sudah menjadi sejarah bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami penjajahan Belanda selama 350 tahun dan mereka sukses dengan politik adu domba. Setiap perbedaan suku, pandangan, agama dimanfaatkan untuk memecahbelah bangsa kita. Padahal kalau dilihat dan dicermati, sesungguhnya bangsa kita memilki pahlawan-pahlawan yang tangguh, yang rela berkorban demi negaranya, namun karena banyak yang termakan tipuan penjajah, maka kemerdekaan tersebut tidak cepat dan tidak gampang diperoleh. Masa kini pun, politik devide et impera tetap harus dilawan karena politik adu domba masih digunakan sebagai senjata yang ampuh untuk menghancurkan persatuan, termasuk digunakan di media sosial, politik devide et impera masa kini.

Setelah kemerdekaan dengan Bhineka tunggal Ika, sepertinya kita jatuh bangun untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan memajukan bangsa. Contohnya saja sejak tahun 2014 komnas HAM mencatat, pengaduan terkait pelanggaran hak kebebasan berkeyakinan selalu meningkat. DI tahun 2014 tercatat 74 pengaduan, tahun 2015 mencapai 87 pengaduan. Bentuk pelanggaran adalah pelarangandan pengrusakan tempat ibadah, penghalangan aktivitas keagamaan dan pembiaran kekerasan. Tindak perusakan rumah ibadah adalah bentuk tindakan krimnal, dimana Undang-Undang pasal 9 ayat 2 nomor 9 tahun 1998 telah mengatur larangan rumah ibadah dijadikan sasaran demonstrasi massa. 

 Walaupun masih ada segelintir orang yang belum mampu menerima kebhineka tunggakl ika, namun persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah harga mati yang harus diperjuangkan.

Lalu, apakah yang harus dilakukan agar kebhineka tunggal ika tetap terjaga di negara kita, termasuk di dalam penggunaan media sosial? Menurut saya sebagai anak bangsa hal yang harus dilakukan yaitu :

1. Sadar dan menerima kodrat sosial

Sadar dan menerima bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai etnis, budaya dan agama. Tidak perlu dipertanyakan atau digugat lagi, Kenapa tetangga saya berbeda agama dengan saya? Kenapa teman saya memilki dialek bahasa yang berebda dengan saya? Kenapa orang di daerah Jawa rasa masakannya manis dan di Sumatera suka menggunakan santan dan kelapa? Perbedaan adalah kodrat sosial yang memperkaya bangsa yang sudah ada sejak dari dahulu, diterima dan disadari.

2. Toleransi yang aktif

Toleransi adalah keharusan yang harus dimiliki setiap warga. Semangat toleransi dan saling menghormati. Menghormati setiap orang yang berbeda keyakinan dengan kita dan menghargai mereka menjalankan ibadahnya. Misalnya saja ketika teman muslim menjalankan ibadah puasa, yang non muslim bertoleransi untuk tidak makan dan minum di depan yang berpuasa. Di kampung saya, gereja dan mesjid berdekatan. Gereja tersebut memilki halaman yang luas, sehingga ketika setiap shalat jumat, idul fitri dan hari besar lainnya, tak jarang halaman gereja dipakai untuk tempat parkir umat muslim yang akan sholat di mesjid tersebut. Salah satu bentuk toleransi yang nyata. Termasuk dalam ber-medsos, toleransi juga sangat diperlukan. Contohnya tidak perlu mengeluarkan status ataupun komentar yan menyindir tentang status teman yang sedang menjalankan ibadah. Tidak pula meng-update status yang membahas perbedaan-perbedaan ajaran agama dan membanding-bandingkan dengan agama lain. Karena perbedaan-perbedaan tersebut memang tidak akan pernah . Apa yang menjadi keyakinan dan ajaran dari keyakinan tertentu dihargai. Beribadahlah tanpa menganggu ibadah orang lain. 

Toleransi juga harusnya toleransi yang aktif dan berani menyuarakan toleransi. Kebanyakan toleransi di Indonesia adalah toleransi yang pasif dimana di dalam hati mengakui dan menerima perbedaan, tetapi ketika ada perpecahan atau tindakan pengrusakan/penyerangan dari kelompoknya, hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Tidak berani menyuarakan toleransi. Sikap seperti itu sama saja denagn pembiaran terhadap intoleransi.

3. Tidak melakukan share/artikel dan tidak mengikuti/berteman dengan profil di medsos yang melakukan provokasi perpecahan

Sering tampil artikel-artikel dengan foto-foto yang menyedihkan, korban luka-luka, ataupun gedung-gedung hancur dengan isi artikel disebabkan oleh serangan dari orang-orang/kelompok yang berbeda keyakinan. Begitu di baca langsung d share, tanpa menyelidiki kebenarannya, padahal isi artiekel dengan foto sangat berbeda keasliannya. Misalnya saja foto korban bencana alam tahun berapa, dikatakan sebagai korban dari kelompok tertentu yang berbeda keyakinan dengannya. Sikap kita sebagai pengguna medsos harusnya kritis. Jangan menjadi penerus berita-berita pembodohan.

4. Menumbuhkan sikap kritis dan cermat dalam ber-sosmed

5. Tidak mengeluarkan status ataupun pembicaraan yang mengandung bullying. Tak jarang dalam forum atau komentar masih sering dijumpai kata-kata yang mendsikriminasi. Contohnya saja dalam pergaulan di sosmed, sekalipun tidak ada maksud untuk perpecahan, namun dapat menimbulkan perpecahan. 

       “Kuat banget teriakan si batak itu, sampai mau pecah telingaku.”

      “Si cina itu kemana, kok gak pernah nongol lagi

Kebebasan berbicara dalam media sosial jika dianggap menyudutkan orang lain dapat terkait pasal 27 UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

6. Sharing berita-berita yang positif dan membangun di media sosial. Kita bisa saja mengikuti tokoh-tokoh publik figure yang berpikiran positif, yang membangun atau membagikan kegiatan yang kita alami yang mebangun dan mempererat persatuan.

7. Para pemuka-pemuka agama menjadi teladan toleransi dalam beraktivitas di media sosial. Memang mengharapkan untuk poin ini tentu tidak semudah jika tindakan dilakukan dari diri sendiri. Namun peran pemuka agam memang sangat besar, kita berharap semoga para pemuka mengambbil bagiannya dengan tepat dan dan menjadi pemimpin untuk menjaga  kerukunan dalam hidup beragama.  

8. Melalui pergaulan di sekolah ataupun di rumah dimana orangtua mengizinkan anak berinteraksi di lingkungan heterogen dengan teman dari banyak agama, suku, ras, status sosial dan mengajarkan toleransi. Komunitas yang hanya bergaul dengan satu golongan saja atau  satu kelompok saja mengakibatkan anak-anak tumbuh tanpa menyadari dan mengenal orang dari agama, suku, dan budaya yang berbeda dan dapat menganggap bahwa golongan lain lebih buruk dari padanya.

9. Melalui pendidikan. 

Data mencatat bahwa 80 persen pengguna media sosial adalah remaja. Pendidikan bisa ditanamkan kepada pengguna media sosial tersebut. Walaupun juga tidak tertutup pendidikan untuk pengguna media sosial selain remaja. Salah satu bentuk pendidikan adalah melalui pendidikan formal di sekolah. Pelajaran Pancasila dan kebhineka tunggal ika yang bukan hanya teori saja. Pengajaran karakter toleransi sejak dini kepada anak-anak generasi penerus bangsa. elain itu juga dalam pelajaran IT/ Komputer, pelajaran hendajnya bukan semata ilmu dan teknologi namun juga bagaimana beretika di media sosial. Penggunaan bahasa, apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan. Pengetahuan tentang undang undang dalam teknologi informartika dan juga pemahaman tentang kejahatan di dunia maya (Cyber crime). Jika hal tersebut diajarkan sejak dini, tentunya pemahaman dan sikap toleransi dapat tumbuh sejak dini sehingga para pengguna media sosial yang mayoritas remaja tersebut tidak terjebak dan menjadi korban cyber bullying ataupun cyber crime dan dapat mejaga toleransi beragama.

Bagaimana dengan pengguna media sosial yang tidak duduk di bangku sekolah? Tentunya pun harus mendapatkan pendidikan literasi dalam beraktivitas di media sosial. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada pengguna media sosial tersebut. Dapat mengajak unit-unit terkait untuk sosialisasi pemahaman dalam bermedia sosial.

Saya setuju dengan lomba penulisan artikel blog tentang merawat kerukunan umat beragama, sebagai salah satu bentuk sosialisasi kep[ada setiap masyarakat utnuk mengingat kemabali menjaga kerukunanan. Sosialisasi lainnya juga dapat dilakuakan pemerintah baik melalui media sosial, situs resmi, maupun event-event lainnya untuk mengingatkan dan mengajarkan toleransi.

Mungkin hal-hal diatas tidak segampang yang ditulis, tetapi pantas untuk diperjuangkan untuk kebhinekaan tunggal ika, untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Jangan lupakan kodrat bangsa.

Referensi

I Gede Astra dan Putu Indra. (2014). Geografi Bencana.Yogyakarta : Graha Ilmu

facebook : andriana.rumintang

twitter : andrianarumintang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun