Andri Oktovianus Pellondou, M.Si
Pilpres sudah di depan mata. Besok masyarakat akan beramai ramai menuju TPS untuk memberikan suaranya. Setiap pendukung mungkin bertanya, siapakah yang akan terpilih? Atau bagaimanakah hasil pilres nanti? Jawaban dari pertanyaan ini akan diketahui setelah pilres selesai dilaksanakan dan hasilnya diumumkan.
Sambil menunggu jawaban untuk pertanyaan siapakah yang akan memenangkan pilpres kali ini, ada satu pertanyaan yang juga tidak boleh dilewatkan, yaitu bagaimana proses politik menuju pilpres? Pertanyaan ini penting karena hasil bisa ditentukan oleh proses. Maka proses yang baik bisa membawa hasil yang baik.Â
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak pembaca untuk berefleksi sejenak ke belakang untuk melihat kontestasi politik sebagai proses politik menuju pilpres. Bagaimana kontestasi politik menjelang pilpres 2019?Â
Kontestasi politik menjelang pilpres menjadi fenomena dunia maya maupun dunia nyata. Â Setiap orang bisa menyaksikan dan terlibat dalam kontestasi karena sudah ada ruang yang bisa diakses oleh siapa saja yang disebut ruang publik.Â
Dalam ruang publik setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya dan mengkritisi kubu yang tidak disukainya. Hal ini didukung oleh asas demokrasi yang memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk menyuarakan aspirasinya sesuai hati nuraninya.
Adanya kesempatan dalam ruang publik politik untuk siapa pun bisa menyampaikan pendapatnya merupakan suatu prakondisi yang baik, namun sangat disayangkan karena fenomena kontestasi politik yang dinampakan menunjukan adanya kebebasan yang tak beraturan. Â Pluralitas dan kompleksitas kepentingan, nilai, karakter, dan bahkan standar, bercampur baur tak karuan hingga tak ada garis batas antara fakta dan hoaks, rasional dan irasional, antara validitas dan invaliditas, antara sesat pikir dan ketepatan berpikir. Â Alasan kerumitan berpikir, atau alasan iman yang tak membutuhkan intelek menjadi argumen untuk melawan pertimbangan yang rasional. Â Kerumitan ini menjadi masalah bagi para elite, apalagi masyarakat biasa.
Menyaksikan fenomena ini, muncul pertanyaan, apa yang perlu diperbaiki dalam menghadapi fenomena seperti ini? Apakah sistemnya yang harus diperbaiki? Ataukah para aktor yang terlibat? Yang pasti tak ada satu pun yang dikambing hitamkan demi yang lain, karena sistem yang terbaik pun membutuhkan aktor-aktor yang terbaik. Begitu juga aktor-aktor yang terbaik membutuhkan sistem yang terbaik.
Dalam konteks penulisan ini penulis mengajak pembaca untuk mengenal pemikiran seorang pemikir yang bernama Jurgen Habermass dan setelah itu pembaca mencoba untuk berefleksi mengenai prakondisi yang dibutuhkan sebagai lahan subur untuk bisa mengimplementasikan pemikiran Habermass dalam kontestasi politik di Indonesia. Bagaimanakah pemikiran Habermass itu? Dan apakah pemikiran Habermass ini relevan untuk diimplementasikan di Indonesia?
A. Habermass dan Pemikirannya
Jurgen Habermass, demikianlah namanya, adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman yang mengkritisi dua paham besar yaitu liberalisme dan komunitarianisme. Habermass mengkritisi liberalisme yang mengusung kebebasan namun kemudian membunuh kebebasan itu sendiri dengan cara memprivatisasi agama dari ruang publik (Menoh, 2015: 127). Â Implikasi dari privatisasi agama dari ruang publik adalah kehilangannya kebebasan umat beragama di ruang publik untuk menyampaikan aspirasi mereka, padahal menurut Habermass, agama sebagai hati nurani rakyat bisa memberi sumbangsi bagi negara hukum demokratis yang legitim melalui kontestasi di ruang publik. Â
Menurut Gusti A.B. Menoh (2015:127), kritikan Jurgen Habermass tidak hanya berhenti pada liberalisme. Â Habermass juga mengkritisi komunitarianisme yang mau menyatukan agama dan negara. Implikasi dari diterapkannya komunitarianisme adalah hilangnya kebebasan individu dan dominannya suatu komunitas dalam ruang publik, sehingga tereliminasinya komunitas-komunitas lain yang berbeda dengan komunitas yang dominan dan berkuasa. Â Contohnya dalam konteks politik di Indonesia, adanya gerakan komunitas Islam politis yang ingin memperjuangkan agar agama diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Menoh, 2015: 1999).
Gerakan ini berbahaya dan menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena negara Indonesia tidak hanya terdiri dari agama Islam, tetapi juga agama agama lain yang telah terlibat bersama memperjuangkan kemerdekaan.
Maka jikalau hukum Islam diterapkan ke dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan ada rasa ketidakadilan bagi komunitas agama lainnya yang akan berujung pada pemberontakan dan konflik sebagai bentuk resistensi terhadap negara.
Lalu prosedur semacam apa yang ditawarkan oleh Jurgen Habermass? Habermass menawarkan demokrasi deliberatif yang berbeda dengan demokrasi liberal dan komunitarianisme. Â Menurut Gusti A.B. Menoh (2015:991), demokrasi deliberatif melampaui demokrasi liberal, karena demokrasi deliberatif menawarkan adannya tindakan komunikatif dalam ruang publik, yang mana tindakan komunikatif itu tidak boleh didominasi oleh individu mau pun komunitas tertentu. Â Setiap warga negara memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk berkomunikasi dalam ruang publik.Â
Maka teori tindakan komunikatif sejalan dengan definisi ruang publik, yaitu ruang publik sebagai ruang yang bisa diakses oleh siapa pun, entah apa pun agamanya atau apa pun etnisnya  (Menoh, 2015: 5).  Teori tindakan komunikatif Habermass ini menjamin kebebasan yang diusung dan diperjuangkan oleh liberalisme.  Dalam liberalisme, ada komunitas yang tidak mendapatkan tempat dan kesempatan berkomunikasi dalam ruang publik, yaitu komunitas agama, namun dalam demokrasi deliberatif, komunitas agama pun diberi kesempatan yang sama. Â
Namun, apakah ini tidak membuka peluang untuk komunitas yang berkuasa mendominasi ruang publik? Untuk mencegah dominasi individu atau kelompok komunitas maka harus ada standar yang digunakan dalam tindakan komunikatif. Hal ini akan lebih rumit jikalau diterapkan dalam negara plural seperti Indonesia yang memiliki banyak agama, suku, dan budaya. Â Apakah standar salah satu komunitas atau individu yang digunakan sebagai kriteria? Hal ini tidak mungkin karena akan terjadi penolakan dari individu mau pun komunitas yang tak menerima standar tersebut. Setidaknya, standar yang digunakan sebagai kriteria haruslah standar yang universal. Â Â
Maka menurut Habermass, standarnya adalah rasionalitas, dengan penekanan pada validitas (Menoh, 2015: 11). Â Itu artinya setiap individu mau pun komunitas bebas berkomunikasi, namun akan dinilai dan dievaluasi secara rasional. Â Bahkan setiap warga negara bisa menyampaikan nilai-nilai agamanya sebagai suara hati nurani, namun harus secara rasional dengan pengandaian bahwa ada aspek rasional dari agama (Menoh, 2015: 141).
B. Implementasi Deliberatif Habermass Di Indonesia
Secara ideal, pemikiran Jurgen Habermass tentang tindakan komunikatif begitu memikat. Namun, bagaimana pemikiran Habermass ini diimplementasikan dalam konteks politik di Indonesia? Apakah gagasan ini mudah untuk diimplementasikan ke dalam konteks politik Indonesia?Â
Gagasan Habermass menarik namun dalam praktek ternyata tak semudah yang dibayangkan. Â Bukan hanya pemikiran Habermass yang sulit untuk diimplementasikan, karena semua sistem pemikiran yang terbaik pun membutuhkan prakondisi yang memadai agar sistem pemikiran tersebut bisa diimplementasikan dengan baik. Â
Maka gagasan Jurgen Habermass juga membutuhkan prakondisi.  Jikalau tidak ada prakondisi yang disiapkan untuk implementasi pemikiran Habermass maka bisa diramalkan akan adanya dominasi dalam tindakan komunikatif, entah itu dominasi dari kaum liberal maupun komunitarian. Hal itu jelas terlihat dalam kontestasi politik di Indonesia.  Sudah ada ruang yang bisa diakses oleh semua orang dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan pemikiran yang disebut oleh Habermass sebagai ruang publik, namun yang terlihat bukanlah tindakan komunikatif yang diharapkan.  Mengapa demikian? Karena segelintir masyarakat masih belum dewasa dan belum bisa berpikir secara rasional. Â
Segelintir masyarakat masih menjadi parasit pada sekelompok orang atau individu yang dianggap berkuasa. Preferensi masyarakat terhadap individu atau sekelompok orang ini bukanlah preferensi yang didasarkan pada pertimbangan yang rasional, namun didasarkan pada delusi otoritarianisme yang menganggap kaum yang berotoritas di bidangnya, entah di bidang agama atau bidang apa pun itu sebagai kaum yang selalu benar dan tak pernah salah. Â Cara berpikir seperti ini tidak bisa menjadi lahan yang subur untuk komunikasi yang rasional dan sehat karena klaim kebenaran bahwa kotoran sapi adalah es krim pun akan dianggap rasional walau mereka tak bisa membuktikanya secara rasional.
Lalu prakondisi semacam apa yang dibutuhkan untuk menerapkan pemikiran Jrgen Habermass? Ada beberapa prakondisi yang dibutuhkan, seperti yang dikutip oleh Gusti Menoh, pertama, tidak ada pihak yang dieliminasi dari partisipasi dalam tindakan komunikatif; kedua, tak ada dominasi dari individu mau pun komunitas tertentu dalam tindakan komunikatif; ketiga, adanya keterbukaan (Menoh, 2015: 3). Â Selain itu, teori tindakan komunikatif yang rasional mengandaikan adanya kondisi masyarakat yang dewasa dan rasional. Â Artinya, setiap masyarakat yang terlibat dalam kontestasi politik haruslah masyarakat yang dewasa dan rasional.
Jikalau prakondisi-prakondisi ini ada maka kontestasi politik yang mengedepankan tindakan komunikatif untuk sebuah konsensus politik bisa diimplementasikan dengan baik. Â Namun dalam kenyataannya, kondisi yang diandaikan dalam pemikiran Habermass belum ditemukan dalam kontestasi politik di Indonesia saat ini. Telah ada ruang publik politik yang bisa diakses oleh siapa pun dan dari latar belakang apa pun dan juga telah ada asas demokrasi yang menjamin kebebasan setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka, namun kedewasaan politik dan rasionalitas masih menjadi utopia. Â
Jikalau sedikit menoleh ke belakang, yaitu ke masa orde baru, ruang publik telah digembok untuk masyarakat sehingga masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda tak bisa berjumpa untuk melakukan tindakan komunikatif. Demokrasi hanya menjadi atribut negara tanpa ada realisasi yang nyata karena setiap orang hanya bebas menyampaikan pendapatnya, sejauh tidak bertentangan dengan pemerintah. Â Jangan sekali kali menentang atau mengkritisi pemerintah. Bahkan media media massa pada waktu itu diberangus sehingga tidak mampu menyampaikan nurani rakyat.
Banyak media massa ditutup karena mengkritisi pemerintahan Soeharto. Â Rakyat Indonesia menjadi gugup dan gagap di ruang publik. Rakyat hanya bisa berbisik-bisik karena fobia terhadap kepemimpinan Soeharto. Yang berani berteriak ditangkap untuk dipenjarakan atau ditembak mati. Kevakuman ini bisa dibayangkan seperti keadaan di abad pertengahan, dimana kebebasan hanya dimiliki oleh para penguasa dan rakyat hanya patuh demi tetap survive. Â Kenyataan ini dialami oleh bangsa Indonesia selama 32 tahun. Puncaknya adalah di tahun 1998 dimana banyak rakyat dijadikan tumbal dari kegaganasan orde baru.Â
Sekarang setelah memasuki era orde reformasi, demokrasi di negara Indonesia menjadi lebih baik, kebebasan berpendapat dijamin oleh negara. Namun kebebasan ini ternyata menjadi kebebasan yang tak beraturan dan tak terkontrol. Dari suara yang berbisik bisik di orde lama, sekarang menjadi suara yang bising dan beringas.  Panggung politik kemudian menjadi panggung pencitraan yang menampilkan pelawak-pelawak yang berasal dari berbagai latar belakang politik dan agama.  Sedangkan para penonton yang berada di sekeliling panggung saling menghujat dan menciderai. Â
Dalam situasi kehidupan berbangsa dan berpolitik yang semacam ini, perlu adanya perbaikan kondisi masyarakat yang telah kecanduan oleh irasionalitas politisi-politisi busuk yang menggilas rasionalitas dan menggantikannya dengan utopia-utopia yang irasional, yaitu utopia kaum sofis dan kaum klerus. Â Hal ini hanya bisa dimungkinkan jikalau ada pendewasaan dan pendidikan politik yang rasional bagi masyarakat agar bisa membedakan antara hoaks dan fakta, irasionalitas dan rasionalitas, invaliditas dan validitas. Â
Terdengar tawaran ini sebagai sebuah solusi yang begitu mudah, namun dibutuhkan kemauan dan keberanian semua pihak untuk memulainya. Â Maka pertanyaannya, dari manakah pendewasaan dan pendidikan politik yang rasional dimulai?Â
Menurut penulis, pilihan untuk memulainya adalah dari masyarakat warga yang juga sering disebut masyarakat sipil atau masyarakat madani. Masyarakat warga merujuk pada jejaring kelompok-kelompok yang pluralistis, swacipta, moderat dalam berdemokrasi, dan tidak ekslusif (Hardiman, 2013: 1). Mengapa masyarakat warga? Karena masyarakat warga memenuhi kondisi-kondisi yang memungkinkan tindakan komunikatif yang dewasa dan rasional dimulai.
Hal ini tak mudah karena yang hadir di ruang publik bukan hanya masyarakat warga tapi semua kalangan masyarakat, termasuk kelompok-kelompok fundamentalisme agama, tetapi setidaknya masyarakat warga bisa menjadi model dan teladan yang menampilkan gaya berpolitik yang dewasa dan rasional. Sehingga diharapkan model dan teladan yang ditampilkan oleh masyarakat warga lama kelamaan bisa menjadi gaya hidup seluruh masyarakat Indonesia dan akhirnya kontestasi politik yang dewasa dan rasional dihidupi dan dihayati sebagai good life, yaitu gambaran tentang cara kehidupan yang dipandang baik untuk dijalani (Hardiman, 2013: 11).
Pemikiran ini boleh dan bisa dicurigai sebagai utopia namun harus dengan sikap dewasa dan rasional. Keyakinan penulis, perjuangan dimulai dengan mimpi dan dilanjutkan dengan tindakan gagah berani maka hal yang dicurigai sebagai utopia bisa terealisasi dalam kehidupan nyata, entah untuk generasi kini mau pun generasi yang akan datang.Â
Pertanyaannya adalah siapa yang mau memutuskan rantai setan ini dan memulai suatu budaya berpolitik yang dewasa dan rasional?
DAFTAR PUSTAKA
Menoh, Gusti A.B. Agama Dalam Ruang Publik: Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jurgen Habermass. Yogyakarta : Kanisius, 2015.
Hardiman, F. Budi. Dalam Moncong Oligarki : Skandal Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Kanisius, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H