Segelintir masyarakat masih menjadi parasit pada sekelompok orang atau individu yang dianggap berkuasa. Preferensi masyarakat terhadap individu atau sekelompok orang ini bukanlah preferensi yang didasarkan pada pertimbangan yang rasional, namun didasarkan pada delusi otoritarianisme yang menganggap kaum yang berotoritas di bidangnya, entah di bidang agama atau bidang apa pun itu sebagai kaum yang selalu benar dan tak pernah salah. Â Cara berpikir seperti ini tidak bisa menjadi lahan yang subur untuk komunikasi yang rasional dan sehat karena klaim kebenaran bahwa kotoran sapi adalah es krim pun akan dianggap rasional walau mereka tak bisa membuktikanya secara rasional.
Lalu prakondisi semacam apa yang dibutuhkan untuk menerapkan pemikiran Jrgen Habermass? Ada beberapa prakondisi yang dibutuhkan, seperti yang dikutip oleh Gusti Menoh, pertama, tidak ada pihak yang dieliminasi dari partisipasi dalam tindakan komunikatif; kedua, tak ada dominasi dari individu mau pun komunitas tertentu dalam tindakan komunikatif; ketiga, adanya keterbukaan (Menoh, 2015: 3). Â Selain itu, teori tindakan komunikatif yang rasional mengandaikan adanya kondisi masyarakat yang dewasa dan rasional. Â Artinya, setiap masyarakat yang terlibat dalam kontestasi politik haruslah masyarakat yang dewasa dan rasional.
Jikalau prakondisi-prakondisi ini ada maka kontestasi politik yang mengedepankan tindakan komunikatif untuk sebuah konsensus politik bisa diimplementasikan dengan baik. Â Namun dalam kenyataannya, kondisi yang diandaikan dalam pemikiran Habermass belum ditemukan dalam kontestasi politik di Indonesia saat ini. Telah ada ruang publik politik yang bisa diakses oleh siapa pun dan dari latar belakang apa pun dan juga telah ada asas demokrasi yang menjamin kebebasan setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka, namun kedewasaan politik dan rasionalitas masih menjadi utopia. Â
Jikalau sedikit menoleh ke belakang, yaitu ke masa orde baru, ruang publik telah digembok untuk masyarakat sehingga masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda tak bisa berjumpa untuk melakukan tindakan komunikatif. Demokrasi hanya menjadi atribut negara tanpa ada realisasi yang nyata karena setiap orang hanya bebas menyampaikan pendapatnya, sejauh tidak bertentangan dengan pemerintah. Â Jangan sekali kali menentang atau mengkritisi pemerintah. Bahkan media media massa pada waktu itu diberangus sehingga tidak mampu menyampaikan nurani rakyat.
Banyak media massa ditutup karena mengkritisi pemerintahan Soeharto. Â Rakyat Indonesia menjadi gugup dan gagap di ruang publik. Rakyat hanya bisa berbisik-bisik karena fobia terhadap kepemimpinan Soeharto. Yang berani berteriak ditangkap untuk dipenjarakan atau ditembak mati. Kevakuman ini bisa dibayangkan seperti keadaan di abad pertengahan, dimana kebebasan hanya dimiliki oleh para penguasa dan rakyat hanya patuh demi tetap survive. Â Kenyataan ini dialami oleh bangsa Indonesia selama 32 tahun. Puncaknya adalah di tahun 1998 dimana banyak rakyat dijadikan tumbal dari kegaganasan orde baru.Â
Sekarang setelah memasuki era orde reformasi, demokrasi di negara Indonesia menjadi lebih baik, kebebasan berpendapat dijamin oleh negara. Namun kebebasan ini ternyata menjadi kebebasan yang tak beraturan dan tak terkontrol. Dari suara yang berbisik bisik di orde lama, sekarang menjadi suara yang bising dan beringas.  Panggung politik kemudian menjadi panggung pencitraan yang menampilkan pelawak-pelawak yang berasal dari berbagai latar belakang politik dan agama.  Sedangkan para penonton yang berada di sekeliling panggung saling menghujat dan menciderai. Â
Dalam situasi kehidupan berbangsa dan berpolitik yang semacam ini, perlu adanya perbaikan kondisi masyarakat yang telah kecanduan oleh irasionalitas politisi-politisi busuk yang menggilas rasionalitas dan menggantikannya dengan utopia-utopia yang irasional, yaitu utopia kaum sofis dan kaum klerus. Â Hal ini hanya bisa dimungkinkan jikalau ada pendewasaan dan pendidikan politik yang rasional bagi masyarakat agar bisa membedakan antara hoaks dan fakta, irasionalitas dan rasionalitas, invaliditas dan validitas. Â
Terdengar tawaran ini sebagai sebuah solusi yang begitu mudah, namun dibutuhkan kemauan dan keberanian semua pihak untuk memulainya. Â Maka pertanyaannya, dari manakah pendewasaan dan pendidikan politik yang rasional dimulai?Â
Menurut penulis, pilihan untuk memulainya adalah dari masyarakat warga yang juga sering disebut masyarakat sipil atau masyarakat madani. Masyarakat warga merujuk pada jejaring kelompok-kelompok yang pluralistis, swacipta, moderat dalam berdemokrasi, dan tidak ekslusif (Hardiman, 2013: 1). Mengapa masyarakat warga? Karena masyarakat warga memenuhi kondisi-kondisi yang memungkinkan tindakan komunikatif yang dewasa dan rasional dimulai.
Hal ini tak mudah karena yang hadir di ruang publik bukan hanya masyarakat warga tapi semua kalangan masyarakat, termasuk kelompok-kelompok fundamentalisme agama, tetapi setidaknya masyarakat warga bisa menjadi model dan teladan yang menampilkan gaya berpolitik yang dewasa dan rasional. Sehingga diharapkan model dan teladan yang ditampilkan oleh masyarakat warga lama kelamaan bisa menjadi gaya hidup seluruh masyarakat Indonesia dan akhirnya kontestasi politik yang dewasa dan rasional dihidupi dan dihayati sebagai good life, yaitu gambaran tentang cara kehidupan yang dipandang baik untuk dijalani (Hardiman, 2013: 11).
Pemikiran ini boleh dan bisa dicurigai sebagai utopia namun harus dengan sikap dewasa dan rasional. Keyakinan penulis, perjuangan dimulai dengan mimpi dan dilanjutkan dengan tindakan gagah berani maka hal yang dicurigai sebagai utopia bisa terealisasi dalam kehidupan nyata, entah untuk generasi kini mau pun generasi yang akan datang.Â