Menurut Gusti A.B. Menoh (2015:127), kritikan Jurgen Habermass tidak hanya berhenti pada liberalisme. Â Habermass juga mengkritisi komunitarianisme yang mau menyatukan agama dan negara. Implikasi dari diterapkannya komunitarianisme adalah hilangnya kebebasan individu dan dominannya suatu komunitas dalam ruang publik, sehingga tereliminasinya komunitas-komunitas lain yang berbeda dengan komunitas yang dominan dan berkuasa. Â Contohnya dalam konteks politik di Indonesia, adanya gerakan komunitas Islam politis yang ingin memperjuangkan agar agama diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Menoh, 2015: 1999).
Gerakan ini berbahaya dan menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena negara Indonesia tidak hanya terdiri dari agama Islam, tetapi juga agama agama lain yang telah terlibat bersama memperjuangkan kemerdekaan.
Maka jikalau hukum Islam diterapkan ke dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan ada rasa ketidakadilan bagi komunitas agama lainnya yang akan berujung pada pemberontakan dan konflik sebagai bentuk resistensi terhadap negara.
Lalu prosedur semacam apa yang ditawarkan oleh Jurgen Habermass? Habermass menawarkan demokrasi deliberatif yang berbeda dengan demokrasi liberal dan komunitarianisme. Â Menurut Gusti A.B. Menoh (2015:991), demokrasi deliberatif melampaui demokrasi liberal, karena demokrasi deliberatif menawarkan adannya tindakan komunikatif dalam ruang publik, yang mana tindakan komunikatif itu tidak boleh didominasi oleh individu mau pun komunitas tertentu. Â Setiap warga negara memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk berkomunikasi dalam ruang publik.Â
Maka teori tindakan komunikatif sejalan dengan definisi ruang publik, yaitu ruang publik sebagai ruang yang bisa diakses oleh siapa pun, entah apa pun agamanya atau apa pun etnisnya  (Menoh, 2015: 5).  Teori tindakan komunikatif Habermass ini menjamin kebebasan yang diusung dan diperjuangkan oleh liberalisme.  Dalam liberalisme, ada komunitas yang tidak mendapatkan tempat dan kesempatan berkomunikasi dalam ruang publik, yaitu komunitas agama, namun dalam demokrasi deliberatif, komunitas agama pun diberi kesempatan yang sama. Â
Namun, apakah ini tidak membuka peluang untuk komunitas yang berkuasa mendominasi ruang publik? Untuk mencegah dominasi individu atau kelompok komunitas maka harus ada standar yang digunakan dalam tindakan komunikatif. Hal ini akan lebih rumit jikalau diterapkan dalam negara plural seperti Indonesia yang memiliki banyak agama, suku, dan budaya. Â Apakah standar salah satu komunitas atau individu yang digunakan sebagai kriteria? Hal ini tidak mungkin karena akan terjadi penolakan dari individu mau pun komunitas yang tak menerima standar tersebut. Setidaknya, standar yang digunakan sebagai kriteria haruslah standar yang universal. Â Â
Maka menurut Habermass, standarnya adalah rasionalitas, dengan penekanan pada validitas (Menoh, 2015: 11). Â Itu artinya setiap individu mau pun komunitas bebas berkomunikasi, namun akan dinilai dan dievaluasi secara rasional. Â Bahkan setiap warga negara bisa menyampaikan nilai-nilai agamanya sebagai suara hati nurani, namun harus secara rasional dengan pengandaian bahwa ada aspek rasional dari agama (Menoh, 2015: 141).
B. Implementasi Deliberatif Habermass Di Indonesia
Secara ideal, pemikiran Jurgen Habermass tentang tindakan komunikatif begitu memikat. Namun, bagaimana pemikiran Habermass ini diimplementasikan dalam konteks politik di Indonesia? Apakah gagasan ini mudah untuk diimplementasikan ke dalam konteks politik Indonesia?Â
Gagasan Habermass menarik namun dalam praktek ternyata tak semudah yang dibayangkan. Â Bukan hanya pemikiran Habermass yang sulit untuk diimplementasikan, karena semua sistem pemikiran yang terbaik pun membutuhkan prakondisi yang memadai agar sistem pemikiran tersebut bisa diimplementasikan dengan baik. Â
Maka gagasan Jurgen Habermass juga membutuhkan prakondisi.  Jikalau tidak ada prakondisi yang disiapkan untuk implementasi pemikiran Habermass maka bisa diramalkan akan adanya dominasi dalam tindakan komunikatif, entah itu dominasi dari kaum liberal maupun komunitarian. Hal itu jelas terlihat dalam kontestasi politik di Indonesia.  Sudah ada ruang yang bisa diakses oleh semua orang dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan pemikiran yang disebut oleh Habermass sebagai ruang publik, namun yang terlihat bukanlah tindakan komunikatif yang diharapkan.  Mengapa demikian? Karena segelintir masyarakat masih belum dewasa dan belum bisa berpikir secara rasional. Â