Mohon tunggu...
andri 24id
andri 24id Mohon Tunggu... karyawan swasta -

sering menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Harus Tetap Memandang Kebijakan Mobil Murah Bukan untuk Jakarta

23 September 2013   20:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:30 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi kelihatannya harus membuat prinsip; warga Jakarta tidak perlu mobil murah. Karena sebagaimana disampaikan Menteri Perindustrian, program ini konon skalanya nasional yang orientasinya masyarakat menengah ke bawah. Sehingga kemudian atas dasar prinsip ini Jokowi harus menyusun regulasi yang mendorong masyarakat Jakarta tidak punya manfaat apa-apa dengan mobil murah ini. Ini satu prinsip yang harus dipegang oleh Jokowi agar tidak terimbas dengan dampak program nasional soal mobil murah.

Aplikasi prinsip ini juga bisa dengan tidak memberi izin penjualan kepada setiap distributor kendaraan ini. Atau bisa saja pengeluaran nomor kendaraan buat mobil murah ini memiliki biaya tinggi dan terbatas. Peraturan tegasnya begitu. Atau bila ingin lebih longgar adalah dengan pengalihan data nomor mobil untuk tahun keluaran tertentu, seperti yang terjadi pada regulasi penggantian angkot. Misalnya untuk membeli mobil murah di Jakarta, harus menutup data mobil tahun 2012 ke bawah. Sehingga lambat laun mobil tahun keluaran lama menghilang dari Jakarta.

Apapun idenya, yang pasti ini menunjukkan warga Jakarta atau pemprov Jakarta tidak perlu ikut program mobil murah. Kecuali bila mobil murah ini menukar mobil-mobil tertentu yang kerap menjadi beban Jakarta. Jadi Jokowi harus mengesankan, bahwa berkendaraan di Jakarta itu memang mahal banget. Sekali lagi, ini akan selalu nampak kontradiktif dengan prinsip pengadaan mobil murah. Dari sisi apapun.

Terkecuali ada kebijakan yang benar-benar cerdas sampai seorang yang biasa memakai mobil diatas 200 juta mau membeli dan memakai mobil murah ini di jalanan Jakarta. Dan mereka menggunakan mobil murah ini dengan biaya yang teramat tinggi. Otomatis pengguna mobil murah ini, sekali lagi; bukan orang sembarangan lagi. Dengan demikian mobil-mobil yang diatas 200 juta harus hilang dan berganti mobil-mobil murah.

Sekali lagi saya ingin menggaris bawahi, bahwa secara prinsip kaidah mobil murah dan penanggulangan kemacetan itu memang tidak akan pernah sinkron, dengan utak-atik seperti apapun. Karena yang satu harus membuat fakta bermobil itu mahal yang satu malah membuat bermobil itu murah. Mana bisa disatukan. Hanya orang yang plintat-plintut yang menyebutkan kedua hal itu sinkron.

Saya pikir, warga Jakarta harus sadar juga akan itu. Kalau warga Jakarta yang cerdas ini merasa sayang kepada Jokowi sebagai pemimpin inspirasi bangsa ini, seharusnya dengan sadar mengurungkan niat berburu mobil murah ini. Kalau masih ingin sekedar memiliki mobil ini, persiapkan saja untuk digunakan di kota lain di negeri ini. Sesuai dengan kebijakan turunan dari program mobil murah seperti yang disampaikan pemerintah. Jangan untuk menambah beban Jakarta.

Buat Jakarta sebenarnya harus dibuatkan program yang jitu dan menarik, bahwa dengan mobil murah ini membuat posisi Jokowi menjadi punya alasan kuat untuk mengurangi dengan signifikan jumlah kendaraan yang ada. Misalnya semua mobil dinas pemerintah, mobil operasional perusahaan, mobil layanan hotel dan semua mobil layanan di Jakarta hanya boleh pakai mobil murah yang termasuk dalam program pemerintah ini. Itupun tetap dengan biaya tinggi dalam pemakaiannya di jalanan Jakarta.

Hmmm...

Memang sulit kalau kebijakan dasarnya soal menambah dan mengurangi pemakaian kendaraan tidak bisa sinkron antar lapisan pemerintah. Tinggal bagaimana peran serta masyarakat untuk keberhasilan sang Jokowi ini. Sekali lagi, Anda yang merasa warga Jakarta; benar-benar fahami kondisi dilematis Jokowi untuk permasalahan mobil murah dan kemacetan ini. Saatnya menunjukkan kebesaran dan kebersamaan warga dan pemimpinnya dalam memecahkan masalah.

Ini tentu akan juga mengganggu kebijakan dasar di beberapa daerah yang mencoba memakai prinsip penurunan penggunaan transportasi individu yang menyedot BBM ini. Seperti program One Day No Car yang dijalankan oleh pemerintah Depok. Termasuk untuk mengurai secara budaya, bahwa berkendaraan pribadi itu harus ditinggalkan. Gunakanlah transportasi umum.

Juga bertolak belakang dengan semangat seorang Ridwan Kamil yang sejak pelantikannya menjadi Walikota Bandung langsung menggunakan sepeda untuk pergi ke kantor walikota dan menjalankan tugasnya. Padahal beliau sudah mengajak masyarakat dengan membentuk komunitas bersepeda sejak lama di Bandung. Sampai di kota Bandung ini sudah tersedia beberapa shelter sewaan sepeda yang dibuat dari pengumpulan dana masyarakat.

Program mobil murah ini tentu mengganggu ruh pengalihan transportasi pribadi ber BBM kepada sepeda atau transporatsi masal. Dimana di Bandung Raya pun oleh Kang Aher Gubernur Jawa Barat bersama beberapa bupati termasuk walikota Bandung tengah dipersiapkan pembangunan monorel yang menghubungkan kota-kota diseputar kota-kota Bandung. Sehingga ini menjadi program andalan dalam mengkonversi pengguna kendaraan bermotor kepada penggunaan transportasi masal.

Terus terang, disaat Ridwan Kamil menggunakan sepeda untuk bertugas sebagai walikota, saya dan beberapa teman sudah mencanangkan untuk kembali menggunakan sepeda untuk ke tempat kerja. Sebelumnya sepeda itupun pernah dipakai untuk ke kantor. Tapi karena jalanan tidak kondusif kebiasaan itu luntur. Apalagi kantor menyediakan kendaraan operasional.

Membentuk budaya penggunaan transportasi masal atau sepeda itu terus terang bukan perkara mudah. Ini yang harus menjadi pemahaman semua pihak. Jadi godaan memiliki mobil murah ini secara diametral memang head to head dengan gencarnya perubahan budaya hidup lebih baik dengan transportasi bersama atau bersepeda. Sehingga bisa membuat kota lebih humanis dan nyaman.

Humanisme yang tinggi itu terasa, karena dengan transportasi masal dan bersepeda; pola hubungan kemasyarakatan pun bisa lebih baik. Sehingga potensi konflik karena individualisme yang semakin menjadi-jadi akan berkurang. Sungguh bukan suatu kebetulan bila Mang Oded Wakil Walikota Bandung yang dihari pertama sebagai pejabat kota Bandung menggunakan sepeda ke balaikota, sampai sempat menyelamatkan korban tabrakan kendaraan bermotor. Berita lebih lengkap.

Sehingga dengan penggunaan moda transportasi yang lebih humanis maka budaya yang lebih santun, kebersamaan dan saling menolong serta menghargai itu akan lebih mudah dihidupkan. Inilah yang akan dengan masiv akan mengembalikan jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki kolektivisme yang tinggi, sebagaimana yang Anis Matta sampaikan dalam silaturahmi kebangsaan Partai Golkar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun